Upaya Antisipasi Tsunami Bandara Kulon Progo Diminta Transparan
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Sejumlah peneliti tsunami dari Indonesia menginginkan adanya transparansi mengenai mitigasi bencana terhadap proyek pembangunan Bandara Internasional Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Keseriusan semua pemangku kepentingan dalam menyiapkan mitigasi penting karena bandara tersebut terletak di lokasi rawan bencana.
Hal itu disampaikan oleh Widjo Kongko, ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dalam diskusi publik bertema “Masa Depan Mitigasi Bencana Tsunami di Indonesia”, Senin (14/1/2019) di Yogyakarta.
“Kalau ada kajian detil tentang mitigasi bencana tolong dibuka. Sebab, keberadaan bandara memungkinkan kawasan itu menjadi magnet bagi investor untuk ke sana,” kata Widjo.
Menurut informasi yang diperoleh Widjo, kajian tersebut memang sudah ada. Namun, ia bersama peneliti tsunami lainnya, belum mengetahui detail tentang kajian tersebut. Ia berharap agar suatu saat dapat melihat kajian yang telah dibuat itu mengingat kerawanan lokasi itu cukup tinggi.
Berdasarkan kajian yang dihimpun, Widjo mengungkapkan, bandara tersebut rawan terdampak gempa karena berlokasi di kawasan pesisir selatan Jawa. Kekuatan gempa bisa mencapai 8,7-8,8 skala Richter dengan potensi tsunami setinggi 10-15 meter. Padahal, jarak bandara itu dengan bibir pantai hanya sekitar 400 meter.
“Kita harus menyampaikan, kalau ancaman itu nyata. Kita tinggal melakukan kajian yang lebih detail, bagaimana potensinya, dan upaya mitigasi ke depan,” kata Widjo.
Sebenarnya pelaksana pembangunan bandara sudah memahami masalah gtersebut. Pihak pelaksana proyek PT Angkasa Pura I dan pembangun PT Pembangunan Perumahan telah berkunjung ke Jepang mempelajari mitigasi dan adaptasi gempa serta tsunami. Selain itu, bangunan juga didesain tahan gempa hingga 8,8 SR dan dilengkapi bangunan sacrificecolumn (kolom yang dikorbankan) untuk mengurangi kekuatan tsunami. Disiapkan pula, gedung pusat krisis yang berfungsi sebagai tempat evakuasi sementara apabila terjadi tsunami. (Kompas, 28/9/2018)
Widjo menyampaikan, tempat evakuasi sementara berupa bangunan tinggi bukan satu-satunya bentuk mitigasi bencana. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah penguatan kapasitas masyarakat terhadap potensi bencana di tempatnya. Ia menilai, selama ini, penanganan terhadap bencana baru sebatas pemulihan dan rehabilitasi setelah terjadinya bencana saja.
Ketua Transformasi Cita Infrastruktur Tri Budi Utama menduga, upaya mitigasi terkesan kurang mendapatkan perhatian karena dilihat kurang menguntungkan. Sudut pandang tersebut harus diubah karena sebenarnya menyiapkan mitigasi bencana merupakan investasi mengingat Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Terlebih jika bangunan mitigasi itu sekaligus bisa memberikan keuntungan ekonomis lainnya.
“Membangun mitigasi itu terkesan menambah biaya. Padahal, terjadinya, kan, belum tentu menambah biaya,” kata Tri.
Rahman Hidayat, Asisten Deputi Bidang Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Kepariwisataan Kementerian Koordinator Bidang Maritim, menyampaikan, ketahanan bandara yang dibangun terhadap gempa dan tsunami perlu terus dipantau. Sebab, pembangunan belum selesai.
“Bandara didesain sudah tahan gempa dan tsunami. Tapi, implementasi di lapangan perlu kita cek, karena pembangunan masih berlangsung. Dalam waktu dekat, kami akan monitoring dan evaluasi,” kata Rahman.
Selain itu, Rahman mengungkapkan, dalam menyiapkan infrastruktur mitigasi bencana, pemerintah pusat tidak bisa berjuang sendirian. Mereka membutuhkan peran pemerintah daerah untuk ikut campur dalam pembuatan sistem peringatan dini kebencanaan dan penghalang perlindungan dari tsunami. Hal itu diatur lewat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Udara Baru di Kabupaten Kulon Progo DIY.
Bandara didesain sudah tahan gempa dan tsunami. Tapi, implementasi di lapangan perlu kita cek, karena pembangunan masih berlangsung. Dalam waktu dekat, kami akan monitoring dan evaluasi