JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mungkin tak akan mengalami masalah kekurangan jumlah tenaga kerja seperti yang mulai terjadi di beberapa negara maju. Namun, tenaga kerja yang berlimpah bisa menimbulkan masalah lebih besar jika tidak dibarengi dengan peningkatan keahlian dan produktivitas.
”Kita tak ada masalah dengan kekurangan tenaga kerja, berbeda dengan yang terjadi di Jepang, Korea, dan Jerman. Namun, pertanyaannya, siapa yang jadi konsumen, siapa yang jadi pekerja? Itu yang harus diteliti dengan baik,” tutur Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam dialog nasional tentang mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia menghadapi revolusi industri ke-4, di Jakarta, Senin (14/1/2019).
Indonesia mesti melakukan perubahan besar untuk menyambut revolusi industri 4.0. Oleh karena itu, arah kebijakan tahun 2019 menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Investasi manusia secara bertahap akan mendorong peningkatan produktivitas dalam negeri sehingga tak lagi bergantung pada komoditas mentah.
Kalla mengatakan, berbagai perubahan mendasar diakibatkan oleh teknologi. Revolusi industri 4.0 tidak hanya mengubah pola kerja, tetapi juga pola bisnis dan pola produksi.
Sistem pembagian data ekonomi menjadikan pola bisnis lebih berbasis pada kemitraan. Penyedia jasa atau pedagang yang bergabung dalam kemitraan itu bisa menjual barang yang lebih murah dari harga pokoknya.
”Itu semua sistem yang harus kita pahami. Ini harus disiapkan. Apabila tidak disiapkan, ini bakal dikuasai negara asing yang sudah siap,” ucap Kalla.
Pemerintah mengalokasikan 20 persen dari APBN 2019 khusus untuk pendidikan. Anggaran sebesar Rp 495 triliun diharapkan tidak hanya untuk memperbaiki ruang kelas yang bocor atau infrastruktur fisik lainnya, tetapi juga untuk mengembangkan sistem teknologi dan informasi sekolah terutama di wilayah terpencil.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro menuturkan, isu paling krusial dalam persoalan ketenagakerjaan adalah produktivitas. Setelah krisis 1998, produktivitas tenaga kerja Indonesia cenderung melambat. Hal itu tecermin dari komposisi pekerja yang 60 persen berada di sektor informal.
”Meskipun tingkat pengangguran 5,3 persen, secara umum mayoritas penduduk bekerja di sektor produktivitas rendah, seperti pertanian, perdagangan tradisional, dan penyedia jasa yang tidak membutuhkan keahlian tinggi,” ucap Bambang.
Persoalan penyerapan tenaga kerja disebabkan kurangnya sarana dan prasarana pelatihan. Akibatnya, angkatan kerja baru dan pekerja lama kesulitan meningkatkan keahlian. Dari total penyerapan tenaga kerja pada 2014-2016, sekitar 65 persen bekerja di sektor produktivitas rendah. Kondisi terbalik terjadi di Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Bambang menyebutkan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 fokus pada pembangunan manusia. Terdapat lima strategi peningkatan produktivitas, yaitu penerapan sistem pemagangan dan penyelarasan kurikulum, peningkatan guru dan instruktur vokasi yang kompeten, pendidikan kewirausahaan, penguatan lembaga sertifikasi profesi, serta teaching industry.
Penyerapanturun
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, selama ini terkesan ada pembiaran atas ketidaksesuaian (mismatch) antara bidang bekerja dan latar belakang pendidikan. Untuk itu, beberapa tahun terakhir dunia usaha dan pemerintah gencar melakukan pelatihan vokasi.
Selama ini terkesan ada pembiaran atas ketidaksesuaian (mismatch) antara bidang bekerja dan latar belakang pendidikan.
Ketidaksesuaian nyatanya memengaruhi penyediaan lapangan kerja. Sepanjang tahun 2010-2016, terjadi peningkatan investasi tiga kali lipat, tetapi penyerapan tenaga kerja menurun hampir 50 persen. Pada 2010, setiap Rp 1 triliun bisa menyerap 5.020 tenaga kerja, sementara tahun 2016 setiap Rp 1 triliun hanya menyerap 2.200 tenaga kerja.
”Kami perkirakan tahun 2018 penyerapan tenaga kerja kembali menyusut dari 2.200 tenaga kerja,” kata Hariyadi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, kebijakan fiskal sudah diarahkan untuk mendorong revolusi 4.0 secara berkelanjutan. Industri yang menyerap dan memberi pelatihan vokasi akan diberi insentif perpajakan berupa pengurangan PPh badan. Adapun industri yang mengembangkan sektor pionir mendapat taxholiday.
Persoalan revolusi industri 4.0 sudah masuk paket kebijakan ekonomi. Industri didorong menerapkan teknologi mutakhir. Sementara calon angkatan kerja dipersiapkan melalui berbagai program perlindungan sosial, termasuk beasiswa pendidikan. Tujuannya, memberikan kesempatan yang sama bagi penduduk miskin untuk berkembang.