Sudah Rp 11 Miliar Dikembalikan Bupati Bekasi Nonaktif
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menerima pengembalian uang dari Bupati Bekasi (nonaktif) Neneng Hassanah, tersangka penerima suap terkait izin proyek Meikarta, berupa uang Rp 2,25 miliar dan 90.000 dollar Singapura.
Hingga kini, Neneng telah mengembalikan uang suap yang diterimanya kepada KPK senilai total Rp 11 miliar. Uang suap itu terkait perizinan proyek pembangunan Meikarta.
”Kami hargai sikap kooperatif tersebut,” kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah di kantor KPK, Jakarta, Senin (14/1/2019).
Febri pun mengingatkan agar pihak lain, termasuk sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi, yang ikut menerima suap untuk meloloskan perizinan proyek Meikarta, itu juga kooperatif mengembalikan imbalan yang diterima kepada KPK. Pengembalian itu baik imbalan dalam bentuk uang maupun fasilitas apa pun.
Febri menyampaikan, KPK telah mengantongi bukti dugaan pembiayaan wisata ke luar negeri untuk sejumlah anggota DPRD beserta keluarga. Perjalanan itu disebutkan untuk membahas revisi aturan tata ruang kabupaten. Diduga anggota DPRD yang terlibat dalam perjalanan itu mengubah peraturan yang ada untuk meloloskan izin proyek Meikarta.
”Sikap kooperatif akan lebih dihargai karena KPK telah memegang daftar nama pihak-pihak yang mendapatkan fasilitas pembiayaan jalan-jalan ke luar negeri, yang diketahui ke Thailand,” kata Febri.
Hingga saat ini, sudah ada beberapa anggota DPRD yang dipanggil KPK sebagai saksi dalam penyidikan yang sedang berjalan. Salah satunya Taih Minarno yang berperan sebagai Ketua Panitia Khusus Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi.
Bermasalah
Sejak awal, KPK telah mencium masalah dalam perizinan proyek Meikarta. Dari proyek pembangunan seluas 500 hektar, Meikarta sesungguhnya hanya mengantongi rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk izin proyek properti seluas 84,6 hektar.
Pada Kamis (10/1/2019), KPK pun memanggil Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono sebagai saksi dalam perkara suap itu. Soni dimintai keterangan terkait keterlibatan Gubernur Jabar dalam penerbitan rekomendasi izin proyek Meikarta.
Seusai menjalani pemeriksaan, Soni menjelaskan bahwa pada mulanya Gubernur Jabar tidak mengeluarkan rekomendasi izin proyek properti tersebut. Sementara menurut Peraturan Daerah Provinsi Jabar Nomor 12 Tahun 2014 tentang pengelolaan pembangunan dan pengembangan metropolitan, pembangunan Meikarta bisa dilaksanakan jika ada rekomendasi dari gubernur.
Oleh karena itu, Soni mengaku pihaknya berinisiatif mempertemukan Gubernur Jabar dengan Neneng selaku Bupati Bekasi. Sejak pertemuan itu, barulah Gubernur Jabar bersedia menerbitkan rekomendasi izin proyek properti Meikarta pada 2017.
Dalam menerbitkan rekomendasi itu, Gubernur Jabar terlebih dahulu mengeluarkan keputusan gubernur. Berdasarkan keputusan itu, gubernur kemudian memerintahkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Jabar untuk menerbitkan rekomendasi izin proyek Meikarta.
Soni pun menjelaskan, saat pertemuan antara Gubernur Jabar dan Nenang berlangsung, itu turut dihadiri sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Provinsi Jabar, beserta perwakilan Meikarta, dan Badan Pertanahan Nasional.
Selain Neneng, beberapa pihak yang menghadiri pertemuan itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi Sahat MBJ Nahor, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi. Semuanya diduga menerima suap.
Selain itu, pihak pengembang Meikarta yang turut menghadiri pertemuan itu juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan perkaranya telah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung sejak Desember 2018.
Mereka adalah Billy Sindoro selaku pengusaha Meikarta, Henry Jasmen P Sitohang selaku pegawai Meikarta, serta dua konsultan Meikarta, yakni Fitradjaja Purnama dan Taryudi.
Perkara ini terungkap ke publik sejak operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 15 Oktober 2018. Billy Sindoro diduga berupaya memuluskan perizinan pembangunan Meikarta seluas 774 hektar yang dikerjakan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), anak perusahaan Lippo Group. Upaya itu dilakukan dengan menyuap pejabat di Pemerintah Kabupaten Bekasi (Kompas, 8/11/2018). (ERIKA KURNIA)