Pelaku E-Dagang Bakal Dikenai Pajak
Pemerintah menggarap pajak pada perdagangan elektronik. Pedagang dan penyedia jasa di platform e-dagang akan dikenai Pajak Penghasilan atau Pajak Pertambahan Nilai mulai 1 April 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang diundangkan pada 31 Desember 2018. Selain mengoptimalkan penerimaan pajak, peraturan itu diharapkan memberikan kesetaraan bagi pelaku usaha perdagangan.
Sejumlah pelaku, asosiasi, dan pengamat yang dimintai pendapat oleh Kompas, Minggu (13/1/2019), menilai langkah pemerintah itu sudah tepat. Aturan itu dianggap memberikan keadilan bagi pelaku bisnis perdagangan yang tidak berjualan melalui laman pemasaran.
Secara umum, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) itu mengatur tata cara pemungutan pajak untuk mempermudah administrasi dan mendorong kepatuhan pelaku e-dagang demi menciptakan keadilan dengan pelaku usaha konvensional. Oleh karena itu, tak ada jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-dagang.
Pedagang dan penyedia jasa yang berjualan di platform e-dagang wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet. PPh final dikenakan kepada pedagang dan penyedia jasa yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Sementara mereka yang omzetnya lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun diwajibkan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.
Pedagang dan penyedia jasa juga wajib membuat faktur pajak sebagai bukti pembayaran PPh dan melaporkan surat pemberitahuan masa PPN melalui penyedia platform e-dagang. Rekapitulasi seluruh transaksi e-dagang akan dilaporkan penyedia platform e-dagang kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Penyedia platform e-dagang tidak memungut PPh dan PPN dari pelapak. Mereka hanya mewajibkan semua pelapak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan melaporkan rekapitulasi transaksi. Beberapa penyedia platform e-dagang yang ada di Indonesia antara lain Tokopedia, Bukalapak, Blibli.com, Lazada, Elevania, Shopee, dan Zalora.
Kesetaraan
Managing Partner dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam berpendapat, peraturan itu menegaskan bahwa bisnis yang dijalankan melalui platform e-dagang juga dikenai pajak sebagaimana ketentuan perpajakan pada umumnya. PMK itu juga memberikan keadilan bagi pelaku perdagangan yang tidak berjualan melalui laman pemasaran.
Menurut pemerhati industri e-dagang sekaligus CEO Bentang Informatika, Kun Arief Cahyantoro, sejak 2010 telah terjadi pergeseran pola transaksi ritel, dari tradisional ke daring. Oleh karena itu, pengenaan pajak terhadap transaksi e-dagang lebih berkaitan pada tata cara, bukan pada pengenaan pajak jenis baru.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, sektor ekonomi digital yang berkembang cukup pesat membuka potensi penerimaan pajak. Hasil penelitian CITA, potensi PPh final bisa mencapai Rp 342 miliar dengan asumsi nilai transaksi pada tiga penyedia platform e-dagang Rp 68,4 triliun tahun 2017.
Sektor ekonomi digital yang berkembang cukup pesat membuka potensi penerimaan pajak.
”Potensi penerimaan belum dari PPN karena lebih sulit dipilah. Kendati potensi belum signifikan dibandingkan dengan target penerimaan tahun ini yang mencapai Rp 2.000 triliun, spektrumnya bisa sangat luas,” kata Yustinus.
Penyedia platform e-dagang menjadi tulang punggung keberhasilan implementasi. Sebab, mereka bertugas memastikan pedagang atau penyedia jasa memiliki NPWP sebelum mendaftar untuk berjualan. Sosialisasi, koordinasi, dan pengawasan harus tepat sasaran.
Pemerintah menetapkan target pendapatan Rp 2.165,1 triliun pada APBN 2019, antara lain dari penerimaan pajak Rp 1.786,4 triliun. Menurut Sri Mulyani, dibutuhkan pertumbuhan penerimaan 20 persen untuk mencapai target pajak tahun ini. Strateginya menitikberatkan pada optimalisasi tata kelola dan data wajib pajak yang dibarengi dengan pemberian insentif
Managing Partner dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam yang dihubungi Minggu (13/1/2019) di Jakarta memandang, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 bersifat penegasan. Sebagai penegasan artinya hanya menegaskan bahwa bisnis yang dijalankan melalui platform e-dagang, terutama laman pemasaran, juga terkena pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan pada umumnya.
Tantangan
Tantangan penerapan peraturan menteri keuangan itu adalah entitas perusahaan penyedia platform e-dagang tidak berada di Indonesia. Tantangan ini sebenarnya bisa dihadapi ketika pemerintah berani melahirkan peraturan yang mewajibkan seluruh pihak yang terkait ekosistem industri e-dagang dan melakukan transaksi di Indonesia wajib memiliki nomor pokok wajib pajak Indonesia.
Pada tahun 2018, kalangan pelaku industri e-dagang, terutama penyedia platform laman pemasaran, telah mendengar pemerintah akan mengeluarkan peraturan tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Saat itu, pelaku mengkhawatirkan para mitra penjual akan pindah ke platform media sosial karena bebas dari pengawasan perpajakan.
Survei Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) terhadap 1.800 pelaku UKM di 11 kota besar pada 2017 menyebutkan, hanya 16 persen pelaku berjualan di laman pemasaran. Sebanyak 59 persen responden mengaku menggunakan media sosial, seperti Facebook dan Instagram.
Baca juga: https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/01/11/industri-e-dagang-semakin-matang/
Menurut Kun, ketakutan penyedia laman pemasaran disebabkan analisis jangka pendek, seperti prediksi terjadinya turn over jumlah mitra penjual mereka.
”Namun, bagi para mitra penjual, hal terpenting adalah penyedia platform laman pemasaran menjaga kepercayaan dan menjamin keamanan transaksi mereka. Kondisi sekarang mirip ketika penyedia platform laman pemasaran menerapkan rekening bersama yang pada akhirnya diikuti semua mitra. Kunci bisnis daring adalah kepercayaan serta jaminan keamanan,” kata Kun.
Yustinus Prastowo berpendapat, salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan peraturan menteri keuangan itu adalah pemilik platform laman pemasaran. Mereka akan menjadi tulang punggung untuk memastikan mitra penjual memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) sebelum mendaftar sebagai pengguna. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi, koordinasi, dan pengawasan kepada penyedia platform.
”Sosialisasi dan edukasi kepada penjual yang umumnya UMKM harus dioptimalkan sejak sekarang sampai April. Tujuannya agar mereka memperoleh pemahaman yang baik, tidak menimbulkan gejolak, tidak kontradiktif karena distorsi informasi. Pada saat bersamaan, Direktorat Jenderal Pajak harus menyiapkan perangkat administrasi untuk registrasi dan pelaporan,” ujar Yustinus.
Kewajiban penyedia platform laman pemasaran menyerahkan laporan rekapitulasi transaksi pedagang juga akan menambah beban administrasi. Dia menyarankan, apabila timbul biaya administrasi tinggi, pemerintah sebaiknya menetapkan kompensasi atau fasilitas yang memudahkan pelaporan.
Yustinus menambahkan, tren transaksi perdagangan diperkirakan semakin masif terjadi di platform daring. Jika tren ini benar terjadi, nilai transaksi e-dagang akan membesar.
”Upaya pemerintah memberikan penegasan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 sudah tepat. Sekarang, nilai transaksi e-dagang mumpung masih kecil, pemerintah membangun kesadaran patuh registrasi pajak dulu melalui peraturan menteri keuangan itu,” ujarnya.