LUMAJANG, KOMPAS — Gara-gara berkenalan di media sosial, SA, seorang anak berusia 14 tahun di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, menjadi korban perkosaan. Tragisnya, pelaku perkosaan juga masih berstatus anak-anak.
Kasus perkosaan dengan korban dan pelaku anak di bawah umur tersebut terungkap setelah Senin (14/1/2019), tim Crime Hunter Kepolisian Resor Lumajang berhasil membekuk RAR (17), warga Dusun Krajan RT 009 RW 003, Desa Yosowilangun, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan itu ditangkap tanpa perlawanan di rumah kakeknya, Tole, di Dusun Krajan, Desa Yosowilangun Lor.
RAR ditangkap atas tindak lanjut laporan Muhadi (56), warga Dusun Tanah Merah Utara, Kelurahan Tanah Kalikedinding, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya, kepada Polres Lumajang pada Sabtu (12/1/2019). Muhadi adalah ayah dari SA (14). Muhadi melaporkan, SA telah menjadi korban persetubuhan oleh seseorang.
Dari penangkapan RAR, diketahui bahwa ia dan SA kenal melalui jejaring sosial Facebook (FB) sekitar sebulan lalu. Dari perkenalan itu, mereka bersepakat untuk bertemu pada Kamis (10/1/2019) malam.
Pada hari yang telah ditentukan, sekitar pukul 19.00 WIB, SA keluar dari rumah tanpa izin keluarga ataupun saudara. ”Belakangan diketahui, SA keluar rumah untuk bertemu tersangka RAR. RAR mengajak korban berkeliling di sekitar Kecamatan Yosowilangun dan akhirnya berhenti di rumah kakek tersangka di Dusun Krajan, Desa Yosowilangun, Kabupaten Lumajang. Di sanalah SA disetubuhi oleh pelaku,” tutur Kepala Polres Lumajang Ajun Komisaris Besar Muhammad Arsal Sahban, Senin.
Setelah diperkosa, SA kembali dibonceng oleh pelaku dan diturunkan di sekitar Kantor Pegadaian Kecamatan Yosowilangun, Jumat, 11 Januari. Saat SA berdiri di pinggir jalan dengan linglung, ada keluarganya yang mengenali SA. Keluarga tersebut kemudian mengajak SA pulang ke rumah.
”Kejadian ini adalah tamparan keras bagi orangtua yang tidak mengawasi anaknya dalam bermain media sosial. Apalagi korban dan pelaku sama-sama masih berstatus anak. Kita semua tahu, media sosial memiliki efek positif dan negatif,” ujar Arsal.
”Maka dari itu, saya berpesan kepada seluruh pengguna jejaring medsos, khususnya anak muda, agar lebih berhati-hati dan semakin bijak dalam penggunaannya,” lanjutnya.
Adapun untuk pidana persetubuhan anak di bawah umur, pelaku dijerat dengan Pasal 81 (tentang persetubuhan terhadap anak) dan Pasal 82 (tentang bujuk rayu) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Dalam beberapa waktu terakhir, di Lumajang sering ditemukan kasus kekerasan seksual pada anak. Untuk itu, Arsal menambahkan, dalam penanganan kasus tersebut, Polres Lumajang juga berkoordinasi dengan pemerhati anak yang juga mantan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Erlinda. Hal itu dilakukan untuk mencari cara mencegah terus terjadinya kekerasan seksual pada anak.
”Masyarakat, khususnya anak dan remaja, saat ini banyak yang menjadi sasaran kelompok predator yang bersembunyi di media sosial. Para predator memberikan janji pekerjaan yang layak serta penghasilan. Peran orangtua, kontrol masyarakat, dan kerja sama lembaga negara sangat dibutuhkan pada aspek pencegahan dan penanganan kejahatan di dunia maya tersebut,” tutur Erlinda.
Penyalahgunaan teknologi dan penggunaan internet, menurut Erlinda, berpotensi menjadikan anak-anak sebagai korban kejahatan seksual, baik pornografi, prostitusi, trafficking, bullying, dan kekerasan lain.
”Oleh karena itu, anak-anak perlu diberikan pemahaman agar mempunyai pengetahuan dan sikap berhati-hati apabila ada bujuk rayu menyesatkan termasuk di media sosial. Pendidikan seksual pada anak juga merupakan salah satu cara meminimalkan anak menjadi korban eksploitasi, kekerasan seksual, dan pornografi,” lanjut Erlinda.