Catur bukan sekadar permainan. Perlu strategi dalam memajukan setiap prajurit untuk menjaga raja dari segala ancaman hingga tetap berdiri di akhir pertandingan. Berpikir sebelum bertindak, inilah catur.
”Melalui catur, kita dilatih untuk berpikir sebelum melangkah. Dalam kehidupan sehari-hari, daya pikir seperti ini bermanfaat untuk membantu menganalisis guna memecahkan suatu persoalan,” kata Dewan Pembina Perhimpunan Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PB Percasi) Eka Putra Wirya, di Jakarta, Sabtu (12/1/2019).
Hal itu diutarakan dalam festival Chess in School di Sekolah Menengah Atas Kristen 1 Badan Pendidikan Kristen Penabur (SMAK 1 BPK Penabur), Tanjung Duren, Jakarta Barat. Kegiatan hasil kerja sama antara BPK Penabur Jakarta dan PB Percasi itu merupakan pionir catur di sekolah.
Permainan catur memang tak mengenal usia, siapa pun bisa terpacu untuk membuat pertahanan dan menyusun strategi perang dengan cara masing-masing. Eka mengatakan, asal menyukai dan memahami caranya, anak usia bawah lima tahun pun bisa bermain catur.
”Awalnya aku enggak suka catur karena kelihatannya ribet. Tapi, setelah coba main sama opung, ayah, dan sepupu, sekarang aku jadi suka. Aku sering belajarnya lewat Youtube, cari strategi baru buat kalahin lawan,” kata Adeline Putri (11), siswi SDK Penabur, Pondok Indah, Jakarta.
Selain mengembangkan daya pikir, kreativitas, dan kedisiplinan, permainan catur juga mengajarkan sportivitas. Mengaku kalah dan kembali mencoba, setidaknya inilah yang dilakukan sekitar 140 siswa yang kalah dalam turnamen di babak pertama.
Para siswa yang menjadi peserta berjenjang mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas yang kalah dalam babak pertama turnamen catur. Meski kalah, mereka tetap berjuang, berharap dapat menjaga raja di babak berikutnya.
”Tadi aku salah strategi waktu di akhir pertandingan. Tapi, enggak apa-apa, kan masih ada babak selanjutnya,” kata Nicolas Benito Ong (7), siswa SDK Penabur Serpong, dengan antusias.
Dalam babak pertama, Nicolas melawan Filbert Hojaya (8), siswa SDK 3 Penabur, Jakarta. Meski keduanya masih duduk di bangku sekolah dasar, mereka bermain penuh perhitungan dalam menentukan setiap langkah bidak.
Tangan mungil mereka memajukan satu per satu bidak dengan pasti, sementara mata mereka tetap fokus menyusun strategi untuk langkah selanjutnya. Pertandingan berlangsung sekitar 10 menit, hingga akhirnya raja milik Nicolas sekakmat, dikepung oleh menteri dan benteng di baris akhir pertahanan.
Meski sempat beberapa kali Filbert mengajukan protes kepada wasit karena menilai ada pelanggaran, seusai pertandingan, keduanya saling berjabat tangan seraya melempar senyum satu dengan yang lain. Tak ada raut kekecewaan dari Nicolas. ”Sportivitas tetap yang utama,” ujarnya.
Festival ini juga turut dimeriahkan para juara catur dunia, di antaranya Grand Master Susanto Megaranto, International Master Sean Winshand Cuhendi, International Master dan Woman Grand Master Irine Kharisma Sukandar, International Master Taufik Halay, serta Woman FIDE Master Samantha Edithso.
Saat pembukaan, para juara catur dunia mengadakan catur simultan. Mereka melawan setidaknya empat orang sekaligus. Tak memerlukan waktu yang lama, dengan sigap dan cekatan, satu per satu raja milik lawan disekakmat oleh para juara catur.
”Awalnya aku iseng aja ikut ekstrakurikuler catur di sekolah. Setelah dua minggu, orangtuaku dipanggil guru. Katanya aku punya bakat di catur,” ujar Woman FIDE Master Samantha Edithso yang berusia 10 tahun.
Samantha mengaku sudah sekitar empat tahun ini menekuni catur. Baginya, jika ingin menjadi ahli dalam suatu bidang, maka harus fokus dan disiplin untuk berlatih. Usaha dan kerja keras berlatih catur terbayarkan saat dirinya menjuarai internasional FIDE World Championship 2018 U-10 yang berlangsung di Minks, Belarus.
Hal senada disampaikan Grand Master Susanto Megaranto. Menurut dia, untuk menjadi profesional dalam catur, maka harus berlatih dengan sungguh-sungguh. ”Melelahkan dan sulit sudah pasti, tetapi kalau kita terus menekuninya, hasil tidak akan mengkhianati proses,” ujarnya.
Kalau kita berada di puncak minat yang ditekuni, tentu hasilnya akan maksimal. Berlatih dan berlatih, karena dengan terbiasa, kita menjadi bisa melakukan hal yang awalnya tidak pernah terbayangkan. (Sharon Patricia)