Kementan: Surplus Padi Bukan Berarti Terbebas dari Impor
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Pertanian melaporkan kenaikan ekspor sejumlah komoditas pangan pada tahun 2018. Kendati demikian, bukan berarti Indonesia bisa terbebas dari impor komoditas pangan. Di fase-fase tertentu, impor tetap dibutuhkan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, ekspor beras naik dari 225 ton pada 2012 menjadi 3.683 ton pada 2018. Adapun beras yang diekspor adalah beras premium. Sementara ekspor jagung yang pada 2014 hanya 36.803 ton, naik menjadi 271.865 ton pada 2018.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Sumarjo Gatot Irianto, mengatakan, saat memasuki musim tanam , impor tetap diperlukan guna memenuhi kebutuhan wilayah yang defisit komoditas bersangkutan.
Pada tahun 2018, misalnya, data Perkiraan Surplus/Defisit Padi (ARAM II) menunjukkan, terjadi defisit pada bulan Januari sebanyak 0,21 juta ton. Defisit terjadi di sebagian wilayah Kalimantan dan Papua. Namun, hasil kalkulasi sepanjang tahun menunjukkan Indonesia surplus padi sebanyak 18,09 juta ton.
"Jadi, jangan beranggapan ketika surplus, kita hanya ekspor. Saat bulan tertentu terbukti, Desember-Januari misalnya, jagung defisit, maka diadakanlah impor jagung bulan itu," kata Gatot, Jumat (11/1/2019), dalam diskusi yang digelar Kementerian Pertanian. Turut hadir pada acara tersebut pemerhati pertanian, Siswono Yudo Husodo.
Gatot mengatakan, pada tahun ini, sejumlah program disiapkan untuk meningkatkan produksi pangan. Adapun program tersebut, antara lain pengembangan padi gogo di lahan kering, pengembangan tumpangsari padi jagung kedelai, dan budi daya padi rawa.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP/2015) mencatat, potensi lahan kering di Indonesia sebanyak 29,39 juta hektar dan 7,52 juta hektar untuk budi daya padi rawa. Pada 2018, padi gogo sudah ditanam seluas 1 juta hektar. Untuk 2019 ini, ditargetkan 750.000 hektar.
Untuk padi rawa akan dilaksanakan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, masing-masing 250 ribu hektar. Sementara untuk pengembangan tumpangsari pada 2019, padi-kedelai, kedelai-jagung, dan padi-jagung, akan diproyeksikan masing-masing 350.000 hektar.
Perluasan
Siswono berpendapat, perluasan lahan pertanian di Indonesia mendesak untuk dilakukan. Ini bertujuan agar Indonesia berbenah untuk menjadi negara pengekspor pangan. Dengan mengutip data sensus Badan Pusat Statistik 2013, kepemilikan lahan petani hanya 0,3 hektar. "Luasan lahan Ini terlalu kecil untuk membuat petani sejahtera," kata Siswono.
Dia melanjutkan, wilayah di luar Jawa memungkinkan untuk perluasan area tanam. Sementara perluasan di Jawa sudah tidak memungkinkan karena sudah dipenuhi infrastruktur industri.
Selain perluasan lahan, kata Siswono, masing-masing instansi terkait juga perlu menyamakan data. Hal ini bertujuan untuk memastikan kapasitas produksi pangan nasional.
Selain perluasan lahan, masing-masing instansi terkait juga perlu menyamakan data
Pada Oktober tahun lalu, data terkait luas baku sawah direvisi. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mendata, sepanjang 2013-2018 luas baku sawah berkurang 645.855 hektar menjadi 7,105 juta hektar.
Konsekuensinya, potensi panen padi tahun 2018 menjadi 10,9 hektar lebih rendah dari proyeksi Kementerian Pertanian seluas 15,99 juta hektar. Akibatnya, potensi produksi padi juga menyusut menjadi 45,54 juta ton gabah kering giling (GKG) dari proyeksi Kementan 83,03 juta ton GKG. (Kompas, Senin 26 November 2018).
Kompas (Senin, 3 Desember 2018) memberitakan, pada Jumat 30 November 2018, dalam rapat koordinasi nasional, Kementerian Pertanian meminta dinas pertanian mengecek ulang luas baku sawah. Ini terkait data penyusutuan 645.855 hektar luas baku sawah yang disampaikan pemerintah seusai rapat terbatas, dipimpin Jusuf Kalla, Senin (22/10/2018).
Pengecekan ulang dilakukan dengan memotret sawah yang disebut tidak ada dalam data Kementerian ATR/BPN. Foto sawah dilaporkan ke Kementan paling lambat 10 Desember 2018.
Gatot menambahkan, hasil pengecakan ulang itu sudah dilaporkan ke kementerian terkait. Menurut dia, pihaknya akan berpatokan pada data terbaru Badan Pusat Statistik yang bekerja sama dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian ATR/BPN.
"Intinya, acuan kami tetap pada BPS. Jangan lagi dibentur-benturkan, karena kami sama-sama birokrat pemerintah," kata Gatot. (INSAN ALFAJRI)