Pemerintah Diminta Tak Gegabah Putuskan Impor Gula Rafinasi
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Impor gula rafinasi dinilai bisa merusak harga gula konsumsi di pasaran. Sebab harga gula ini lebih murah dibanding gula konsumsi produksi petani dalam negeri. Sebagian kalangan menyarankan pemerintah tidak gegabah memutuskan impor gula tersebut.
Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (Aptri) Soemitro Samadikoen mengatakan selama ini jumlah impor gula rafinasi (gula mengalami proses pemurnian dan lebih banyak untuk kebutuhan industri) melebihi kebutuhan. Alhasil, gula ini merembes dan beredar ke pasaran bebas.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2013 hingga 2017, impor gula meningkat sebanyak 7,91 persen. Selain itu, impor gula dari Januari hingga November 2018 mencapai 2,96 juta ton dari alokasi impor mencapai 3,6 juta ton hingga akhir tahun 2018.
“Kehadiran gula rafinasi di pasaran dengan harga sekitar Rp 8.000 hingga Rp 9.000 per kilogram (per kg) membuat petani semakin terpuruk. Sebab, harga gula konsumsi yang merupakan produk dalam negeri mencapai Rp 12.500 per kg,” kata Soemitro, Kamis (10/1/2019) kepada Kompas.
Beredarnya gula rafinasi di pasaran juga melanggar aturan hukum. Soemitro menyampaikan, hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Pada 20 September 2018, Badan Reserse Kriminal Polri dan Kementerian Perdagangan mengungkap penyalahgunaan gula rafinasi. Gula rafinasi tersebut ada yang sudah dan hendak didistribusikan ke pasar-pasar tradisional di Pulau Jawa.
Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Daniel Silitonga di Cilegon, Banten, mengatakan, sekitar 100 ton gula rafinasi disita dari toko-toko di sejumlah provinsi di Pulau Jawa. Sementara sejumlah 340 ton gula rafinasi yang belum disalurkan disita dari sebuah pabrik di Cilegon. (Kompas, 21 September 2018).
Sementara itu, pemerintah memprediksi kebutuhan impor gula rafinasi pada 2019 mencapai 2,8 juta ton. Meski jumlah ini turun sekitar 0,8 ton dibandingkan tahun lalu, namun polemik peredaran gula rafinasi di pasaran masih terjadi.
“Impor gula rafinasi itu berdasarkan kebutuhan. Sebab, dari sisi pasokan, jumlahnya tidak siap. Selain itu, kualitas gula rafinasi dalam negeri juga tidak sesuai dengan kriteria yang diminta industri makanan dan minuman,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Hal ini disampaikan dalam acara konferensi pers Kementerian Perdagangan (Kemendag) awal tahun 2019. Lebih lanjut, Enggartiasto menyampaikan, standar ICUMSA (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis) dari gula rafinasi produksi dalam negeri tergolong tinggi.
“Kondisi tersebut tidak dapat diterima oleh industri. Sebagai contoh, para pengusaha dodol di Garut mengatakan jika menggunakan gula rafinasi dalam negeri, dodolnya akan mudah bulukan,” ujar Enggartiasto.
Selain itu, menurut data di portal statistik “Statista”, pada kurun waktu 2017-2018, Indonesia menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia, yaitu mencapai 4,45 juta ton. Jumlah ini lebih tinggi dari China (4,2 juta ton) dan Amerika (3,11 ton).
Data ini sempat dikomentari oleh Pakar Ekonomi Fasial Basri pada 8 Januari 2019 dalam akun Twitter pribadinya. Melalui cuitannya, Faisal menyampaikan, “menjelang pemilu, tiba-tiba Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di Dunia. Praktek rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan”.
Gula konsumsi
Sementara untuk gula konsumsi, Enggartiasto mengatakan, kebutuhan dan stok awal masih dihitung. “Kalau neraca ada saldo awal, kalau di Kemendag ada stok awal. Jadi kami harus menghitung stok awal terlebih dahulu agar impor sesuai kebutuhan,” ujarnya.
Terkait hal ini, Soemitro kembali menyampaikan pandanganya bahwa pemerintah sebenarnya tidak perlu mengimpor gula konsumsi. Sebab, stok awal tahun 2019 ada sekitar 1 juta ton. Stok ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat hingga bulan April atau Mei 2019.
“Setelah itu, para petani dapat kembali menggiling tebu dengan jumlah produksi mencapai 2,1 juta ton. Jumlah ini dapat mencukupi kebutuhan gula masyarakat hingga akhir tahun yang secara keseluruhan, kebutuhan gula mencapai 2,7-2,8 juta ton per tahun,” kata Soemitro.
Selain itu, Soemitro juga menyoroti harga beli gula di petani yang lebih rendah dari biaya produksi. Sejak akhir 2017, gula di petani dibeli dengan harga maksimal Rp 9.000 per kg. sementara biaya produksi mencapai Rp 10.500 per kg.
“Kita sebenarnya mampu kok untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi. Jangan langsung mengimpor. Biarlah para petani merasakan kebahagiaan atas hasil produksinya dengan membeli gula di atas biaya produksi,” kata Soemitro. (Sharon Patricia)