Mereka Tak Tahu Harus Mengungsi ke Mana
Lebih dari dua pekan silam, tsunami Selat Sunda menerjang pesisir Banten dan Lampung serta menyebabkan 431 orang tewas, lebih dari 40.000 warga mengungsi, dan ribuan rumah luluh lantak. Ada potret buram mitigasi bencana yang menyertai petaka di pengujung tahun tersebut.
Bainah (35) kebingungan mencari tempat pengungsian saat tsunami Selat Sunda menerjang pesisir Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten, Sabtu (22/12/2018) malam. Sambil dilanda kepanikan, Bainah berlari bersama suami dan tiga anaknya.
Mereka berlima masuk ke dalam gang yang berjarak 200 meter dari rumahnya di Kampung Citajur, Desa Sukarame, Kecamatan Carita, Banten, mengikuti kerumunan orang yang berlari. Sebagian berteriak. “Air naik, air naik,”. Di mulut gang tersebut, terdapat plang petunjuk rute evakuasi berwarna oranye.
Namun, Bainah tak memperhatikan papan itu. Begitu juga warga lain. Dia terus berlari menjauhi pantai. Berjarak sekitar 800 meter dari gang, Bainah dan keluarga mendapati sebuah tanah lapang. Mereka mengungsi di lokasi itu bersama puluhan warga lain berbekal terpal. Sebagian warga pun menumpang di rumah penduduk.
Bainah tidak tahu jika saat bencana melanda perlu mengikuti papan petunjuk rute evakuasi. “Di sini tidak pernah ada pelatihan soal bencana. Yang kami tahu kalau ada tsunami atau gelombang tinggi ya lari ke bukit,” ucap Bainah, yang bekerja sebagai petani penggarap.
Papan petunjuk evakuasi tersebut saat itu memang tidak disertai informasi mengarah ke kawasan mana. Selang 100 meter dari mulut gang, ada papan petunjuk serupa mengarah menjauhi pantai. Namun, saat gang mulai menyempit dan banyak cabang, tidak ada lagi petunjuk lain.
Berdasarkan keterangan warga, gang tersebut mengarah ke Curug Putri. Setelah beberapa hari tsunami terjadi, tulisan Curug Putri pun diletakkan di samping papan evakuasi. Curug itu berjarak sekitar dua kilometer dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau sepeda motor yang dimodifikasi. Namun, Bainah dan keluarga memilih untuk berhenti di sebuah tanah lapang bekas areal persawahan di Kampung Cibenda, Desa Sukarame.
Papan petunjuk rute evakuasi yang tidak jelas informasinya juga tampak di Kampung Sambolo, Desa Sukarame, Carita. Plang berwarna putih dengan tulisan “Ikuti Jalur Aman Bila Terjadi Tsunami” tersebut dipasang oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Banten di mulut gang yang juga menuju ke Curug Putri, kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Banten.
Saat Kompas menelusuri gang yang hanya selebar dua meter tersebut, tidak ada lagi papan petunjuk lain yang menjelaskan rute evakuasi. Berjarak sekitar 400 meter dari mulut gang terdapat papan bertuliskan “Tempat Pertemuan” di depan masjid kecil bernama At Taqwa, di Kampung Susukan, Desa Sukarame.
Namun, warga di sekitar masjid juga ikut mengungsi ke lokasi yang lebih tinggi saat tsunami terjadi. Arkasih (40), warga Kampung Susukan, misalnya juga berlari ke arah timur menuju perbukitan. Saat diikuti lebih jauh, gang tersebut menyempit hanya menjadi sekitar 1 meter dengan jalur tanah liat dan penuh batu. Jalan itu menuju ke areal pintu masuk Curug Putri yang berjarak sekitar 1,5 kilometer.
Belum ada simulasi
Emi (35), warga Kampung Susukan, menuturkan, banyak orang yang mengungsi di Curug Putri kawasan Tahura Banten. “Mereka dari Kampung Karawang, Legon, Cibenda, dan Sangiang. Masih di Desa Sukarame,” tutur laki-laki yang sehari-hari berkebun di sekitar Curug Putri.
Warga yang berlari menuju Curug Putri Carita tidak melihat arah petunjuk jalur evakuasi. Mereka hanya berlari menuju ke dataran tinggi. Ketidaktahuan tersebut terjadi karena masyarakat tidak pernah memperoleh simulasi evakuasi ketika terjadi bencana tsunami. “Tidak pernah ada pelatihan atau simulasi bencana di sini,” ucap Arkasih.
Di Kampung Legon, Desa Sukarame, Carita, plang petunjuk jalur evakuasi bahkan rubuh ke pinggir jalan dan tertutup gapura sehingga tidak terlihat jika warga melintas. “Sudah 6 tahun lalu plangnya rubuh. Sampai sekarang belum diperbaiki,” ucap Wawan (44), warga Kampung Legon, Sukarame.
Wawan menceritakan, papan tersebut rubuh karena tidak pernah diurus oleh pemerintah. Ia juga mengaku belum pernah mendapat pelatihan simulasi evakuasi saat terjadi bencana tsunami. Wawan bersama warga lain hanya tahu lokasi yang aman untuk mengungsi saat terjadi tsunami, yaitu di Kantor Balai Pengelolaan Tahura Banten atau yang dikenal masyarakat dengan nama Pesanggrahan.
Warga Kampung Legon lainnya, Mutia (43) juga hanya berlari ikut warga lainnya menuju Pesanggrahan. Mereka mengenal tempat tersebut untuk mengungsi karena pernah menjadi tempat berlindung ketika ada isu akan terjadi tsunami di Carita pada tahun 2006 silam. “Yang penting selamat dulu,” ucap Mutia.
Balai Pengelolaan Tahura Banten masih berada di Desa Sukarame, Kecamatan Carita, dan berjarak sekitar 1 kilometer dari bibir pantai dengan ketinggian 95 meter di atas permukaan laut. Warga pendatang atau wisatawan akan kebingungan untuk mencapai lokasi tersebut karena minim papan petunjuk rute evakuasi. Hanya ada dua papan petunjuk evakuasi. Padahal, ada jalan bercabang menuju lokasi tersebut.
Staf Pengembangan dan Pemanfaatan Tahura Banten Supriadi mengaku terkejut ketika banyak orang mengungsi ke kantornya. Ada sekitar 1.700 orang mengungsi di Posko Perum Perhutani. Mereka berasal dari Kampung Karawang dan Legon, Desa Sukarame, Kecamatan Carita.
“Saya tidak tahu kalau jalur evakuasi tsunami menuju ke sini (Balai Pengelolaan Tahura Banten),” ujar Supriadi.
Ia mengaku tidak pernah diberitahu mengenai jalur evakuasi dari lembaga pemerintahan lain. Mereka juga tidak pernah mendapatkan pelatihan simulasi evakuasi saat terjadi bencana tsunami. “Kalau kami diberitahu dulu kan bisa siap-siap,” kata Supriadi.
Di Balai Pengelolaan Tahura Banten, pengungsi memperoleh fasilitas air bersih dan toilet. Bahkan, cottage milik Perum Perhutani pun digunakan para pengungsi untuk menginap. Kendati demikian, minimnya pengetahuan warga terkait mitigasi bencana membuat banyak warga mengungsi secara sporadis ke banyak titik.
Menurut Aden (45), warga Desa Sukarame, cerita mengenai letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 disampaikan leluhur warga secara turun-temurun.
“Jadi, warga juga diberi tahu, kalau terjadi tsunami harus lari menjauhi pantai. Tidak perlu lagi melihat papan petunjuk arah evakuasi,” katanya.
Aden berharap mendapatkan sosialisasi atau pelatihan menghadapi bencana. Belum ada instansi yang mengadakan kegiatan tersebut. “Misalnya, bagaimana warga diajari melakukan P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan). Atau, apa yang harus dilakukan jika gempa atau tsunami terjadi,” kata Aden.
Kebingungan
Hal serupa juga terjadi di Desa Waimuli Induk, kawasan pesisir Lampung Selatan, Provinsi Lampung, yang terkena dampak tsunami. Banyak warga yang kebingungan mencari tempat untuk menyelamatkan diri. Jalur evakuasi mengarah ke lokasi yang tidak terdapat shelter maupun lokasi pengungsian.
Saat tsunami Selat Sunda menerjang dua pekan silam, Noni (35), warga setempat, malah berlari ke rumah ibunya. Sambil dilanda kepanikan, Noni bersama suami dan anaknya, lari dari rumahnya yang berada di seberang Jalan Pesisir atau sekitar 10 meter dari bibir pantai. Padahal, rumah ibunya itu tidak lebih tinggi dari lokasi rumahnya.“Saya hanya terpikirkan pergi ke rumah ibu biar lebih aman,” ujar Noni.
Melihat Noni berjalan ke arah yang salah, sang suami menarik dia untuk pergi ke atas bukit. Mereka kemudian selamat karena air tidak sampai ke atas. Namun, rumahnya hancur diterjang tsunami sekitar 2-3 meter itu.“Ya kami bingung mau kemana,” ujar Noni yang mengaku tidak tahu ada jalur evakuasi tsunami.
Untuk memandu warga mencari tempat aman dari terjangan tsunami, pemerintah memasang tanda panah penunjuk jalan evakuasi tsunami. Namun, rupanya penunjuk jalan itu tidak mengarah ke tempat evakuasi yang aman dan layak untuk berlindung dari tsunami.
Pada Senin (7/1/2019), Kompas mencoba menyusuri jalur evakuasi yang ditunjukkan melalui plang tanda panah di Desa Waimuli Induk, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan.
Berada di depan Kantor Desa Waimuli Induk yang berada di Jalan Pesisir, terdapat tiang setinggi 1,8 meter dengan penunjuk arah yang bertuliskan “Jalur Evakuasi” dan gambar ombak bertuliskan “Tsunami” yang dipasang di pelat besi berwarna biru.
Tiang tanda itu hanya menunjukkan arah dan tidak terdapat informasi, dimana lokasi evakuasi ataupun berapa jarak lokasi evakuasi tersebut. Tanda itu berbentuk panah yang menunjukkan ke dalam sebuah gang kecil.
Tanda penunjuk arah evakuasi tsunami itu terhalang oleh atribut partai politik yang dipasang persis di sebelahnya. Gang untuk jalur evakuasi itu lebarnya hanya sekitar dua meter yang diapit dua rumah. Permukaan tanah sudah dilapisi batako dan sebagian semen.
Meneruskan perjalanan, gang itu masuk ke permukiman warga yang padat. Jalur itu berbukit dengan kecuraman setiap tangganya sekitar 10-20 derajat. Sekitar 300 meter masuk ke dalam gang, tidak ada lagi tanda penunjuk soal lokasi evakuasi.
Alih-alih menemukan tempat kumpul untuk evakuasi, ujung gang itu malah menuju ke hutan di kaki Gunung Rajabasa.“Panah itu tidak tahu ya arahnya kemana. Kami juga kurang perhatikan tuh," ujar Izul (32), warga yang tinggal di gang tersebut.
Izul mengatakan, meski disebut sebagai jalur evakuasi, saat tsunami datang, tidak banyak warga yang melewati gang ini. Adapun warga yang menyelamatkan diri lewat gang ini adalah yang tinggal di sekitar gang ini.
Saking kecilnya gang dan tidak terlihatnya tanda panah jalur evakuasi itu, mobil dan logistik bantuan tidak ada yang melewati gang untuk jalur evakuasi tersebut. Posko pengungsian justru berada di lokasi lain.
Kepala Desa Waimuli Timur Zamra Ghozali mengakui, saat tsunami terjadi, warga masih bingung harus berlari kemana.“Semua pada lari saja ke sembarangan arah. Kebanyakan lari ke atas bukit, berharap airnya tidak sampai ke atas,” ujar Zamra.
Tidak ada shelter
Zamra menjelaskan, saat ini belum ada tempat evakuasi tsunami atau shelter di desa itu. Tidak adanya shelter tsunami membuat warga bingung harus lari dan berkumpul dimana saat tsunami datang.
Saat warga lari ke atas bukit, mereka bingung harus pergi kemana dan berbuat apa. Tidak ada tempat berteduh dan kering untuk berlindung.Namun, mereka harus menanti beberapa jam di atas bukit sampai air surut.Saat air surut pun mereka bingung, entah harus kembali ke rumah atau bertahan di atas bukit.
“Pengennyasaya sih di puncak atas bukit itu ada tempat evakuasi tsunami. Jadi warga kumpul semua disitu. Kan jadinya lebih mudah untuk mencari anggota keluarganya yang selamat,” ujar Zamra.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lampung Selatan I Ketut Sukerta mengatakan, tanda panah jalur evakuasi memang diarahkan ke atas bukit. "(Warga dapat) mengungsi ke daerah atas yang tidak terkena tsunami," ujar Ketut.
Terkait sempitnya jalur evakuasi, Ketut mengakui, ke depan akan ada perluasan jalan. Masih terdapat sebagian lahan warga yang nantinya akan dipakai untuk pelebaran jalur evakuasi.
Ketut menambahkan, sosialisasi evakuasi tsunami juga sudah kerap dilakukan. Namun, ia mengakui belum semua warga memahaminya. “Pemahaman soal evakuasi itu kan harus disampaikan terus menerus. Ini kali pertama bagi kita diterjang tsunami, jadi panik semua,” ucap Ketut.
Secara terpisah, Bupati Pandeglang Irna Narulita mengakui, mitigasi bencana penting khususnya di area pesisir yang rawan bencana. Untuk itu, dia akan membenahi jalur-jalur evakuasi bencana di Pandeglang. Pihaknya terus berkonsultasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terkait hal itu. “Akan dibuat jalur evakuasi dan tangga darurat untuk membantu jika terjadi bencana, termasuk di area hotel,” tutur Irna.
Ketiadaan lokasi pengungsian yang layak, belum tampaknya jalur evakuasi yang mudah dijangkau, dan minimnya sosialisasi bencana kepada warga menunjukkan pemerintah masih abai dengan upaya mitigasi bencana. Upaya mitigasi umumnya baru disadari setelah mengalami sendiri petaka yang merenggut korban jiwa. (PDS/BKY/BAY)