Ujung Transisi Perikanan Tangkap
Empat tahun sudah masa transisi kebijakan sektor perikanan tangkap. Dari penenggelaman kapal ikan ilegal, larangan cantrang, hingga evaluasi perizinan kapal. Tahun ini, tantangan semakin besar.
Sejak November 2014 hingga 2018, terhitung 488 kapal penangkapan ikan ilegal ditenggelamkan. Selama kurun Januari-Oktober 2018, sebanyak 633 kapal perikanan ilegal ditangkap, meliputi 267 kapal ikan asing dan 366 kapal ikan Indonesia.
Pemerintah juga melarang operasional kapal-kapal buatan luar negeri (eks asing). Sejalan dengan itu, penindakan dan sanksi diterapkan pada 1.132 kapal eks asing yang berada di Indonesia, meliputi 114 kapal diproses hukum, serta 975 kapal dikenakan sanksi administratif. Seluruh kapal eks asing tersebut wajib deregistrasi untuk selanjutnya dilakukan pemotongan (scrapping), penjualan kapal, atau alih fungsi kapal.
Sementara kebijakan larangan penggunaan cantrang, yang sempat diwarnai pro dan kontra, tetap dilanjutkan. Kini, penggunaan cantrang mulai ditinggalkan nelayan. Sejumlah kapal besar berganti alat tangkap dan bergeser wilayah penangkapan ikan, seperti ke Laut Arafura dan Natuna yang dikenal kaya ikan.
Evaluasi perizinan kapal ikan yang digulirkan sejak Mei 2018 mewajibkan proses pendaftaran, perizinan baru, dan perpanjangan izin kapal beralih dari manual ke dalam jaringan (daring). Namun, evaluasi perizinan ini tidak berjalan mulus. Kapal-kapal ukuran kecil dan besar mangkrak karena menunggu proses perizinan selesai, biasanya memakan waktu berbulan-bulan.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), izin penangkapan (SIPI) dan pengangkutan ikan (SIKPI) untuk kapal ukuran di atas 30 GT sebanyak 3.930 kapal. Hingga pertengahan Desember 2018, terdata masih 300 kapal dalam proses evaluasi dan pengajuan permohonan izin yang belum selesai.
Pemerintah menyebut rangkaian kebijakan pemberantasan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF) yang ditempuh merupakan upaya mendorong usaha perikanan lebih transparan dan akuntabel untuk perikanan berkelanjutan.
Sejalan dengan pemberantasan praktik IUUF, stok ikan nasional diklaim terus meningkat. Data KKP, stok ikan lestari meningkat dari 6,5 juta ton tahun 2014 menjadi 7,3 juta ton tahun 2015, lalu 9,9 juta ton tahun 2016, dan 12,5 juta ton pada 2017.
Ketimpangan
Akan tetapi, lonjakan stok ikan itu tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan produksi perikanan tangkap. Produksi perikanan tangkap hanya tumbuh tipis, yakni dari 6,2 juta ton pada tahun 2015, jadi 6,11 juta ton (2016), dan 6,42 juta ton (2017). Nilai ekspor hasil perikanan juga tumbuh lambat, dari 4,64 juta dollar AS tahun 2014, jadi 3,94 juta dollar AS (2015), 4,17 juta dollar AS (2016), dan 4,52 juta dollar AS (2017).
Ketimpangan pertumbuhan stok ikan nasional dengan produksi dan nilai ekspor mengindikasikan potensi perikanan masih belum dimanfaatkan optimal. Padahal, dalam kurun 2010-2018, pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk program bantuan kapal bagi kelompok dan koperasi nelayan. Bantuan ribuan kapal ukuran besar dan kecil selama delapan tahun terakhir seharusnya memadai untuk mendorong usaha perikanan tangkap dalam negeri.
Kosongnya perairan Indonesia dari eksploitasi sumber daya ikan oleh kapal-kapal asing sepatutnya jadi momentum kebangkitan industri perikanan dalam negeri. Lambannya kebangkitan industri perikanan merupakan ironi di tengah target pemerintah mempercepat industrialisasi perikanan.
Dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional Tahun 2016, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan 20 kementerian, Badan Informasi Geospasial, TNI/Polri, dan pemerintah provinsi bersinergi melaksanakan industrialisasi perikanan nasional agar ekonomi perikanan bergerak.
Memasuki tahun 2019, pemerintah punya tugas besar mempercepat industrialisasi perikanan sebagai bagian dari janji menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Sudah tiba waktunya proses transisi berujung pada kebangkitan sektor produksi perikanan nasional. Jangan sampai terulang penyakit lama, yakni pemerintah hanya fokus pada penyaluran anggaran untuk proyek bantuan fisik, tetapi abai dalam pendampingan nelayan. Akibatnya, kapal-kapal bantuan berujung mangkrak karena nelayan tidak mampu mengoperasikan.
Segenap energi bangsa perlu dikerahkan untuk bergerak dan mengoptimalkan potensi besar perikanan. Tentunya, hal ini perlu terus diimbangi dengan usaha pemerintah memperbaiki iklim investasi. Hal itu dibuktikan dengan perbaikan di sisi kemudahan berusaha, perizinan, dan akses permodalan. Tahun ini jadi momentum pembuktiannya.