Hemas: Datang Sidang Berarti Mengakui Kepemimpinan OSO
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Anggota DPD dari DI Yogyakarta GKR Hemas (kiri) berbicara dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019) siang, didampingi kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin (kanan).
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, mengatakan, kehadiran dalam sidang DPD berarti mengakui struktur kepemimpinan lembaga itu, Selasa (8/1/2019), di Jakarta. Sikap ini yang menjadi alasannya untuk kerap kali tidak menghadiri sidang DPD.
GKR Hemas mengatakan, ketidakhadirannya dalam sidang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu harus dibaca dalam konteks tidak mengakui kepemimpinan Oesman Sapta Odang atau lebih dikenal dengan nama panggilan OSO.
”Kalau saya hadir, berarti kehadiran saya melambangkan saya mengakui keberadaan mereka,” kata Hemas dalam konferensi pers yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat.
Dalam konferensi pers tersebut, Hemas didampingi kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin, serta anggota DPD lainnya, yakni Anna Latuconsina dari Maluku dan Nurmawati Dewi Bantilan dari Sulawesi Tengah.
Ketidakhadiran Hemas dalam sidang-sidang DPD menjadi alasan Badan Kehormatan (BK) DPD menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara bagi Hemas.
Kompas/Alif Ichwan
Ketua DPD terpilih Oesman Sapta Odang (tengah) mendapat ucapan selamat dari Wakil Ketua MA Bidang Yudisial M Syarifuddin (tengah), disaksikan Wakil Ketua I Nono Sampono (kiri) dan Wakil Ketua II Darmayanti (kanan) seusai pelantikan Ketua DPD pada Rapat Paripurna DPD di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/4/2017) malam.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua DPD Darmayanti Lubis mengatakan, sanksi akan terus berlanjut hingga yang bersangkutan meminta maaf kepada konstituen. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, sanksi tidak akan dicabut.
”Setahu saya tidak ada batas waktu tertentu bagi yang bersangkutan untuk melakukan (permintaan maaf). Takutnya, apabila tidak dilakukan, ya,sanksi tersebut tidak dicabut,” kata Darmayanti.
Ketua BK DPD Mervin Sadipun mencatat, Hemas sudah 12 kali tidak hadir dalam Sidang Paripurna DPD (Kompas, 21/12/2018).
Hemas mengatakan, meskipun tidak hadir di sidang DPD, ia terus menjalankan kewajiban dan tugasnya di daerah yang diwakilinya, bahkan tanpa dana reses. Ia mengatakan, syarat pencairan dana reses adalah memberikan tanda tangan sebagai tanda pengakuan terhadap kepemimpinan Oesman Sapta.
”Saya yakin sebetulnya banyak teman anggota DPD yang enggan (menandatangani). Padahal dana reses itu untuk konstituen, bukan untuk anggota,” kata Hemas.
Pada Mei 2017, puluhan anggota DPD terpaksa menggunakan uang pribadi untuk menjaring aspirasi masyarakat selama masa reses. Dana reses dari negara untuk mereka sengaja dibekukan karena menolak menandatangai surat mengakui pimpinan DPD baru yang diketuai Oesman Sapta.
Menandatangani surat pernyataan itu menjadi salah satu syarat dicairkannya dana reses. Ini sesuai kesepakatan yang diambil rapat pimpinan DPD dan panitia musyawarah DPD serta disahkan dalam Sidang Paripurna DPD pada 8 Mei 2017 (Kompas, 13/5/2017).
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Anggota DPD dari DI Yogyakarta, GKR Hemas (tengah), berbicara dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat pada Selasa (8/1/2019) siang, didampingi kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin (kanan), dan anggota DPD asal Sulawesi Tengah, Nurmawati Dwi Bantilan (kiri).
Kuasa Hukum Hemas, Irmanputra Sidin, mengatakan, pengakuan terhadap kepemimpinan Oesman Sapta malah dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap peraturan. Ia menilai, penetapan kepemimpinan Oesman Sapta telah melanggar Putusan Mahkamah Agung Nomor 20P/HUM/2017 yang menetapkan bahwa masa jabatan pimpinan DPD adalah 5 tahun, sesuai dengan masa keanggotaan.
Putusan MA tersebut menyatakan, pemotongan masa jabatan ini tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, tidak boleh ada pimpinan DPD baru.
”Kalau mengakui (kepemimpinan itu) sama artinya dengan melanggar putusan MA,” kata Irmanputra.
Pandangan serupa juga disampaikan anggota DPD dari Maluku, Anna Latuconsina. Anna mengatakan, tidak ada dasar hukum untuk penetapan periode kepimpinan DPD hanya selama 2,5 tahun, yakni 2017-2019.
”Tidak pimpinan parlemen seperti DPR, DPD, bahkan DPRD kabupaten/kota yang ada aturan periodisasinya. Masa jabatannya, ya, sama seperti masa keanggotaannya,” kata Anna.
Sementara itu, pada Selasa pagi, Hemas akan mengajukan polemik kepemimpinan DPD sebagai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi.
Darmayanti mengatakan, ia menghargai keputusan Hemas. ”Itu adalah hak semua orang,” kata Darmayanti.