Ironi Moratorium Hotel di Yogyakarta
Awal tahun ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta memberi “kado istimewa” untuk para investor yang ingin membangun hotel di kota tersebut. Setelah moratorium atau penghentian sementara pembangunan hotel selama 5 tahun, Pemkot Yogyakarta mengizinkan kembali pendirian hotel baru tahun ini.
Akan tetapi, izin yang diberikan terbatas hotel bintang 4 dan 5 serta penginapan selain hotel, misalnya homestay atau rumah inap, losmen, motel. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 85 Tahun 2018 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel yang ditandatangani Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, Senin (31/12/2018).
Perwali tersebut mengatur penghentian penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel baru sejak 1 Januari 2019 sampai 31 Desember 2019 kecuali untuk hotel bintang 4 dan bintang 5 serta fasilitas penginapan selain hotel.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan, kebijakan baru itu dikeluarkan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah wisatawan setelah beroperasinya bandara baru di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bandara yang ditargetkan beroperasi secara terbatas pada April 2019 itu diyakini bakal meningkatkan jumlah wisatawan ke Yogyakarta.
Hal ini dilatarbelakangi keberadaan bandara di Kulon Progo yang bisa didarati pesawat berbadan besar sehingga penerbangan dari berbagai negara lain dapat langsung mendarat di bandara itu. Ini berbeda dengan Bandara Internasional Adisutjipto, Kabupaten Sleman, DIY, yang tidak bisa didarati pesawat berbadan besar.
Heroe menuturkan, diizinkannya pembangunan hotel bintang 4 dan 5 juga mempertimbangkan banyaknya jumlah wisatawan yang datang ke Yogyakarta, terutama saat masa liburan. Dia mencontohkan, pada masa libur Natal dan Tahun Baru lalu, sejumlah wisatawan dari luar kota kesulitan mendapatkan hotel.
“Setelah berdiskusi panjang lebar dengan berbagai pemangku kepentingan, kami membuka izin pembangunan hotel baru tapi sangat terbatas, untuk hotel bintang 5 dan bintang 4,” kata Heroe dalam konferensi pers, Rabu (2/1/2018), di Yogyakarta.
Tidak efektif
Keputusan tersebut dikritik sejumlah pihak. Salah satu alasannya, dinilai akan mendorong kian maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta sehingga dikhawatirkan bakal berdampak pada kondisi lingkungan.
Apalagi, moratorium pembangunan hotel yang diterapkan Pemkot Yogyakarta selama 5 tahun ini sebenarnya tidak efektif mengendalikan laju pertambahan hotel di Yogyakarta. Moratorium pembangunan hotel baru di Yogyakarta diberlakukan mulai 1 Januari 2014 melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel.
Perwali itu mengatur penghentian sementara penerbitan IMB semua jenis hotel sejak 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2016. Moratorium kemudian diperpanjang sebanyak dua kali hingga 31 Desember 2018.
Masalahnya, setelah Perwali Nomor 77 Tahun 2013 terbit pada 20 November 2013, para investor langsung berbondong-bondong mengajukan permohonan IMB hotel baru ke Pemkot Yogyakarta.
Sejak 20 November-31 Desember 2013, ada 104 permohonan IMB hotel baru yang masuk. Semua permohonan itu tetap diproses karena Perwali Nomor 77 Tahun 2013 menyatakan, permohonan IMB hotel yang masuk sebelum 1 Januari 2014 tetap diproses.
Berdasarkan data Pemkot Yogyakarta pada akhir Desember 2018, dari 104 permohonan IMB itu, sebanyak 61 hotel telah mendapat IMB dan pembangunannya telah selesai.
Selain itu, ada 15 hotel yang sudah memiliki IMB tetapi masih dalam proses pembangunan dan ada 12 hotel lainnya sudah mendapat IMB tetapi kemudian dicabut karena investornya tak sanggup membangun tepat waktu. Di sisi lain, ada 15 permohonan IMB yang belum dikabulkan dan 1 permohonan IMB dicabut.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY juga menunjukkan adanya pertambahan jumlah hotel di Kota Yogyakarta dalam kurun 5 tahun terakhir. Pada tahun 2013 atau sebelum pemberlakuan moratorium, jumlah hotel di Yogyakarta sebanyak 401 unit, terdiri dari 39 hotel berbintang dan 362 hotel nonbintang. Sementara itu, pada tahun 2018, jumlah hotel di Yogyakarta melonjak menjadi 580 unit, terdiri dari 90 hotel berbintang dan 490 hotel nonbintang (lihat tabel).
Melihat data itu, tampak jelas bahwa jumlah hotel di Yogyakarta setelah masa moratorium selama 5 tahun justru jauh lebih banyak dibanding sebelum pemberlakuan moratorium. Secara keseluruhan, jumlah hotel di Yogyakarta mengalami peningkatan sebesar 44 persen dalam kurun waktu 2013-2018. Lonjakan tertinggi terjadi pada hotel berbintang yang jumlahnya meningkat 130 persen atau lebih dari dua kali lipat, sementara jumlah hotel nonbintang meningkat 35 persen.
Selain itu, moratorium tampaknya juga tak berpengaruh banyak pada okupansi atau tingkat keterisian hotel di DIY. Data BPS DIY menunjukkan, tingkat okupansi hotel di DIY pada kurun 2013-2017 tidak mengalami peningkatan signifikan. Untuk hotel berbintang, memang terlihat tren kenaikan selama beberapa tahun, tetapi okupansinya belum pernah mencapai 60 persen. Bahkan, pada tahun 2015 dan 2016, sempat terjadi penurunan okupansi hotel berbintang selama dua tahun berturut-turut.
Sementara itu, untuk hotel nonbintang dan penginapan jenis lainnya, rata-rata okupansinya hanya di angka 30 persen. Bahkan pada tahun 2014, 2015, dan 2016, okupansi hotel nonbintang dan penginapan jenis lain itu kurang dari 30 persen (lihat grafik). Kondisi-kondisi itu menujukkan, ada ironi dalam pemberlakuan moratorium pembangunan hotel di Yogyakarta.
Tinjau ulang
Dengan adanya persoalan dalam pemberlakuan moratorium, keputusan Pemkot Yogyakarta yang mengizinkan pembangunan hotel bintang 4 dan 5 pun menuai kritik. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, mengatakan, maraknya pembangunan hotel dikhawatirkan berdampak pada kondisi lingkungan, terutama ketersediaan air tanah.
Hal ini dipicu kebutuhan hotel akan air dalam volume yang besar sehingga dikhawatirkan bakal mengurangi ketersediaan air tanah di wilayah DIY dan sekitarnya. “Dibolehkannya pembangunan hotel bintang 4 dan 5 itu akan semakin berdampak pada penurunan muka air tanah di Yogyakarta,” ungkap Halik.
Halik menyatakan, walaupun hotel-hotel di Yogyakarta memenuhi kebutuhan airnya dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dampak negatif terhadap ketersediaan air tanah masih mungkin muncul. Sebab, menurut Halik, sebagian sumber air PDAM di Yogyakarta juga masih berasal dari air tanah.
Apalagi, dampak negatif pembangunan hotel terhadap ketersediaan air tanah itu sempat mengemuka pada tahun 2014. Waktu itu, sejumlah warga Kampung Miliran, Kelurahan Mujamuju, mengeluhkan terjadinya kekeringan pada sumur-sumur mereka. Warga menduga kekeringan itu berkait dengan beroperasinya sebuah hotel di dekat pemukiman mereka.
Ketua Komisi B DPRD Kota Yogyakarta Nasrul Khoiri bahkan meminta kebijakan mengizinkan pembangunan hotel bintang 4 dan 5 itu ditinjau ulang. Salah satu alasannya adalah banyaknya keluhan masyarakat mengenai dampak negatif pembangunan hotel atau bangunan komersial lain.
“Masih banyak masyarakat yang mengeluh dan mengadukan dampak pembangunan hotel yang mengabaikan aspek sosial dan lingkungan hidup,” paparnya.
Nasrul menambahkan, sejumlah investor yang membangun hotel di Yogyakarta juga tidak menaati aturan. Beberapa waktu lalu, misalnya, ada investor yang hanya mengantongi izin membangun pondokan atau indekos, tetapi mereka justru membangun hotel.
“Selain itu, belum ada bukti empirik sumbangan hotel kepada peningkatan signifikan PAD (pendapatan asli daerah). Salah satunya penyebabnya, belum ada sistem integral atas potensi PAD dari pajak hotel,” ungkap Nasrul.