PT DKI Jakarta Perberat Hukuman Syafruddin A Temenggung
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung dari 12 tahun menjadi 15 tahun penjara. Ia terbukti melakukan korupsi saat memberikan surat keterangan lunas terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia atau BDNI milik Sjamsul Nursalim.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai oleh Elang Prakoso Wibowo itu menilai tindakan Syafruddin tersebut sangat melukai masyarakat dan bangsa Indonesia secara psikologis yang baru saja menghadapi krisis moneter. Pemberian SKL kepada BDNI juga dinilai telah menimbulkan kerugian yang besar bagi negara di tengah situasi yang sulit, tahun 1998. Tindakan itu membawa dampak yang serius terhadap beban keuangan negara yang sedang mengalami krisis moneter.
“Atas pertimbangan itu, majelis hakim menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selama 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan,” ucap Johanes Suhadi, juru bicara PT DKI Jakarta, Jumat (4/1/2018) di Jakarta.
Majelis hakim menilai tindakan Syafruddin sangat melukai masyarakat dan bangsa Indonesia secara psikologis yang baru saja menghadapi krisis moneter. Pemberian SKL kepada BDNI juga dinilai telah menimbulkan kerugian yang besar bagi negara di tengah situasi yang sulit, tahun 1998. Tindakan itu membawa dampak yang serius terhadap beban keuangan negara yang sedang mengalami krisis moneter.
Putusan pengadilan banding yang dibacakan pada 2 Januari itu lebih tinggi daripada putusan yang diterima oleh Syafruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) Jakarta, 24 September 2018. Mantan Kepala BPPN itu dihukum 13 tahun dan denda Rp 700 juta dalam putusan tingkat pertama. Baik jaksa pada KPK dan terdakwa akhirnya mengajukan banding ke PT DKI Jakarta atas putusan Pengadilan Tipikor Jakarta.
“Yang berubah hanya lamanya pidana serta besaran denda yang dijatuhkan. Adapun untuk substansi perbuatannya, majelis sependapat dengan dakwaan jaksa pada KPK, yakni dakwaan alternatif kesatu,” kata Johanes.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Syafruddin dinilai telah dengan sadar memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang menyebabkan kerugian negara. Ia didakwa melakukan korupsi bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim (istri Sjamsul), dan mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro Jakti.
Sebagai Kepala BPPN ketika itu, Syafruddin dianggap menghilangkan piutang Rp 4,8 triliun yang seharusnya bisa ditagihkan negara kepada Sjamsul atas pembayaran utangnya dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selaku pemilik saham BDNI, Sjamsul pernah memberikan dana untuk petambak udang senilai Rp 4,8 triliun. Utang itu seharusnya dilunasi oleh PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) dan PT Wahyuni Mandira (WM).
Piutang kepada petambak itu kemudian dijadikan Sjamsul sebagai salah satu jaminan yang bisa ditagih negara untuk melunasi kewajiban utang BLBI. Pada kenyataannya, piutang itu tidak bisa ditagih lagi oleh negara karena merupakan kredit macet.
Dihubungi terpisah, salah satu kuasa hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, dirinya belum menerima informasi lengkap mengenai adanya putusan itu. “Saya belum bisa berkomentar mengenai itu, karena saya sedang ada di luar negeri, dan saya belum mengetahui atau mengikuti perkembangan tersebut,” ujarnya.
Sesuai tuntutan
Di sisi lain, KPK menyambut baik putusan itu, karena sesuai dengan tuntutan jaksa pada KPK. Sebelumnya, KPK menuntut Syafruddin dengan 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
“Memang masih ada perbedaan pidana kurungan pengganti yang jadi 3 bulan, tetapi kami menyambut putusan ini. Hal ini menunjukkan tindakan hukum KPK, sejak dari penyidikan, penuntutan, dan persidangan dilakukan dengan hati-hati dan bukti meyakinkan,” katanya.
Terkait dengan salah satu substansi putusan yang menyebutkan perbuatan Syafruddin itu merupakan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan pihak lain sebagaimana dakwaan alternatif kesatu, Febri mengatakan, pihaknya masih mendalami pelaku lainnya. Sekitar 37 orang telah dimintai keterangan, termasuk Sjamsul Nursalim dan istrinya. Namun, sampai saat ini belum ada konfirmasi dari dua orang itu untuk menghadiri pemeriksaan di KPK.
“Kami sudah membuat surat permintaan keterangan dan berkoordinasi dengan otoritas di Singapura untuk penyampaian surat tersebut. Namun, sampai saat ini kami belum mendapatkan konfrimasi adanya itikad baik dari pihak Sjamsul dan istrinya untuk hadir memberikan keterangan di KPK,” kata Febri.
KPK siap menghadapi kemungkinan upaya hukum lanjutan yang akan diambil oleh kuasa hukum Syafruddin.
“Nanti kami lihat apa sikap terdakwa terhadap putusan banding ini. Kalau ternyata mereka mengajukan kasasi, kami siap menghadapinya,” ujarnya.