JAKARTA, KOMPAS — Perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan makin sulit diselesaikan. Dua kubu yang terpecah masing-masing bermanuver menjelang Pemilu 2019. Sementara inisiatif untuk islah atau menyelesaikan pertikaian semakin tidak terdengar.
Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandez, berpendapat, sangat kecil kemungkinan PPP mencapai islah sebelum Pemilu 2019 berlangsung.
”Islah tidak lagi mendesak diupayakan karena kubu Djan Faridz kini sudah lemah. Sudah banyak tokoh sentral yang beralih, contohnya Haji Lulung yang kemudian malah bergabung dengan Partai Amanat Nasional,” kata Arya, Sabtu (5/1/2019).
Perpecahan di tubuh PPP bermula saat terjadi dualisme kepemimpinan antara PPP hasil Muktamar Bandung 2011 dan Muktamar Jakarta 2014. Muktamar Bandung awalnya dipimpin Ketua Umum Suryadharma Ali dan Sekretaris Jenderal M Romahurmuziy dan Muktamar Jakarta diketuai Djan Faridz.
Kini Romahurmuziy duduk sebagai Ketua Umum PPP menggantikan Suryadharma Ali. Adapun Humphrey Djemat ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta setelah Djan Faridz mengundurkan diri.
Manuver politik kubu Djan Faridz menjelang Pemilu 2019 untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dinilai Arya, sekadar pertunjukan tanpa lakon. Menurut dia, hal itu dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan wajah kubu Djan Faridz agar tidak terlihat kalah tanpa perlawanan.
Arya memprediksi islah PPP baru akan terlaksana setelah Pemilu 2019. ”Kubu Djan Faridz saat ini masih akan jual mahal karena mereka telanjur mendukung pasangan nomor urut 02,” ucap Arya.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP Irgan Chairul Mahfiz menyatakan, 90 persen anggota kubu Djan Faridz sudah beralih memihak Romahurmuziy. Ia berharap, hal itu akan berpengaruh positif terhadap perolehan suara PPP.
”Saat ini, fokus pengurus PPP adalah menarik kembali kepercayaan masyarakat yang sempat melemah saat terjadi perpecahan di tubuh kami,” ujar Irgan seusai berziarah ke makam para pendiri PPP di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir.
Berdasarkan survei Kompas tentang elektabilitas partai politik yang dilakukan pada Oktober 2018, PPP belum mampu melampaui syarat ambang batas parlemen untuk masuk ke DPR, yang pada Pemilu 2019 besarnya 4 persen. Data itu menunjukkan, PPP diprediksi hanya meraup 3,2 persen suara pada Pemilu 2019.
Arya mengatakan, saat ini yang perlu dilakukan PPP adalah fokus mengkaji ulang strategi politik. Ia menilai, inovasi politik PPP tidak berkembang mengikuti perkembangan zaman. ”Mereka harus memikirkan cara menarik suara kaum milenial, bukan hanya suara dari lingkungan Nahdlatul Ulama,” kata Arya.