Penataan Mitigasi Bencana Longsor Harus Menyeluruh
Oleh
nikolaus harbowo/kelvin hianusa
·3 menit baca
SUKABUMI, KOMPAS – Penataan mitigasi bencana longsor di Jawa Barat harus dilakukan menyeluruh. Selain pemasangan alat deteksi dini longsor, edukasi bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan harus terus ditingkatkan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar mencatat ada 1.560 kejadian bencana sepanjang tahun 2018. Sebanyak 550 kejadian diantaranya adalah tanah longsor. Di hari terakhir tahun 2018, longsor terjadi di Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Banjarnegara Andri Sulistyo mengatakan, alat pendeteksi gerakan tanah sangat dibutuhkan daerah rawan longsor seperti Jabar. Kondisi geografis yang didominasi perbukitan menjadi alasannya. Dia mengklaim, alat deteksi bencana berpotensi menurunkan risiko jumlah korban saat terjadi longsor.
"Masyarakat bisa segera dievakuasi atau setidaknya melakukan tindakan pencegahan longsor. Ini sangat penting untuk meminimalkan korban," kata Andri di lokasi longsor Garehong, pada Jumat (4/1/2019).
Andri mengatakan, pihaknya belajar dari kasus longsor yang menewaskan ratusan orang di Banjarnegara tahun 2014. Pascabencana, mereka memasang alat deteksi longsor di daerah rawan. Bila sebelumnya alat itu harus diimpor, kini BPBD Banjarnegara bisa membuat alat itu sendiri. Diberi nama Elwasi (eling, waspada, lan siaga), biaya pembuatan untuk setiap unit sekitar Rp 5 juta.
“Dengan dana desa, kami yakin semua desa rawan longsor bisa menerapkannya,” katanya.
Menurut Andri, Elwasi mudah diaplikasikan. Alat berbentuk kotak dengan tiang pancang ini ditancapkan di mahkota kawasan longsor. Alat itu akan mendeteksi pergerakan tanah setiap 5 sentimeter. Ketika pergerakan tanah mencapai 10 cm, alat akan mengeluarkan sinyal peringatan berupa lampu dan bunyi sirene.
“Sirene bisa terdengar sampai 1.000 meter. Kalau pergerakan tanah sudah sampai 20 cm, sirene akan terus berbunyi. Artinya, masyarakat harus segera evakuasi mandiri. Namun, jika pergerakan kurang dari 10 cm, warga diminta memperbaiki mandiri, salah satunya menambal tanah retak,” kata Andri.
Kepala Subbidang Gerakan Tanah Wilayah Barat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sumaryono menuturkan, alat deteksi dini memang penting guna meminimalkan korban. Namun, edukasi masyarakat di daerah rawan tidak boleh dilupakan dan harus terus dibangun.
"Proteksi lereng dan edukasi kepada masyarakat untuk sadar bencana juga harus dilakukan. Kita tidak bisa hanya bergantung pada alat," kata Sumaryono.
Sementara itu, hingga hari kelima evakuasi, korban meninggal dunia tercatat sebanyak 22 orang. Tidak seperti bisanya, pencarian bisa dilakukan hingga pukul 19.00 karena didukung cuaca yang cerah.
"Masih ada 11 korban lain yang belum ditemukan dan akan jadi fokus utama selanjutnya," ujar Komandan Resor Militer 061 Suryakencana Kolonel M Hasan.
Hasan mengatakan, sejumlah kendala masih ada saat pencarian berlangsung. Ada tiga lapisan yang harus dibongkar, yaitu bangunan rumah, bebatuan, dan tanah. Untuk itu, setiap pengangkatan korban, tim SAR membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam.(BOW/KEL)