Perpres Reforma Agraria Prestasi Positif Presiden Jokowi
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dinilai sebagai prestasi positif selama pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemerintah saat ini diharapkan mampu mengoptimalkan aturan yang mencegah konflik agraria. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bakal bertarung pada Pemilu 2019 pun diharapkan menaruh perhatian besar pada agenda reforma agraria.
"Peraturan Presiden (Perpres) 86/2018 Ini pantas diapresiasi sebagai upaya positif pemerintah saat ini dalam mengatasi kebuntuan selama 58 tahun, sejak Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5/1960 dan Undang-Undang Land Reform Nomor 56/Prp/1960 disahkan," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat melaporkan Catatan Akhir Tahun 2018 KPA di Jakarta, Kamis (3/1/2019).
Namun, Dewi menilai, Perpres 86/2018 belum optimal pelaksanannya karena memiliki sejumlah kekurangan. Ini seperti belum adanya implementasi aturan yang menjangkau subyek reforma agraria (RA) yang lebih luas.
Masyarakat di perkotaan, termasuk pegawai negeri sipil hingga pemilik perseroan terbatas yang terancam hak kepemilikan lahannya juga perlu dilihat sebagai subyek agar tidak menjadi korban konflik. Terlebih agenda utama reforma agraria adalah memperbaiki ketimpangan struktur penguasaan aset-aset agraria, utamanya lahan.
Sementara itu, untuk mengejar sisa waktu pemerintahan saat ini, pemerintah diharapkan mampu mengoptimalkan subyek prioritas reforma agraria, seperti rakyat di wilayah adat, daerah pertanian, perkebunan, perhutanan, dan perikanan.
Dari sekitar 800.000 hektar tanah yang mengalami konflik agraria, 591.640 hektar lahan perkebunan, 65.669 lahan kehutanan, disusul kawasan pesisir seluas 54.052 hektar. Berdasarkan Badan Pusat Statistik 2013, sekitar 55 persen lahan pertanian diisi petani kecil, sisanya dikelola petani yang tidak punya tanah. Perpres RA diharapkan bisa merestrukturisasi pemanfaatan lahan untuk rakyat, bukan sekedar lisensi kepemilikan lahan.
"Dengan momentum Perpres RA, pemerintah saat ini harus mengoptimalkan pasal-pasal yang menguntungkan rakyat. Untuk melampaui tahun politik 2019, maka perlu ada aksi cepat di lintas kementerian untuk melakukan koreksi besar agar reforma agraria dijalankan secara sinergis," lanjut Dewi.
Langkah cepat ini penting untuk mengejar target pemerintah saat ini untuk mendistribusikan 9 juta hektar lahan dan 12,7 juta hektar perhutanan sosial sampai 2019.
Adapun untuk kontestan Pilpres 2019, Dewi berharap reforma agraria menjadi salah satu agenda yang diperhitungkan substansinya. Dewi melihat, kedua kubu di Pilpres telah memiliki narasi RA masing-masing. Kubu Jokowi - Ma\'ruf dengan narasi bank tanah untuk infrastruktur, sementara Prabowo - Sandi dengan narasi bank tanah untuk perumahan rakyat.
"Kami berharap, masyarakat jangan terjebak dengan pemenangan praktis, tetapi lebih meneguhkan komitmen mereka untuk memperhatikan konflik struktural. Kami akan mendorong siapa pun pemerintah negara ini untuk melakukan reforma agraria," pungkas Dewi.
Konflik perkebunan
Sepanjang 2018, KPA mencatat telah terjadi 410 konflik agraria. Jumlah tersebut tidak terlalu tinggi dibanding konflik selama 2017 yang mencapai 659 kejadian. Namun, cukup tinggi dibanding 450 konflik selama 2016, 252 kasus pada 2015, dan 472 kasus pada 2014.
Konflik yang terjadi pada tahun lalu mencakup luas wilayah 807.177 hektar dan melibatkan 87.568 kepala keluarga. Konflik agraria terbesar diakibatkan pembangunan di sektor perkebunan dengan jumlah 144 kasus atau 35 persen. Konflik perkebunan tersebut 60 persennya merupakan konflik perkebunan kelapa sawit, yaitu sebanyak 83 kasus.
Satyawan Sunito, akademisi dari Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) yang hadir dalam acara laporan tersebut melihat, konflik di sektor perkebunan yang menguasai ekonomi Indonesia masih berciri kolonial. Ciri tersebut terlihat dari cara penguasaan tanah dan motif untuk mendapatkan tenaga kerja murah, seperti yang banyak dilakukan perusahaan swasta.
"Setelah merdeka hingga sekarang, sistem perkebunan kolonial berjalan terus, bahkan bertambah luas. Dan perkebunan sawit masih menjadi penyokong ekonomi paling besar. Ini akan berbahaya kalau kita hanya bertumpu pada satu komoditi saja," ujarnya.
Ketimpangan penguasaan perkebunan kelapa sawit diharapkan mampu diatasi dengan hadirnya Instruksi Presiden (Inpres) Moratorium Sawit untuk menghentikan sementara perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit. Saat ini, perkebunan sawit tersebar di 14 juta hektar lahan di Indonesia, denga sekitar 7 juta hektar dikuasai swasta.
Ketimpangan penguasaan perkebunan kelapa sawit diharapkan mampu diatasi dengan hadirnya Instruksi Presiden untuk menghentikan sementara perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit
Konflik agraria terbanyak kedua di 2018 berasal dari sektor properti, yaitu sebanyak 137 kasus atau 33 persen dari total konflik agraria dalam setahun. Maraknya pengembangan kawasan industri properti dan real estat.
Konflik ini utamanya dipicu keterlibatan pengembang swasta, namun tidak sedikit terkait pembangunan infrastruktur yang gencar dicanangkan pemerintah empat tahun terakhir. Konflik ini banyak dialami masyarakat di perkotaan yang miskin, tidak memiliki tempat layak huni, atau tunawisma.
Selain konflik di sektor properti, sebanyak 53 konflik (13 persen) dari sektor pertanian, disusul sektor pertambangan yang menyumbang 29 konflik (7 persen), kehutanan 19 konflik (5 persen), pembangunan infrastruktur 16 konflik (4 persen), dan pesisir atau kelautan sebanyak 12 konflik (3 persen). Konflik tersebut tidak hanya konflik laten atau yang belum terselesaikan selama puluhan tahun, tetapi juga konflik-konflik baru. (ERIKA KURNIA)