Peternak Minta Pemerintah Jamin Ketersediaan Jagung
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Kenaikan harga jagung berimbas pada kenaikan telur dan daging ayam di sejumlah pasar di DKI Jakarta. Sebab, jagung adalah bahan baku utama pembuatan pakan ternak. Pemerintah diminta menjamin ketersediaan jagung agar harga telur dan daging ayam tidak terus melambung di triwulan pertama 2019.
Hal tersebut dikatakan oleh Presiden Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi saat dihubungi, Senin (31/12/2018). Musbar khawatir, jika kebutuhan sebanyak 300.000 ton jagung tidak tersedia harga telur dan daging ayam naik. Jagung dengan jumlah tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sampai dengan Maret 2019.
"Ketersediaan jagung sebagai bahan baku utama pakan ternak sangat penting. Jika sampai Januari kebutuhan bahan baku pakan tidak memadai, bagaimana dengan harga telur dan daging ayam di Februari dan Maret nanti," ucap Musbar.
Menurut Musbar, kenaikan harga jagung membuat biaya produksi meningkat. Sebab, komposisi pakan terdiri dari 55 persen jagung dan 45 persen campuran bahan lain seperti sorgum, gandum dan lain-lain.
Saat ini harga jagung di tingkat peternak mencapai Rp 6.000- Rp 6.300 per kilogram. Sehingga, menurut Musbar wajar saja bila hal tersebut membuat harga telur dan daging ayam naik.
Melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 Tahun 2018 pemerintah menetapkan harga acuan telur ayam di tingkat konsumen sebesar Rp 23.000 per kilogram. Sedangkan, untuk daging ayam sebesar Rp 34.000 per kilogram. Harga ini ditetapkan ketika harga jagung sekitar Rp 4.500.
Dalam tiga bulan terakhir harga telur dan daging ayam di sejumlah pasar di Jakarta terus naik. Harga daging ayam bahkan pernah mencapai Rp 45.000 per kilogram di Pasar Pos Pengumben pada Senin (31/12/2018). Begitu pula harga telur yang bisa meroket hingga Rp 28.000 per kilogram pada hari yang sama.
Menurut data Info Pangan Jakarta kenaikan harga pangan pada dua komoditas itu tidak hanya terjadi di Pasar Pos Pengumben, melainkan di seluruh pasar di Inonesia. Jika hal ini dibiarkan, harga telur dan daging ayam di triwulan pertama 2019 yang akan jadi taruhannya.
Satu-satunya cara untuk memperbaiki keadaan ini, menurut Musbar, dapat dilakukan dengan penyediaan jagung dengan harga Rp 4.500 per kilogram. Jika persediaan dalam negeri tidak mencukupi, Musbar menyarankan pemerintah untuk mengimpor jagung.
Direktur Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Sri Widayati, mengatakan pada akhir tahun lalu pemerintah telah mengimpor 100.000 ton jagung dari Brazil untuk memenuhi kebutuhan peternak kecil.
"Kita hanya impor 100.000 ton Karena kebutuhan peternak kecil akan jagung sekitar 210.000 ton jagung per bulan. Sementara sebenatar lagi kita diperkirakan akan panen raya," kata Widayati, saat dihubungi Selasa (1/1/2019).
Widayati mengatakan, pertengahan Januari mendatang, produksi jagung lokal dimulai. Artinya sekita Februari atau Maret 2019, akan terjadi panen raya jagung. Pemerintah tak ingin, jika impor jagung yang terlalu banyak pada akhirnya akan membuat produksi dalam negeri tidak terserap.
"Impor ini hanya menutupi kebutuhan ketika harga jagung mahal. Jika kita turuti semua impor bagaimana kita bisa swasembada. Kita juga ingin tetap menjaga produksi dalam negeri dan memanfaatkan jagung lokal," imbuh Widayati.
Musbar mengungkapkan rasa pesimisnya atas klaim Kementerian Pertanian bahwa Indonesia akan surplus jagung di awal tahun. "Infonya, luas lahan baku pertanian kita berkurang sekitar 46 persen selama 1998 - 2018, sebaiknya dipastikan dulu hasil panennya rayanya cukup atau tidak," tutur Musbar.
Jika ingin swasembada, menurut Musbar pemerintah harus bisa menyalurkan benih-benih unggul dengan rata dan mengirimkan pupuk tepat waktu. "Jangan sampai sudah selesai masa tanam baru datang pupuknya," tambah Musbar. (KRISTI DWI UTAMI)