Mempertahankan Ekonomi, Melestarikan Budaya Betawi
Sejak Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, dijadikan cagar budaya dan kampung Betawi pada 2015, warga di Setu Babakan merasakan dampak ekonomi. Mereka memanfaatkan pekarangan rumah mereka sebagai tempat usaha dan pelestarian budaya Betawi.
Kepala Subbagian Tata Usaha Unit Pengelolaan Kawasan (UPK) PBB Setu Babakan Syaiful Amri, Selasa (1/1/2019), mengatakan, sejak tahun 1970, Ali Sadikin sudah mewacanakan PBB di Condet. Namun, daerah itu terlalu padat (urban), lalu dipindahkan ke Marunda.
Ternyata kawasan pantai itu memiliki cuaca yang panas dan kontur tanah yang tidak stabil. Akhirnya, dipilih Setu Babakan yang dekat dengan kota dan wilayah hijau. Selain itu, kampung Setu Babakan masih banyak orang Betawi.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 2000, embrio cagar budaya sudah ada di Setu Babakan. Embrio tersebut untuk menetapkan Setu Babakan sebagai kampung Betawi secara administratif.
Sebagai kampung Betawi, Setu Babakan diharapkan menjadi pusat budaya Betawi dan menjadi ruang edukasi serta rekreasi dari berbagai produk budaya, seperti kuliner, pakaian, kerajinan, dan kesenian.
Sejalan dengan itu, masyarakat yang tinggal di Setu Babakan diajak mengembangkan daerahnya. Salah satunya dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk dijadikan tempat usaha sekaligus mampu meningkatkan perekonomian rakyat.
M Ardiansyah (27), warga Setu Babakan, menyulap rumah kecilnya menjadi tempat usaha suvenir, seperti, topeng, boneka ondel-ondel, dan pakaian adat Betawi. Teras rumah yang lebarnya tidak sampai 1 meter pun ia manfaatkan untuk memajang berbagai produknya.
”Jelas keberadaan Setu Babakan sebagai pusat budaya Betawi memberikan efek besar buat kami karena banyak pengunjung yang datang dan berbelanja,” kata Ardi.
Menjual secara daring
Ardi mengatakan, dalam sebulan ia bisa meraup untung sekitar Rp 20 juta, terutama saat libur tiba. Tidak hanya menjual secara konvensional, Ardi pun menjual produknya secara daring.
Tujuannya adalah membuka pasar yang lebih luas dan harus mengikuti perkembangan teknologi zaman. Jika hanya mengandalkan penjualan di tempat, ia khawatir usahanya tidak berkembang.
”Keuntungan dari penjualan daring adalah produk budaya Betawi bisa dikenal luas masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Saat Asian Games dan Asian Para Games 2018, Ardi dan sejumlah warga kebanjiran pesanan suvenir tidak hanya dari Jakarta. Daerah-daerah lain, seperti Palembang dan Lampung, juga meminati produknya.
”Tahun 2018 menjadi berkah untuk pelaku usaha suvenir karena banyak acara internasional. Tahun ini tidak ada acara internasional yang besar. Meski Setu Babakan setiap hari dikunjungi wisatawan, daya beli masyarakat untuk membeli suvenir tidak akan tinggi,” katanya.
Hal senada disampaikan Iwan Setiawan (44) yang menjual kelengkapan pakaian Betawi, seperti baju pantai, jas koko, peci, golok, dan pakaian Abang None. Ia berharap di Setu Babakan sering diadakan acara kebudayaan untuk menarik pengunjung datang.
Iwan mengaku tidak tergantung dari pengunjung yang datang ke Setu Babakan semata untuk mempertahankan usaha. Sanggar-sanggar juga menjadi pasarnya.
”Daya beli masyarakat untuk produk seperti ini tidak banyak. Oleh karena itu, sanggar juga pasar potensial. Namun, pasar itu harus ditunjang dengan kegiatan-kegiatan budaya,” kata Iwan yang sehari bisa meraup untung Rp 600.000 pada hari-hari biasa dan sekitar Rp 1,5 per hari ketika hari libur besar.
Iwan berkomitmen menjalankan usaha suvenir meski daya beli masyarakat rendah. Tujuannya tidak sekadar ekonomi, tetapi juga pelestarian budaya.
Kuliner khas
Pelibatan warga sekitar Setu Babakan dalam mengembangkan usaha juga dirasakan Sarinah (40), pedagang selendang mayang yang sudah 13 tahun berjualan dari warisan orangtuanya.
Ia mengatakan, usaha kuliner tidak akan pernah mati jika terus diwariskan kepada generasi muda. Selain itu, menjaga kualitas makan juga perlu dipertahankan agar pelanggan tidak lari.
Ia mengatakan, selama ini kuliner khas Betawi, seperti selendang mayang, masih dicari di Setu Babakan. Namun, kuliner lokal belum banyak yang diangkat dan diperkenalkan secara luas kepada masyarakat.
”Kuliner lokal Betawi itu sangat banyak, tetapi banyak yang mulai susah dicari. Melestarikan kuliner Betawi menjadi tantangan besar untuk masyarakat di Jakarta. Ini potensi besar yang harus dikembangkan,” kata Sarinah, yang dalam seminggu ia bisa mendapat keuntungan Rp 500.000-Rp 700.000.
Pada tahun 2019, Sarinah memiliki keinginan untuk lebih banyak lagi memperkenalkan kuliner Betawi kepada masyarakat, khusus yang datang ke Setu Babakan. Tidak hanya selendang mayang, Sarinah juga ingin memperkenalkan kuliner, seperti, gabus puncung dan kue sengkulun.
Uman Efendi (54) mewarisi kuliner kerak telur dari kakek dan bapaknya. Keluarga Efendi adalah warga asli Setu Babakan. Tidak hanya berbisnis, kerak telur adalah identitas dan budaya (kuliner) yang harus terus dijaga oleh keluarga Efendi.
"Kakek saya keras ngajarin saya masak, porsinya harus pas dan teknik memasak harus benar,” tutut Umam.
Kerak telur berbahan dasar telur dan beras ketan yang direndam 10-12 jam. Beras tersebut harus direndam agar ketika memasak ketan tidak keras (ketak) sehingga ketika dimasak bersama telur (ayam atau bebek), ketan matang sempurna.
Umam berharap budaya Betawi terus tumbuh meski kampung Betawi banyak digusur dan orang-orangnya berpencar. ”Budaya Betawi tidak hanya terlihat saat pesta Jakarta saja. Di kampung ini, kami melestarikan aneka budaya Betawi lintas generasi,” katanya. (AGUIDO ADRI)