Biar Bumi Tak Cepat Mati
Isu lingkungan menggerakkan banyak orang untuk mengambil tindakan nyata demi perbaikan bumi. Tatkala orang asyik berlibur dengan berjemur di pantai atau tidur di atas kasur empuk hotel, orang-orang ini memunguti sampah di sungai atau di tepi pantai. Mereka tak ingin bumi cepat mati.
Adalah Alex Reid, turis asal Wellington, Selandia Baru. Perempuan itu memungut sampah lalu memasukkannya ke kantong plastik bekas yang juga ditemukannya di Pantai Berawa, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (1/1/2019). Kurang dari 20 menit mengorek pasir, Alex mampu memenuhi dua kantong plastik berukuran sedang dengan bermacam-macam sampah plastik.
”Saya sedih melihat banyak sampah plastik di pantai yang indah ini,” kata Alex, yang baru pertama kali ke Bali ini.
Ia berlibur ke Bali bersama pacarnya, Aaron, dan menginap di dekat Pantai Berawa, Kuta Utara, Badung, agar mereka dapat sesering mungkin berenang ataupun berselancar.
Ketika melihat Pantai Berawa dikotori sampah, Alex tergerak. ”Awalnya saya dikatakan sedikit gila oleh pacar saya karena saya sendirian mengumpulkan sampah plastik dari pantai ini. Namun, setelah melihat banyak sampah mengotori pantai, dia juga kadang ikut memungut sampah di pantai ini,” ujar Alex.
Selama 10 hari dari dua minggu rencana liburannya di Bali, Alex sering menghabiskan hari di Pantai Berawa dan sekitarnya. Hampir setiap kali ke Pantai Berawa, atau Pantai Batubolong yang berdekatan dengan Pantai Berawa, Alex meluangkan waktu 10 menit sampai 15 menit untuk mengumpulkan sampah plastik.
”Seandainya banyak orang yang ikut memungut sampah dari pantai, saya kira dalam waktu lima sampai 10 menit sampah plastik akan terkumpul semuanya,” kata Alex yang menghabiskan sekitar Rp 19,4 juta untuk beli tiket pergi-pulang bersama pacarnya.
Persoalan global
Menurut Alex, persoalan sampah plastik menjadi masalah global. Pemerintah dan masyarakat di Bali perlu bertindak agar sampah plastik tidak mengancam keindahan dan daya tarik Bali, terutama pantainya.
Di Jakarta, banyak warga yang selama liburan Natal dan Tahun Baru menyisihkan beberapa hari khusus untuk memungut sampah. Mereka antara lain komunitas Jakarta Osoji Club (JOC) yang beranggotakan warga Indonesia dan ekspatriat asal Jepang, serta komunitas Trash Hero Jakarta.
Minggu (30/12/2018) pagi, sekumpulan orang mengitari kawasan hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) di Senayan, Jakarta Pusat, dengan atribut rompi berwarna hijau. Mereka membawa sepit dan karung, mengambil sampah yang tampak di jalan.
Sesekali, ada warga yang menghampiri mereka dan menyodorkan sampah sisa makanan. ”Maaf, kami hanya mengumpulkan sampah yang tak bertuan di jalan,” ujar Arif (45), anggota JOC.
Sebelumnya, Sabtu (29/12) sekitar pukul 08.00, sepuluh orang terlihat di bantaran Ciliwung di Kelurahan Sempur, Bogor. Mereka tidak mencuci dan tidak mandi. Satu hal yang pasti, mereka tidak mencemari sungai dengan membuang sampah.
Malah sebaliknya, mereka memunguti sampah-sampah warga yang berserakan, baik di bantaran maupun aliran sungai. Mereka, yang tergabung dalam Komunitas Peduli Ciliwung (KPC), sudah sejak 2009 menjadi ”pemulung” sampah.
Sungai Ciliwung yang terbentang sepanjang 15 kilometer di Kota Bogor masih menyuguhi pemandangan yang asri. Namun, ketika melihat ke bawah, sampah plastik dan stirofoam menjadi bagian yang tak terpisahkan, bagian yang merusak keindahan.
Kegelisahan yang sama
Een Irawan Putra, Koordinator KPC, menyampaikan, komunitasnya terbentuk berangkat dari kegelisahan tentang sungai yang masih bersampah. ”Waktu mancing di Ciliwung, Mas Oi (Hapsoro) heran, kok, bukannya ikan yang didapat, malah sampah,” kata Een menceritakan kegelisahan pendiri KPC, almarhum Hapsoro.
Kegelisahan itu dirasakan juga oleh anggota JOC dan Trash Hero Jakarta. Mereka menilai warga cenderung lebih impulsif saat membuang sampah. ”Ada saja warga yang bersikap acuh tak acuh saat diberi saran,” kata Ketua JOC Faiz Muttaqin Amrulloh.
Sementara itu, Ketua Komunitas Trash Hero Jakarta Priadi Wibisono mengatakan, inisiatif komunitasnya bergabung hari itu didasari kegelisahan sesama pegiat komunitas terhadap persoalan sampah. Baginya, permasalahan sampah saat ini tidak cukup ditangani oleh lingkup per komunitas. ”Hubungan antarkomunitas semestinya terjalin agar bisa saling bantu dalam setiap kegiatan,” ujarnya.
Berangkat dari keresahan terhadap lingkungan yang semakin dipenuhi sampah, Hafrian Fajar (23) atau akrab dipanggil Jarwok bersama tiga temannya yang peduli terhadap lingkungan membentuk komunitas Trashbag Belitung. Komunitas yang dibentuk pada Juni 2018 tersebut digagas oleh sejumlah pemuda Belitung seusai menimba ilmu sebagai mahasiswa.
Berkembangnya wisata di Belitung tidak diimbangi dengan pengolahan sampah yang baik. Itu diperparah dengan sikap masyarakat yang menurut Jarwok seakan acuh tak acuh terhadap kebersihan lingkungan. Hal tersebut kemudian menjadi isu serius yang mendorong Fajar dan teman-temannya melakukan aksi peduli.
”Orang-orang tua yang malah tidak peduli dengan lingkungan dengan buang sampah sembarangan. Makanya, terjadi pencemaran dari sampah yang menumpuk,” kata Ketua Komunitas Trashbag Belitung Jarwok yang merupakan alumnus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Senin (31/12).
Meski terbuka untuk semua kalangan, komunitas Trashbag lebih menyasar anak muda dengan edukasi dan aksi peduli sampah. Edukasi dilakukan dalam forum yang membahas pengetahuan tentang sampah, mulai dari efek, jenis, penanganan jenis-jenis sampah, hingga nilai ekonomis.
Belitung bukan hanya semakin ramai dikunjungi wisatawan, melainkan juga pendatang yang menetap menjadi warga Belitung. Kepadatan tersebut berdampak terhadap membeludaknya sampah di berbagai tempat. Hal itu sudah ia rasakan antara tahun 2014 dan 2015.
Walaupun baru terbentuk, komunitas tersebut mendapat penghargaan dari Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) pada karnaval 17 Agustus 2018. Penghargaan tersebut didapatkan dari mengajak siswa SMP, SMA, bahkan yang putus sekolah, untuk membersihkan sampah di sepanjang jalan karnaval. Kemudian dari sampah itu dibuat sebuah karya.
Dalam satu bulan bisa dua hingga tiga kali komunitas ini mengunjungi tempat wisata dan membersihkan sampah yang ada. Rata-rata sampah yang dibersihkan sekali aksi bisa sebanyak 30-40 kantong sampah (trash bag) ukuran besar yang akan diangkut menggunakan mobil pikap.
Kegelisahan mereka sangat beralasan. Dalam sebuah kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti merilis bahwa Indonesia adalah penyumbang terbesar kedua sampah plastik di dunia. Berdasarkan rilis World in Data, jumlah sampah plastik di seluruh dunia mencapai 350 juta ton. Sebangun dengan itu, plasticoceans.org menyebut bahwa produksi sampah plastik dunia mencapai hampir 300 ton per tahun.
Sampah plastik sangat berbahaya karena tak dapat terurai dalam jangka pendek. Lebih berbahaya karena dia dapat dianggap sebagai makanan dan akhirnya disantap binatang laut. November tahun lalu, seekor paus sperma atau paus kepala kotak (Physeter macrocephalus) mati terdampar di Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tragisnya, sampah plastik memenuhi perutnya.
Kejadian seperti itu yang menggerakkan para pencinta lingkungan. Mereka meluangkan waktu untuk memperbaiki bumi. Mereka tidak memiliki tendensi ekonomi ataupun politik. Tujuannya murni untuk menyelamatkan bumi sembari memberi pengaruh positif kepada warga. ”Rasa bangga muncul saat saya bisa mengingatkan warga membuang sampah di tempat yang semestinya,” ucap Arif yang aktif di JOC sejak 2013.
Perilaku pegiat lingkungan ini sebangun dengan hasil survei Booking.com, sebuah situs web pemesanan akomodasi. Survei itu mengatakan, dari 21.500 responden di 29 negara, sebanyak 87 persen ingin berlibur sambil berbuat sesuatu yang berdampak nyata bagi perbaikan lingkungan.
Sebagian dari mereka memungut sampah dari pantai atau sungai. Alex, Arif, Jarwok termasuk di dalamnya. Mereka tak ingin bumi cepat mati. (COK/E05/E19/E16/MHF)