JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN merampungkan akuisisi terhadap PT Pertamina Gas atau Pertagas senilai Rp 20,1 triliun untuk 51 persen saham. Akuisisi ini diharapkan dapat mewujudkan efisiensi mata rantai hilir gas di Indonesia. Tingginya nilai akuisisi diharapkan tidak dikompensasikan terhadap harga gas bagi konsumen.
Akuisi terhadap Pertagas, pada Jumat (28/12/2018) pekan lalu, menyertakan empat anak usaha perusahaan tersebut, yaitu PT Perta Arun Gas, PT Perta Daya Gas, PT Perta-Samtan Gas, dan PT Perta Kalimantan Gas. Awalnya, akuisisi hanya menyertakan satu anak usaha Pertagas, yaitu PT Pertagas Niaga, dengan nilai akuisis mencapai Rp 16,6 triliun. Penambahan anak usaha Pertagas yang turut diakuisisi menyebabkan angka akuisis naik menjadi Rp 20,1 triliun.
Integrasi PGN dan Pertagas merupakan bagian dari pembentukan perusahaan induk minyak dan gas bumi (holding BUMN migas). PGN dan Pertagas adalah anak usaha Pertamina. Kedua perusahaan itu berbisnis di bagian tengah atau distribusi dan bagian hilir gas bumi. Pertagas dominan dalam penguasaan pipa transmisi gas, sedangkan PGN dominan dalam hal pipa distribusi gas.
"Penggabungan itu akan meningkatkan kinerja Pertamina sebagai perusahaan induk BUMN migas. Terkait mata rantai gas di dalam negeri, akan ada kepastian dalam hal pasokan dari hulu. Sinergi ini diharapkan menciptakan efisiensi bisnis gas dari hulu ke hilir," ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat dihubungi, Minggu (30/12/2018), di Jakarta.
Komaidi memberikan catatan terhadap akuisisi tersebut, yaitu besarnya nilai akuisisi diharapkan tidak dikompensasikan terhadap harga jual gas ke konsumen. Apabila itu terjadi, akusisi tidak banyak membawa manfaat dan justru merugikan konsumen. Selain itu, persoalan harga gas dan ketersediaan infrastruktur seharusnya lebih mudah teratasi di kemudian hari.
"Manfaat lainnya, persoalan dan arah kebijakan sektor energi, khususnya gas, akan lebih mudah diidentifikasi. Begitu pula dalam hal pengambilan keputusan," kata Komaidi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja, mengatakan, dengan akuisisi itu, PGN sebaiknya fokus pada penggunaan pipa gas bersama (open acces). Sementara Pertagas dan sejumlah anak usahanya fokus ke pelayanan konsumen gas dalam skala lebih kecil. Selain itu, integrasi pelanggan Pertagas dan PGN juga perlu dilakukan.
"Integrasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan perhatian terhadap pemanfaatan gas alam terkompresi (CNG) untuk menggantikan solar pada usaha berskala kecil dan menengah (UKM). Itu bisa dilakukan lewat pengoptimalan FSRU (unit penyimpanan dan regasifikasi terapung) Lampung milik PGN," ucap Achmad.
Direktur Utama Pertamina Gas, Wiko Migantoro mengatakan, integrasi PGN dan Pertagas diharapkan dapat mewujudkan cita-cita memperkuat ketahanan energi. Ia juga berharap timbul efisiensi dalam mata rantai bisnis gas di dalam negeri yang berujung pada harga gas yang kian menarik bagi konsumen. Dengan demikian, gas sebagai penggerak perkeonomian nasional dapat terwujud.
"Tantangannnya adalah bagaimana integrasi ini membawa manfaat bagi masyarakat dan negara. Termasuk memperkuat kinerja keuangan perusahaan induk BUMN migas," kata Wiko dalam keterangan resmi.
Indonesia menghadapi tantangan defisit gas lantaran tidak seimbangnya permintaan dan pasokan. Dalam buku neraca gas bumi 2018-2027 yang diluncurkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Oktober lalu, potensi defisit terjadi di wilayah Jawa. Realisasi sejumlah proyek lapangan gas akan menentukan kondisi defisit gas bumi di Indonesia.
Salah satu kunci penting mengatasi defisit gas di dalam negeri adalah tersedianya infrastruktur gas, seperti FSRU dan jaringan pipa gas. Apalagi, saat ini baru ada dua FSRU yang aktif beroperasi kendati belum optimal, yaitu FSRU Lampung dan FSRU Jawa Barat. Selain itu, salah satu opsi untuk menutup defisit gas adalah lewat impor.
Cadangan gas bumi Indonesia per 1 Januari 2017 adalah 142,72 triliun kaki kubik. Jika tidak ada temuan cadangan baru dan konsumsi gas 2,9 triliun kaki kubik per hari, cadangan itu akan habis dalam kurun 49 tahun mendatang.