JAKARTA, KOMPAS — Peran agama perlu diperkuat sebagai panduan spiritualitas dan moral, bukan sekadar pada aspek ritual dan formal. Hal ini penting untuk memastikan suasana damai dan rukun dalam kehidupan masyarakat yang multi agama. Pemerintah pun harus mengambil langkah konkret agar gerakan penguatan keberagamaan yang moderat menjadi arus utama.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD mengatakan, kehidupan beragama saat ini menghadapi tantangan serius berupa eksklusivisme dan ekstremisme beragama. Bahkan, agama menjadi alat bagi kepentingan politik.
“Situasi ini menjauhkan peran utama agama sebagai panduan moral spiritual serta sumber kreasi dan inspirasi kebudayaan masyarakat,” ujarnya saat membacakan Risalah Jakarta tentang Kehidupan Beragama di Indonesia, Sabtu (29/12/2018) di Jakarta.
Risalah Jakarta dirumuskan oleh lebih dari 40 orang yang terdiri dari tokoh agama, budaya, dan akademisi. Tokoh tersebut antara lain Mahfud MD, Asep Zamzam Noor, Fatin Hamama, Garin Nugroho, Haidar Bagir, Hartati Murdaya, Benny Susetyo, Henriette G Lebang, Frans Magnis Suseno, Komaruddin Hidayat, Sujiwo Tedjo, Yudi Latif, Bhikku Jayamedo, Alisa Wahid, dan D Zawawi Imron. Rumusan ini akan menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk memperkuat moderasi beragama sebagai upaya memelihara kerukunan masyarakat Indonesia.
Mahfud menyampaikan, ekslusivisme dan ekstremisme beragama menjadi alasan beberapa kelompok untuk menjadikan ideologi agama sebagai ideologi negara. Formalisasi agama dalam kebijakan negara juga menguat di daerah. Paradigma mayoritas dan minoritas pun menjadi alasan untuk memengaruhi kebijakan negara.
Kementerian Agama mencatat indeks kerukunan umat beragama di Indonesia (2017) berada pada angka 72,27. Angka ini masuk ke dalam kategori baik. Namun, kenyataanya sebagian perilaku kehidupan beragama justru mereduksi nilai-nilai luhur agama dan cenderung bersifat intoleransi.
“Agama perlu dikembalikan kepada perannya sebagai panduan spiritualitas dan moral, bukan hanya pada aspek ritual dan formal. Apalagi yang bersifat eksklusif baik pada ranah masyarakat maupun negara,” katanya.
Dalam risalah tersebut juga mendorong pemerintah untuk menghapus regulasi dan kebijakan yang dinilai melanggengkan eksklusivisme dan ekstremisme beragama, serta perilaku diskriminatif dalam kehidupan beragama. Secara konkret, pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah diminta merevisi UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pemberlakuan PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Literasi beragama
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat berpendapat, nilai keberagamaan perlu ditanamkan sejak dini. Nilai ini tidak cukup diajarkan secara verbal tetapi perlu diterapkan sehingga menjadi suatu budaya dan moral.
“Pendidikan itu perlu proses panjang. Literasi terkait agama ini perlu dididik sejak kecil dalam bentuk karakter. Semua aspek perlu lebih berperan, terutama dari keluarga dan sekolah,” ucapnya.
Benny Susetyo, anggota Satuan Tugas Khusus BPIP menambahkan, lemahnya literasi dan tidak adanya pendidikan kritis menambah persoalan intoleransi beragama di masyarakat. Pendidikan Pancasila perlu diterapkan ke dalam pola pendidikan dasar sejak usia dini. Misalnya, rasa hormat terhadap negara serta menghargai keberagaman.
Masyarakat jadi lebih mengedepankan emosi ketimbang rasa
Era disrubsi teknologi, tambahnya, juga menyebabkan pendangkalan pengetahuan akibat indoktrinasi serta ketersediaan bacaan yang serba instan dan serba cepat di media sosial. “Masyarakat jadi lebih mengedepankan emosi ketimbang rasa,” katanya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama M Nur Kholis Setiawan menyampaikan, pemerintah akan secara serius menata kehidupan dan kerukunan umat beragama di masa mendatang. Fasilitas juga disediakan bagi otoritas keagamaan untuk menanamkan nilai moral dan spiritual agama melalui jalur kebudayaan di berbagai media, terutama media digital.
“Perilaku ekstrem dan eksklusif dalam beragama perlu dihindari. Caranya dengan memperkuat keteladanan moderasi beragama yang mengayomi, santun, adil, berimbang, serta saling menghargai satu pandangan dengan pandangan lain,” ujarnya.