JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu mengkaji ulang rencana pembersihan keramba jaring apung di Danau Toba, Sumatera Utara, dan wilayah perairan umum lain, seperti beberapa waduk di Jawa Barat. Pembersihan atau penguraran keramba secara drastis untuk kepentingan mengendalikan pencemaran dinilai bakal mematikan sumber penghidupan warga, potensi devisa, serta sektor yang menggerakkan perekonomian wilayah.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia Rokhmin Dahuri, saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Kamis (27/12/2018), menyatakan, keputusan untuk meniadakan budidaya keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba perlu ditinjau kembali. ”Seharusnya ditata dengan baik, bukan di-zero-kan. Sebab, jika benar-benar ditiadakan, perekonomian di daerah sekitar berpotensi mati,” ujarnya.
Keberadaan KJA di Danau Toba selama ini dianggap mencemari danau. Pakan ikan yang mengendap dan menjadi sedimen di dasar danau dan dinilai menurunkan kualitas air.
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/232/KPTS/2018 tentang Tim Koordinasi Daya Dukung Beban Pencemaran dan Daya Dukung Danau Toba untuk Budidaya Perikanan menyebutkan, produksi ikan budidaya di Danau Toba harus dikurangi menjadi 30.000 ton per tahun pada 2019 dan 10.000 ton pada 2023. (Kompas, 29 Agustus 2018)
”Daya dukung perairan Danau Toba untuk usaha budidaya ikan sebesar 10.000 ton per tahun itu sangat rendah. Berdasarkan perhitungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), daya dukung Danau Toba mampu mencapai angka 35.000 ton per tahun. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa mencapai 55.000 ton per tahun,” ujar Rokhmin.
Anggota Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Endi Setiadi Kartamihardja, mengatakan, beban masukan total fosfor dari budidaya ikan KJA sangat kecil jika dibandingkan dengan sumber cemaran di luar perikanan. ”Sumber cemaran di luar perikanan berasal dari permukiman, peternakan, industri, dan lainnya,” kata Endi.
Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, beban masukan total fosfor yang berasal dari budidaya ikan KJA menurun dari 1.836 ton pada Agustus 2017 menjadi 941 ton pada Maret 2018. Sementara beban masukan total fosfor dari sumber lain di luar perikanan pada kurun yang sama meningkat dari 9.667 ton menjadi 25.334 ton.
Endi mengatakan, ketimbang membersihan perairan dari aktivitas budidaya KJA, pemerintah lebih baik mengatasi beban cemar dari luar sektor perikanan.
Kehilangan pekerjaan
Rokhmin menambahkan, program Zero-KJA atau pembatasan total produksi secara drastis berpotensi mengakibatkan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan. Selain itu, iklim investasi diyakini terganggu, sementara negara kehilangan devisa dan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kecil. Dari Danau Toba saja, potensi devisa dari ekspor ikan nila lebih dari Rp 86 miliar per tahun, sementara nilai ekonomi total lebih dari Rp 2 triliun per tahun.
Menurut data Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan, sekitar 44-69 persen total produksi ikan nila Indonesia berasal dari usaha budidaya ikan nila KJA di Danau Toba. Tak hanya itu, sekitar Rp 133,3 triliun atau 37-65 persen total nilai ekspor ikan nila Indonesia berasal dari KJA di Danau Toba.
Data Sebaran Produksi Perikanan Budidaya Jaring Apung dari Badan Pusat Statistik 2018 menyebutkan, Sumatera Utara dengan total produksi 72,195 ton per tahun menempati peringkat ketiga terbesar di Indonesia. Adapun peringkat kedua adalah Sumatera Barat sebesar 73,526 ton per tahun dan peringkat pertama adalah Jawa Barat dengan total produksi 198,984 ton per tahun.
Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Lukman, mengatakan ada dua solusi yang tidak merugikan perekonomian di sekitar danau sekaligus tidak merusak lingkungan. ”Harus ada kajian terkait daya dukung danau. Kalau menurut skenario oligotrofik, tanpa memperhatikan beban masukan fosfor dari darat, daya dukung Danau Toba adalah 35.000 ton per tahun,” ujar Lukman.
Menurut Lukman, kondisi perairan Danau Toba saat ini tergolong meso-eurotrofik. Kondisi tersebut masih memungkinkan Danau Toba dijadikan tempat budidaya ikan KJA. Terkait peruntukan pariwisata, tidak ada patokan baku soal mutu air. Idealnya oligotrofik yang antara lain ditandai dengan ketercerahan yang lebih baik serta cemaran yang lebih sedikit.
Selain mengkaji daya dukung untuk KJA, pemerintah juga harus mengkaji zonasinya. Zonasi harus mempertimbangkan karakteristik ekologis dan pemanfaatan ruang danau, baik yang telah ada maupun potensi yang dapat dikembangkan. Tindak lanjut penetapan ketentuan pengembangan KJA perlu didampingi dengan pemantauan kualitas aor secara rutin dengan parameter baku mutu air.
Endi menambahkan, untuk meminimalkan pencemaran akibat
pengendapan pakan ikan, bibit ikan pemakan sisa pakan perlu
ditebar di wilayah perairan. Pengelola KJA juga bisa memakai
pompa penyedot sisa pakan untuk membersihkan sisa pakan.
Menurut Rokhmin, semua aktivitas budidaya KJA harus ramah
lingkungan. Pembudidaya idealnya mengantongi sertifikat cara
budidaya ikan yang baik (CBIB) dari Kementerian Kelautan