JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan bagi orangtua dan anak merupakan kunci pencegahan pernikahan anak. Pemenuhan hak anak mendapat pendidikan yang layak dan tuntas tidak dapat ditawar demi memastikan terwujudnya generasi emas.
"Ada beberapa penyebab pernikahan anak, yang paling banyak ditemui adalah karena kemiskinan. Orangtua ingin mengurangi beban keluarga dengan cara menyuruh anak perempuan menikah sehingga tidak perlu lagi tinggal dengan ayah dan ibu," kata Direktur Pembinaan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sukiman di Jakarta, Selasa (25/12/2018).
Faktor kedua adalah adat istiadat yang menganggap anak perempuan pantang menolak lamaran. Ada pula adat yang memberi mas kawin sangat tinggi kepada anak perempuan sehingga orangtua menikahkan anak demi menambah aset kekayaan. Selain itu, juga ada ketakutan mengenai anak akan berhubungan seksual di usia remaja.
Survey Sosial-Ekonomi Nasional 2013 menyebutkan, 23 persen dari perempuan berusia 20-24 tahun yang berstatus menikah atau pernah menikah ternyata melakukan perkawinan di usia kurang dari 18 tahun. Prevalensi ini turun pada tahun 2015 menjadi 22 persen yang bisa diartikan bahwa satu dari empat anak perempuan mengalami perkawinan dini.
"Intervensi harus dilakukan di orangtua dan juga anak karena jika salah satu pihak tidak memandang penting hak pendidikan dan kesehatan reproduksi anak, perkawinan di usia dini akan terus terjadi," tutur Sukiman.
Ia menjelaskan, untuk perihal adat istiadat, secara umum sudah banyak perubahan karena meskipun perlahan, orangtua mulai mengedepankan pendidikan. Akan tetapi, yang menjadi masalah utama ialah ketakutan orangtua anaknya terjerumus perilaku seksual di usia remaja, apalagi hingga mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Ketakutan tersebut memiliki alasan kuat. Survey Kesehatan Berbasis Sekolah pada SMP dan SMA yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2015 mengungkapkan, sebanyak 5,9 persen dari 11.110 siswa yang disurvey mengaku sudah pernah berhubungan seksual. Dari jumlah itu, sebanyak 4,3 persen mengaku berhubungan seksual karena dipaksa.
Sukiman menerangkan, fakta ini menunjukkan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak serta pengawasan kegiatan anak yang menyeluruh. Keterbukaan komunikasi orangtua terhadap anak mengenai cara menghadapi pubertas serta perkembangan hormon yang mengakibatkan rasa tertarik kepada orang lain menjadi penting dipraktikkan setiap hari. Pendidikan kesehatan reproduksi mengajar tentang cara menghormati tubuh sendiri dan tubuh orang lain, cara mengalihkan hasrat di masa puber menjadi kegiatan positif, serta risiko hubungan seks di usia remaja yang bisa meningkatkan risiko penularan penyakit serta kanker leher rahim.
"Direktorat Pembinaan Keluarga masuk melalui paguyuban orangtua di sekolah-sekolah. Pendidikan kesehatan reproduksi yang selama ini banyak ditakuti orangtua karena dikira vulgar disampaikan melalui berbagai cara seperti disesuaikan dengan budaya setempat. Hal terpenting adalah orangtua tidak bisa lagi tidak membekali anak tentang perkembangan fisik dan psikis serta relasi sosial di dalam pertemanan," kata Sukiman.
Pengawasan
Sukiman memaparkan, pengawasan kegiatan sosial dan relasi pertemanan anak juga harus dipantau. Anak-anak yang terjerumus perilaku berisiko umumnya melakukan hubungan seksual di rumah. "Artinya, anak mengetahui jadwal ketika orangtua tidak di rumah dan menggunakannya untuk hal-hal negatif seperti merokok, menonton pornografi, bahkan berhubungan seks. Selain pendidikan kesehatan reproduksi, pengawasan yang berkesinambungan juga harus dilakukan," ucapnya.
Waktu rentan bagi anak ialah seusai sekolah hingga ia sampai ke rumah karena dalam periode itu anak bisa mampir di berbagai tempat. Komunikasi antara orangtua, guru, dan anak yang baik menjadi metode pengawasan.
"Guru mengabari orangtua melalui grup di media sosial bahwa waktu sekolah telah usai. Orangtua biasakan menanyakan anak tentang rencana kegiatan mereka sebelum pulang dan meminta nama-nama teman serta lokasi kegiatan tersebut," jelas Sukiman. Hal yang terdengar sederhana ini ternyata belum semua orangtua yang mempraktikkan.
Dialog
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Khariroh Ali menuturkan, anak perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan sebaiknya jangan segera dikawinkan. Orangtua bersama-sama dengan anak memutuskan tindakan yang harus diambil. Setelah melahirkan, pastikan anak tersebut tetap melanjutkan pendidikan.
"Ini tantangan terberat karena budaya Indonesia belum bisa menerima anak yang lahir di luar pernikahan. Segenap anggota masyarakat benar-benar harus mengadvokasi pengasuhan dan tumbuh kembang anak yang sehat dengan pengajaran cara menavigasikan relasi sosial yang benar," katanya.
Peraturan daerah
Amrullah Sofyan, pakar program pencegahan perkawinan anak dari organisasi Plan International menjabarkan, aturan pemerintah daerah mengenai pencegahan pernikahan anak berperan sangat penting sebagai landasan program pendidikan masyarakat. Ia menjelaskan, di Rembang, Jawa Tengah, pengadilan agama sudah menolak memberi dispensasi nikah bagi calon pengantin yang salah satunya berumur kurang dari 18 tahun.
"Masalahnya, ada perkawinan anak yang berupa siri ataupun secara adat sehingga tidak terdaftar di catatan sipil maupun lembaga keagamaan. Jika ada perda pencegahan dan pelarangan perkawinan anak, hal ini bisa dihindari," ujarnya.