Yohana Yembise: Perkawinan Anak Masih Jadi Tantangan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember, lahir dari pergerakan bangsa Indonesia. Peran perempuan Indonesia, tidak dapat dipisahkan dalam perjuangan panjang Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Sebab, 90 tahun lalu melalui Kongres Perempuan pertama 22 Desember 1928, perempuan-perempuan Indonesia mengukuhkan semangat dan tekad bersama untuk mendorong kemerdekaan Indonesia.
Namun, setelah 90 tahun Kongres Perempuan pertama digelar, hingga kini perempuan Indonesia masih berada dalam pusaran berbagai persoalan. Rekomendasi-rekomendasi dari Kongres Perempuan I hingga kini masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai, dan terus mendera perempuan Indonesia, seperti diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan fisik/seksual/ekonomi, perdagangan orang, hingga perkawinan anak. “Diperlukan keseriusan melalui berbagai cara untuk mencegahnya,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Susana Yembise, yang akrab disapa Mama Yoh.
Tepat di Hari Ibu 2018 Yohana berharap semua pemangku kepentingan memberikan pengakuan akan pentingnya eksistensi perempuan dalam berbagai sektor pembangunan, serta terlibat dalam gerakan pencegahan kekerasan dan pencapain kesetaraan jender. Seperti apa pandangan Yohana terkait tentang perkawinan anak dan Hari Ibu, berikut petikan wawancara Kompas dengan Yohana, Sabtu (22/12/2018).
Sampai saat ini masih banyak isu dalam Kongres Perempuan pertama seperti perkawinan anak masih jadi perjuangan perempuan. Mengapa demikian ?
Karena persoalan budaya patriarki yang begitu kuat dan mempengaruhi pola pikir dalam penafsiran ajaran agama. Tantangan terbesar adalah masih banyak anggapan masyarakat bahwa perkawinan anak adalah menghindari zinah, akhirnya dikawinkan dan keluarga melepaskan tanggung jawab, tapi tidak perkuat ketahanan keluarga.
Bagaimana menghentikan perkawinanan anak?
Tantangan kita memang salah satunya masih ada aturan dispensasi perkawinan anak dimana usia 16 tahun diijinkan menikah, padahal masih usia anak yang berdasarkan UUD 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak dijamin haknya sampai usia anak 18 tahun untuk tidak dikawinkan.
Sebenarnya kondisi dan situasi perkawinan anak di Indonesia saat ini seperti apa ?
Kondisi riil, anak sekarang sangat dipengaruhi dengan nilai pola pikir yang tidak kondusif, karena pengaruh teknologi informasi yang tidak dikawal dengan baik di keluarga. Masyarakat bahkan negara, juga orangtua banyak yang tidak paham dampak perkawinan anak yang sangat merugikan anak itu sendiri, keluarga, dan negara.
Berbagai kampanye dan sosialisasi gencar dilakukan, apakah sudah ada perubahan ?
Perubahan ada, namun belum signifikan di semua daerah. Bahkan angka perkawinan anak secara data juga mengalami peningkatan.
Pasca putusan MK soal Pasal 7 ayat 1 UU No.1/1974 tentang Perkawinan, apa langkah-langkah yang akan dilakukan Kementerian PPPA?
Mendorong DPR merevisi Undang-Undang Perkawinan dan menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pencegahan Perkawinan Anak. Jadi Kementerian PPPA tetap mendorong revisi UU Perkawinan dalam Prolegnas 2019-2024, dan advokasi pada anggota DPR yang baru. Untuk Perppu bisa diprakarsai oleh Kementerian PPPA yang punya mandat perlindungan anak dan disinergikan dengan langkah politik yang ada. Selain itu, gerakan bersama secara masif, melibatkan tokoh adat/agama/masyarakat.
Apa harapan pada Hari Ibu 2018 ini ?
Saya berharap Hari Ibu sebagai pintu meningkatkan kualitas manusia Indonesia dengan membangun nilai-nilai kesetaraan yang dimulai dalam keluarga, masyarakat, dan ke depan mampu mencapai sumber data manusia yang tangguh berdaya saing, mewujudkan Indonesia Layak Anak tahun 2030 dan Generasi Emas tahun 2045.