ACEH TIMUR, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Idi, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, memvonis penjara 4 tahun dan denda Rp 100 juta terhadap dua pembunuh gajah jinak Bunta. Putusan itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan penjara.
Putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Idi Irwandi, Kamis (20/12/2018). Terdakwa adalah Amiruddin dan Alidin. Majelis hakim menyatakan keduanya terbukti melanggar hukum, yakni membunuh satwa lindung.
Gajah jinak jantan bernama Bunta ditemukan mati pada awal Juni 2018. Bangkai Bunta ditemukan dengan kaki masih dirantai, tak jauh dari Conservation Response Unit (CRU) pusat mitigasi konflik satwa di Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur. Gadingnya hilang.
Kematian Bunta memantik reaksi publik. Publik prihatin, selain karena mati dengan kondisi memprihatinkan, Bunta gajah jinak yang digunakan mencegah konflik satwa. Melalui petisi daring, publik mendesak penangkapan pembunuhnya. Bahkan, beberapa pihak menyediakan hadiah bagi penangkap pelaku.
Jumlah populasi gajah di Aceh ada 593 ekor, yang terbagi 35 kelompok di 15 kabupaten/kota. Lebih kurang 447 betina dan 92 jantan.
Akhirnya, polisi menangkap dua tersangka, Amiruddin dan Alidin, di Aceh Timur, Senin, 2 Juli. Amiruddin pernah bekerja di CRU sebagai juru masak dan disebut yang memberikan makanan mengandung racun. Alidin disebut-sebut terlibat mengambil gadingnya.
Kepala Balai Konservasi Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo mengatakan, vonis 4 tahun penjara itu merupakan hukuman tertinggi dalam kasus kejahatan lingkungan. Ia memberikan apresiasi kepada pengadilan. Ia juga berharap vonis itu memberikan efek jera.
”Beberapa vonis kasus tindak pidana satwa lindung di Aceh belakangan ini cukup memberikan angin segar bagi dunia konservasi. Aparat hukum, mulai dari penyidik negeri sipil, polisi, hingga jaksa dan hakim, mau menjatuhkan sanksi berat kepada pelaku,” ucap Sapto.
Apresiasi
Koordinator pemantauan lapangan Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Fahlevi, mengatakan, keberanian hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara patut diapresiasi.
”Ini langkah besar dalam hal penegakan hukum kejahatan satwa liar yang dilindungi. Semoga ini jadi acuan polisi, jaksa, dan hakim dalam menangani perkara kejahatan satwa liar lainnya,” ujar Tezar.
Sapto menambahkan, penegakan hukum yang baik akan jadi peringatan bagi pemburu satwa. Hingga kini, perburuan gajah masih menjadi ancaman terbesar. Pada 2015-2018, sebanyak 38 gajah mati di Aceh karena diburu, diracun, disetrum, dan dijerat.
Berdasarkan data BKSDA Aceh, jumlah populasi gajah di Aceh ada 593 ekor, yang terbagi 35 kelompok di 15 kabupaten/kota. Lebih kurang 447 betina dan 92 jantan. Persoalannya, kata Sapto, tidak semua pemerintah kabupaten mau terlibat penuh untuk melindungi gajah.
Aktivis WWF Provinsi Aceh, Azhar, menyebutkan, pembukaan perkebunan sawit besar-besaran turut merusak habitat gajah. Kawasan Daerah Aliran Sungai Peusangan, misalnya, telah berubah menjadi kebun sawit yang mendesak populasi gajah.
Menurut Azhar, di kawasan DAS Peusangan terdapat sekitar 50 gajah. Kondisi satwa tersebut kian terdesak akibat pembukaan perkebunan. ”Perusahaan merusak jalur gajah dan kemudian gajah disebut biang perusak saat masuk ke kebun, padahal itu merupakan jalur jelajahnya,” ujarnya.