Asmat, Venesia dari Papua
Pesawat Pilatus Porter mendarat di Bandara Timika, Papua, Jumat (7/12/2018) pagi. Enam penumpang turun. Sejumlah karung diturunkan dari pesawat. Setelah penumpang turun dan barang bawaan diturunkan, kami pun diminta naik ke pesawat kecil itu. ”Silakan naik. Gunakan sabuk pengaman. Penerbangan ke Ewer akan ditempuh dalam 50 menit,” kata pilot.
Pesawat pun lepas landas menuju Ewer. Ewer adalah bandara perintis yang dibangun misionaris Katolik pada tahun 1960-an. Pesawat terbang rendah. Dari pesawat, tampak keindahan bumi Papua. Sungai berwarna coklat berkelok-kelok di hamparan hijau. Sebuah pemandangan yang indah.
Setelah terbang sekitar 50 menit, kami pun mendarat di Bandara Ewer. ”Ini bandara yang dibangun misi, tetapi kini sudah dikelola pemda,” kata Romo Henricus yang menyambut kami.
Bandara Ewer masih sederhana jika dibandingkan dengan bandara lain. Fasilitasnya pun masih minim. Padahal, Bandara Ewer strategis karena merupakan pintu masuk menuju Asmat.
Untuk menuju Agats, ibu kota Asmat, perjalanan dilanjutkan dengan perahu cepat (speedboat). Waktu tempuhnya sekitar 20 menit melalui jalur sungai. Di pelabuhan misi, kami berlabuh. Tampak anak-anak Agats bermain di pelabuhan. Dermaga padat oleh perahu lain yang parkir di sana.
Agats adalah kota di atas air. Bangunannya juga dibangun di atas air. Jalan-jalannya pun di atas air. Jalanan ditopang tonggak beton atau tonggak kayu. Tidak ada mobil di Agats. Hanya ada motor berenergi listrik di sana. Transportasi ke luar Agats menggunakan perahu cepat.
Tiba di Agats, imajinasi melayang ke Venesia, sebuah kota indah di Italia, di tepi Laut Adriatik. Inilah Venesia dari Papua. Imajinasi itu boleh jadi terlalu liar atau malah tidak masuk akal. Rentang jarak antara Asmat dan Venesia amat jauh. Venesia sudah terbangun ribuan tahun lalu, sementara Asmat adalah wilayah yang baru terbuka sekitar 50 tahun lalu. Rentang peradaban Venesia dan Asmat terpaut ribuan tahun.
Kota indah Venesia bisa dicapai dengan kereta api, pesawat terbang, ataupun bus dari sejumlah kota lain di Italia. Venesia adalah kota di atas air. Setiap wisatawan yang melancong ke Venesia bisa berjalan kaki, menelusuri keindahan bangunan tua di Venesia, dan menikmati kehidupan malam di Venesia atau menggunakan vaporetto (bus air).
Piazza San Marco merupakan salah satu tempat yang paling ramai dikunjungi pelancong. Basilika San Marco dibangun tahun 832. Puluhan burung merpati terbang dan hinggap di penjuru Piazza.
Dari Venesia bisa juga menuju Pulau Morano. Waktu tempuhnya 30 menit dari Venesia. Morano dikenal sebagai ”Kota Kaca”. Di tempat itulah, karya seni yang terbuat dari gelas dan kaca indah menyebar ke seluruh dunia. Dari rumah-rumah itulah, para seniman kaca itu memproduksi kristal-kristal kaca indah.
Imajinasi dari Venesia dan Morano itulah yang muncul ketika mengunjungi Asmat. Agats, ibu kota Asmat, adalah kota di atas air. Bangunannya ditopang tonggak kayu ataupun beton. Begitu juga jalan-jalannya. Pada saat air pasang, bangunan dan jalan di Agats berada di atas air. Tidak ada mobil di Agats.
Katedral Agats terbuat dari kayu dan dibangun di atas rawa-rawa. Bentuknya pun sederhana, amat jauh dari Basilika San Marco di Venesia. Katedral Agats tidak jauh dari kompleks Keuskupan Agats. Di lingkungan Agats itu kantor-kantor para misionaris berkarya. Keuskupan Agats dipimpin Uskup Aloysius Murwito OFM. Uskup asal Sleman, Yogyakarta, ini sudah 16 tahun berkarya di Asmat. Di Agats juga ada Museum Asmat yang menyimpan koleksi ukiran kayu Asmat yang mendunia.
Hubungan satu distrik dengan distrik di Asmat hanya melalui jalur sungai. Mirip dengan Venesia yang menggunakan bus air. Sungai di Asmat amat lebar, tapi ada juga yang namanya kali potong atau jalan pintas sungai yang lebih sempit. Kali potong menghubungkan sungai lebar dengan sungai lebar lain.
Berlayar dengan speedboat di sungai di Asmat menawarkan keindahan, menawarkan eksotisme. Menyusuri belantara hutan bakau dan semak-semak yang tumbuh di bumi Papua, khususnya Kabupaten Asmat, menawarkan eksotisme tersendiri. Sungai-sungai di Papua menawarkan udang, kepiting, dan ikan-ikan yang masih segar.
Berlayar menyusuri sungai di Asmat, singgah di sebuah distrik sambil menyaksikan penduduk Asmat membuat patung Asmat, tentunya menjadi imajinasi bagaimana Asmat akan dikembangkan. Mirip dengan Morano yang menghadirkan seni kristal. Seni ukir Asmat adalah seni dengan cita rasa tinggi. Tiap tahun ada pekan budaya Asmat. Tahun 2019, pesta budaya Asmat akan dibarengkan dengan peringatan 50 tahun masuknya misionaris di Asmat.
Menyusuri Agats dan sejumlah distrik di Asmat, menemukan pusat kebudayaan jew (rumah bujang), serta bangunan gereja, termasuk Katedral Agats yang sepenuhnya terbuat dari kayu, dengan ornamen yang sangat khas Asmat serta ukiran kayu Asmat yang mendunia, Gereja Sarwa Erma yang indah. Seni ukir Asmat, seni perahu Asmat adalah kekayaan luar biasa.
Kabupaten Asmat yang berpenduduk 100.000-an jiwa masih jauh dari bayangan itu. Indeks pembangunan manusia (IPM) Asmat jauh tertinggal. Pendapatan per kapitanya juga masih rendah. Luas wilayah Asmat sekitar 37.000 kilometer persegi yang terdiri dari air dan semak-semak.
Januari 2018, Asmat mendunia karena harian ini melaporkan soal gizi buruk. Sejumlah anak-anak meninggal di sejumlah distrik yang tersebar di Asmat. Jarak tempuh dari satu distrik ke Agats memang jauh. Telekomunikasi tidak ada. Tak ada juga hiburan. Agats terisolasi. Hanya orang-orang yang punya semangat mengabdi tinggi yang akan bertahan di Agats dan sejumlah distrik lainnya.
Saat berita gizi buruk lepas ke ruang publik, Presiden Joko Widodo datang ke sana. Jokowi adalah presiden pertama Indonesia yang pernah berkunjung ke Asmat. ”Pak Jokowi adalah presiden pertama yang datang ke Agats,” kata Uskup Murwito.
Presiden Jokowi berkeliling menggunakan sepeda motor. Sepeda motor itu kini disimpan di Museum Asmat dengan pelat nomor RI 1.
Berimajinasi soal Asmat adalah berimajinasi soal masa depan. Mau ke mana Asmat dibawa? Di situlah peran pemimpin menjadi penting. Pemimpin yang visioner, yang bisa mentransformasikan Asmat menjadi Venesia di Papua. Pemimpin yang mencintai wilayahnya dan punya imajinasi bagaimana membangun wilayahnya. Elias Kambu dan Thomas E Safanpo, Bupati dan Wakil Bupati Asmat, adalah duet yang harus diberi kesempatan berimajinasi untuk mewujudkan mimpi membangun Asmat.
Masalahnya ada pada warga Asmat. Warga Asmat masih dalam taraf budaya meramu. IPM tergolong rendah. Kisah dari Asmat dari litani derita. Busung lapar. Campak. Gizi buruk. HIV/AIDS. Malaria. Dan sejumlah frase negatif yang diproduksi dari Asmat.
Padahal, Asmat punya kekuatan cerita luar biasa. Ukiran kayu Asmat telah lama mendunia. Kelokan sungai di Asmat tak kalah dengan Sungai Chao Phraya di Bangkok. Namun, bagaimana mewujudkannya, itu kesulitan tersendiri.
Pikiran liar melayang, bagaimana seandainya Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, misalnya, dikontrak untuk mengembangkan Asmat, mendampingi Elias Kambu dan Thomas Safanpo. Azwar tergolong sukses membangun Banyuwangi, atau pemimpin daerah lainnya. Secara politik tentunya memang tidak mungkin. Namun, pikiran-pikiran menerobos perlu dicari.
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Airin Rahmi Diany punya gagasan menarik. Saat memberikan sambutan pada acara ”Gerakan Menuju 100 Smart City 2018” di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Airin yang juga Wali Kota Tangerang Selatan mengatakan, ”Anggota Apeksi tidak lagi mau berkompetisi, tetapi ingin berkolaborasi. Kita juga tak mau hanya studi banding, tetapi studi tiru.”
”Kalau studi banding, ya studi, kemudian membandingkan dan tidak berbuat apa-apa. Kita mau belajar dari keberhasilan sebuah kota dan kemudian menirunya untuk kota kita,” kata Airin.
Benar kata Airin, perlu kolaborasi antar-pemimpin daerah dan saling belajar membangun wilayah. Bukan hanya studi banding, tapi studi tiru. Elias Kambu dan Thomas Safanpo mungkin bisa belajar dari daerah lain, Banyuwangi, atau termasuk ke Venesia.
Perlu kolaborasi antar-pemimpin daerah dan saling belajar membangun wilayah. Bukan hanya studi banding, tapi studi tiru.
Era sekarang adalah era kolaborasi. Kolaborasi untuk menyejahterakan warga bangsa. Pimpinan daerah bisa belajar dari keberhasilan pimpinan daerah lain. Keberhasilan Abdullah Azwar Anas mengembangkan Banyuwangi melalui kegiatan dengan kalender kegiatan yang terjaga bisa saja ditiru pemimpin lain.
Kesuksesan transformasi kereta api pada masa Ignasius Jonan layak ditiru bagaimana resepnya. Jika kepentingan politik dipinggirkan dan kekuasaan dihayati untuk rakyat, tidak perlu ada gengsi untuk meniru.
Pertemuan pimpinan daerah untuk berbagai pengalaman menjadi penting. Misalnya, bagaimana mengembangkan Kabupaten Asmat di Papua selatan. Sebuah contoh yang mungkin ekstrem. Asmat dan bumi Papua menyimpan potensi alam yang luar biasa. Alamnya sangat kaya. Pemandangannya eksotik. Ukiran kayunya mendunia. Agats, ibu kota Asmat, adalah kota di atas air.
Akankah Agats akan menjadi Venesia dari Papua, tergantung dari imajinasi pemimpinnya.