JAKARTA, KOMPAS — PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum memastikan bahwa seluruh rangkaian proses divestasi PT Freeport Indonesia tuntas pada pekan ini. Setelah pembayaran biaya divestasi sebesar 3,85 miliar dollar AS, status operasi Freeport secara otomatis berubah dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus. Selain itu, perpanjangan operasi juga diperoleh sampai 2041.
Saat ini, kepemilikan saham pemerintah Indonesia yang direpresentasikan Inalum pada Freeport Indonesia adalah 9,36 persen. Melalui proses panjang dan berbelit, divestasi saham Freeport hingga mencapai 51 persen milik Inalum harus ditebus dengan harga 3,85 miliar dollar AS atau hampir Rp 60 triliun dengan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Rp 14.538 per dollar AS.
Head of Corporate Communications & Government Relations Inalum Rendi A Witular mengatakan, proses divestasi saham Freeport berjalan sesuai rencana. Penuntasan divestasi akan dilakukan pada pekan ini. Sejumlah lembaga terkait sedang terlibat menuntaskan berbagai dokumen terkait administrasi dan legalitas sebelum pembayaran untuk divestasi dilakukan.
"Intinya, tidak ada lagi kendala. Minggu depan kami akan tuntaskan prosesnya," ujar Rendi saat dihubungi, Minggu (16/12/2018), di Jakarta.
Rendi menambahkan, selesainya rangkaian divestasi sekaligus menjawab empat isu utama yang selama ini dirundingkan dengan pihak Freeport McMoran Inc selaku induk usaha PT Freeport Indonesia. Keempat isu tersebut adalah perubahan status operasi dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), komitmen pembangunan smelter dalam kurun lima tahun ke depan, jaminan fiskal dan regulasi terhadap operasi Freeport, serta perpanjangan operasi dua kali masing-masing 10 tahun atau sampai 2041.
"Berikutnya adalah memastikan bahwa peralihan operasi dari penambangan terbuka (open pit) ke penambahan bawah tanah (underground mining) secara penuh dapat berjalan lancar tanpa gangguan," ucap Rendi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menginstruksikan jajarannya untuk mempercepat proses divestasi Freeport. Presiden mengharapkan semua proses divestasi bisa tuntas selambatnya akhir tahun ini. Instruksi itu disampaikan saat ia memimpin rapat terbatas membahas percepatan divestasi di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, di Jakarta, Kamis (29/11).
"Percepatan penyelesaian divestasi perlu dilakukan karena divestasi ini merupakan sebuah langkah besar untuk mengembalikan mayoritas kepemilikan sumber daya alam strategis kepada bangsa Indonesia," kata Presiden.
Operasi dijaga
Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif mengatakan, transisi kepemilikan saham Freeport Indonesia sebaiknya tidak mengganggu jalannya kegiatan penambangan bawah tanah yang sedang berjalan di Timika, Kabupaten Mimika. Penambangan bawah tanah memerlukan kontrol ketat yang berlangsung 24 jam tanpa henti. Kontrol itu, antara lain, berupa pengawasan, pemeriksaan, dan perawatan terowongan bawah tanah untuk menggali dan mengangkut bijih mineral tembaga, emas, dan perak.
"Apabila diabaikan, ada potensi terowongan akan runtuh. Ongkos untuk memulainya kembali akan menjadi lebih besar ketimbang ongkos yang dikeluarkan untuk memelihara terowongan tersebut," ucap Irwandy.
Freeport yang menambang di pegunungan di Timika, Papua, setiap harinya memproduksi bijih (mineral mentah) rata-rata sebanyak 140.000 ton per hari. Pada 2008, produksi bijih mereka bisa mencapai 238.000 ton per hari. Setiap ton bijih rata-rata mengandung tembaga 1,01 persen, 1,15 gram emas, dan 4,32 gram perak.
Divestasi saham pemegang IUPK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam regulasi itu, perusahaan tambang asing harus melepaskan sahamnya sedikitnya 51 persen kepada peserta Indonesia sejak berproduksi di tahun ke-10. Operasi Freeport di Papua sesuai kontrak karya akan berakhir pada 2021.