Berlari dalam Eksotisme Jantung Pantura Jawa
Lomba lari Semarang 10K usai sudah. Ribuan peserta membawa pulang aura eksotis, sinergi modernitas dan masa lalu Kota Lama bernilai sejarah tinggi, tepat dari jantung pantai utara Jawa.
Mimik wajah Tamrin (32) sumringah setiap melewati titik sorak atau cheering Semarang 10K yang menampilkan berbagai kesenian. Juga ketika melewati Jalan Ronggowarsito di dekat Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah. Ia terkesima dengan alunan musik etnik kesenian thek-thek, yang dimainkan sembilan pria berpakaian adat Jawa.
Beberapa kali, antusiasme itu diekspresikan di depan sorotan kamera, sambil membuka kedua tangan lebar-lebar. "Saya sangat menikmati Semarang 10K. Race-nya bagus, cheering, dan keseniannya pun bagus. Ini harus menjadi agenda tahunan," kata dia, Minggu (16/12/2018).
Tamrin, yang sejak 2005 tinggal di Semarang, menorehkan waktu 1 jam 5 menit. "Memang tidak kejar target, lebih ingin menikmati suasana. Apalagi, banyak warga, bahkan anak-anak SD memompa semangat," ujarnya.
Masyarakat mau berbagi, mengerti, dan memberi kenikmatan bagi pelari, sekaligus meningkatkan ekonomi lokal bagi warga Semarang.
Di Semarang 10K, gelaran kerja sama Pemerintah Kota Semarang, Harian Kompas, dan Gets Hotel tersaji sejumlah atraksi seni. Selain thek-thek, ada turonggo seno dari Rembang, angklung funk dari Eling Deling, dan barongsai yang merepresentasikan akulturasi budaya di sana.
Total, ada 11 titik sorak yang berhasil memberi sensasi bagi sekitar 2.000 pelari. Bahkan, banyak di antaranya berhenti untuk foto. Keceriaan pagi itu kian lengkap dengan sorakan warga di sepanjang Jalan MT Haryono, serta ajakan tos dari puluhan siswa SD di sejumlah titik.
Bukan hanya keramahan warga dan kekayaan budaya, para pelari yang mayoritas dari luar Semarang juga terbuai keindahan arsitektur bangunan tua. Bahkan, bangunan itu sudah terlihat sejak awal start di depan balai kota.
Beberapa ratus meter dari balai kota, pelari melintasi Lawang Sewu, ikon Kota Semarang bersama Tugu Muda yang dibangun mengingat pertempuran lima hari pejuang kemerdekaan melawan Jepang, 15-19 Oktober 1945.
Mia Heranty (40), asal Surabaya menuturkan, Semarang punya kekayaan bangunan bersejarah. Selain Lawang Sewu, banyak bangunan bersejarah dilintasi, termasuk deretan bangunan di Kota Lama, Kantor Pos Lama, dan Gedung Papak.
Bahkan, saking tertariknya menikmati segala keindahan lanskap di Semarang itu pula, ia tak menetapkan target catatan waktu. "Ingin have fun aja. Lari santai dan tetap menyehatkan. Yang penting tidak terkena COT (cut off time)," kata Mia.
Apresiasi juga datang dari Maria Kristiyanti (64) dari Salatiga, pemenang kelima kategori master putri. Semarang 10K jadi lomba lari seru dan tertata apik.
Salah satu momen berkesan Maria adalah saat sejumlah orang mengajak foto bersama. Rutin lari di usia tak muda lagi, ia dianggap menginspirasi. "Ada peserta lain, bapak-bapak minta foto untuk diperlihatkan ke istri dan anak-anaknya agar mau olahraga," ucapnya.
Ajang ini juga dimanfaatkan menggelorakan gerakan sosial. Salah satunya Komunitas Lari untuk Sejuta Kacamata. Sebanyak 30 orang yang tergabung dalam komunitas tersebut berlari bersama tiga orang, di antaranya dengan mata tertutup. Ketiganya adalah Yohanes Ferry, Boni, dan Abe.
"Ini sebagai wujud dukungan Gerakan Sejuta Kacamata Indonesia bagi masyarakat kurang mampu," ujar Ferry, asal Purbalingga.
Mereka bertiga berlari digandeng rekannya. Menurut Ferry, jalur yang rata sangat membantunya. Namun, seperti slogan mereka “Run With Faith”, mereka mesti berlari dengan mempercayai rekan yang menggandeng.
Semangat saling percaya dan saling membantu itu pula yang ingin digalang dalam gerakan sosial tersebut. Saat ini, komunitas tersebut telah membagikan sekitar 25.000 kacamata di seluruh Indonesia.
Jalur steril
Pada Semarang 10K kemarin, petugas, baik marshal, polisi dari Polrestabes Semarang, Dinas Perhubungan, dan Satpol PP Kota Semarang benar-benar mengamankan jalur. Di beberapa titik, lalu lintas diberlakukan buka tutup. Warga rela berbagi jalan.
Wiwit Subekti (28), peserta asal Jepara senang. "Lomba sangat bagus, karena jalurnya steril. Ini baik untuk kenyamanan pelari. Kami tambah semangat, karena cheering juga banyak. Saya amat menikmati," katanya.
Pelari juga sangat mengapresiasi warga. Hari Kurniawan (39), pelari asal Bogor menuturkan, pada ajang serupa di jalan protokol di Tangerang dan Bogor, warga kurang ramah pada pelari. “Mobil-mobil membunyikan klakson keras. Bahkan, tak sedikit yang meneriaki pelari karena merasa jalannya terganggu. Di Semarang, warganya memahami, bahkan beri semangat,” ujar dia.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengapresiasi warga yang menyambut pelari sebagai tamu, layaknya raja. Menurut Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, antusiasme warga Semarang adalah modal sosial besar untuk menggelar ajang-ajang internasional.
"Masyarakat mau berbagi, mengerti, dan memberi kenikmatan bagi pelari, sekaligus meningkatkan ekonomi lokal bagi warga Semarang," ujar Budiman.
Pada akhirnya, berbagai pengalaman selama berlari 10,3 km, para peserta finis dalam kondisi baik. Tidak ada peserta yang dievakuasi karena melebihi batas waktu atau cut off time (COT). Mereka berlari dalam keselarasan, menikmati lanskap berbagai warisan sejarah kota dagang itu.
Tahun ini, dua lomba lari mengangkat nama Jawa Tengah: Borobudur Marathon 2018 dan Semarang 10K. Keduanya memberi kenangan manis yang berkesan. Sampai bertemu tahun depan.