Jakarta, Kompas - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu bertemu untuk mengevaluasi Program Legislasi Nasional 2019 dan membahas banyaknya rancangan undang-undang yang tak dapat dituntaskan pada 2018. Penyelesaian produk legislasi itu berpotensi menghadapi kendala karena mayoritas anggota DPR akan fokus mengikuti pemilu, tahun depan. Apalagi, mengingat waktu kerja efektif juga semakin pendek karena masa kerja DPR periode 2014-2019 hanya sampai September 2019.
Sepanjang 2018, DPR bersama pemerintah hanya mampu mengesahkan 5 dari 50 rancangan undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2018. Puluhan RUU yang tidak tuntas itu kemudian dimasukkan dalam Prolegnas Tahun 2019. Selain itu, ada tambahan RUU baru dari pemerintah, DPR, dan DPD sehingga jumlah total RUU dalam Prolegnas 2019 sebanyak 55 RUU.
”Dengan kendala-kendala di 2019, pemerintah dan DPR perlu bertemu untuk meninjau kembali semua RUU yang ada di Prolegnas 2019,” ujar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo saat dihubungi, Jumat (14/12/2018).
Ia mengatakan, pemerintah bersama DPR perlu memetakan RUU yang harus segera disahkan. Kedua belah pihak perlu berkomitmen memanfaatkan waktu tersisa pada 2019 untuk fokus menyelesaikan RUU penting itu.
”Dari pemetaan tersebut, nanti bisa dilihat apakah RUU tertentu perlu dilanjutkan atau tidak. Kalau dilanjutkan, seperti apa solusinya untuk mengatasi persoalan yang membuat pembahasan RUU berlarut-larut,” tambah Arif.
Solusi itu dinilainya lebih tepat daripada usulan yang muncul di Badan Legislasi DPR sebelumnya, yaitu merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Revisi UU tersebut antara lain untuk memperbolehkan pembahasan RUU yang tidak tuntas pada periode sekarang dapat dilanjutkan di periode pemerintahan berikutnya. Sistem ini biasa dikenal dengan istilah carry over (Kompas, 30/10/2018).
Menurut Arif, sistem carry over tidak tepat karena bisa menyandera pemerintahan di periode berikutnya. Sebab, bisa jadi, pemerintahan berikutnya tidak melihat RUU yang belum tuntas di periode sebelumnya sebagai hal penting. ”Dalam sistem presidensial, daftar inventaris RUU itu mengikuti perencanaan pembangunan nasional yang merupakan derivasi dari visi-misi presiden,” katanya.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, berpandangan sama. ”Kalau RUU yang tidak selesai bisa dibahas di periode pemerintahan berikutnya bisa menjadi beban pemerintahan terpilih. Yang terpenting sekarang, pilih RUU yang sangat penting, lalu prioritaskan untuk diselesaikan. Jadi, RUU yang dihasilkan bisa berkualitas, tidak perlu mengejar target yang ada dalam Prolegnas,” ujarnya.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Miko Ginting, menilai sistem carry over tidak bisa dijadikan solusi tunggal. Sebab, buruknya performa legislasi disebabkan oleh banyak faktor, antara lain materi yang rumit, kompleksitas peraturan, momentum penyusunan Prolegnas yang lambat serta waktu pembahasan RUU yang tidak tepat, dan kurangnya konsistensi dari kedua pihak.
Jika sistem carry over mau diterapkan, pengaturannya harus dibuat tegas agar tidak berujung kontraproduktif. Artinya, hanya RUU yang sudah dibahas hingga di atas 70 persen yang bisa dilanjutkan pembahasannya pada periode berikutnya.