DENPASAR, KOMPAS — Pelestarian cagar budaya dinilai mulai luntur oleh arus pembangunan. Regulasi juga belum maksimal berpihak pada upaya mempertahankan cagar budaya, terutama yang berbentuk bangunan. Padahal, bangunan cagar budaya rentan dengan risiko ketika terjadi bencana, seperti gempa. Strategi mitigasi bencana pun diperlukan.
Saat gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, Juli-Agustus lalu, cagar budaya Taman Ujung di Kabupaten Karangasem, Bali, terdampak. Beberapa bagian bangunan rusak dan perlu perbaikan. Karena itu, pemahaman mitigasi bencana perlu disebarluaskan guna menjaga kelestarian peninggalan sejarah itu.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali I Wayan Muliarsa mengatakan, peristiwa gempa Lombok sudah semestinya menjadi pelajaran berharga demi keberlangsungan cagar budaya, terutama yang berwujud bangunan. Hal itu disampaikan Muliarsa dalam diskusi ilmiah arkeologi bertajuk ”Mitigasi Bencana dalam Pelestarian Cagar Budaya di Bali” yang digelar di Hotel Inna Bali Denpasar, Sabtu (15/12/2018).
”Bagaimanapun cagar budaya adalah aset warisan leluhur dan saksi sejarah. Maka, perlu adanya mitigasi bencana untuk melindungi cagar budaya yang ada di Bali,” kata Muliarsa.
Ia menjelaskan, upaya pelestarian ini perlu didukung regulasi pemerintah. Terkadang, mitigasi bencana masih belum menjadi perhatian untuk keberlangsungan terkait bangunan bersejarah.
Pada diskusi tersebut, bangunan cagar budaya masih dianggap kuno dan tidak menarik. Bahkan, bangunan cagar budaya dianggap mengganggu keberlangsungan pembangunan.
Berdasarkan data BPCB Bali, provinsi itu memiliki 674 lokasi situs cagar budaya, 19.745 benda cagar budaya, dan 109 bangunan cagar budaya. Selain itu, terdapat pula 365 struktur cagar budaya dan 5 lokasi kawasan cagar budaya.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, masyarakat Bali masih takut menyentuh, apalagi mengubah, cagar budaya, baik itu berupa bangunan maupun lontar. Ketakutan ini karena khawatir leluhur marah.
”Padahal, ketakutan ini menjadi masalah ke depan. Segala cagar budaya menjadi tak terawat dan bakal musnah. Sayang. Maka, topik mitigasi bencana ini menjadi penting. Tak hanya persoalan menghadapi bencana yang berasal dari alam, tapi juga bencana yang bisa timbul dari kelalaian kita sendiri,” kata Sudiana.
Bali memiliki modal kuat untuk upaya pelestarian ini dengan keterlibatan masyarakat melalui desa adat, pakraman, dan banjar untuk mempermudah saling menjaga kelestarian budaya ini. Ajaran agama Hindu Bali juga sudah menyentuh aspek mitigasi bencana, seperti melestarikan dan menjaga alam melalui Sad Kerti (enam konsep menjaga keberlangsungan alam dan budaya).
Nyoman Rema dari Balai Arkeologi Denpasar mengatakan, leluhur sebenarnya memiliki jiwa mitigasi bencana yang tinggi. Sejak zaman dulu, permukiman Bali menganut konsep penataan ruang dan bangunan, seperti dalam astala kosala kosali, astabumi, wiswakarmatattwa, dan wariga yang terekam dalam lontar.
Hal-hal tersebut menjadi panduan sejak mulai membangun konstruksi rumah hingga bahan-bahan yang mempertimbangkan keamanan dari bencana. ”Jadi, zaman dulu leluhur sudah memikirkan antisipasi jika terjadi bencana kebakaran atau gempa. Ya, mari dilestarikan kembali,” kata Rema.
Kristiawan dari Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, cagar budaya harus mampu diidentifikasi dan didokumentasikan sejelas-jelasnya. Data akurat perlu dianalisis untuk mengetahui potensi kerusakan berdasarkan tingkat kerentanan cagar budaya dalam menghadapi risiko bencana.
”Kesadaran perlu ditingkatkan. Upaya pelestarian cagar budaya pada posisi berlomba dengan waktu yang mendesak. Maka, era teknologi ini perlu dimanfaatkan untuk pendataan dan investarisasi,” kata Kristiawan.