SMK Tidak Menjuruskan ke Pekerjaan Impian
Institusi pendidikan vokasional seperti sekolah menengah kejuruan disebut-sebut sebagai pintu masuk cepat memasuki dunia kerja. Alasannya, pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan selama sekolah dianggap sesuai kebutuhan industri. Paham ini masih dimiliki sebagian besar warga sampai sekarang. Dalam realitasnya justru para lulusan susah terserap industri karena ketidakcocokan kompetensi yang mereka miliki.
Adriansyah (18) merupakan salah satu lulusan sekolah menengah kejuruan jurusan teknik otomotif di Jakarta Utara. Ditemui Kompas di sela-sela seminar ”Pembelajaran Berbasis Kerja yang Berkualitas di Indonesia”, Selasa (4/12/2018), di Hotel Borobudur, Jakarta, menuturkan, kini dirinya bekerja sebagai tenaga housekeeping di The Media Hotel and Towers, Jakarta.
Seminar Pembelajaran Berbasis Kerja yang Berkualitas di Indonesia itu diselenggarakan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Adriansyah menyatakan memang bercita-cita masuk jurusan teknik otomotif dan setelah lulus sekolah menengah langsung bekerja. Oleh karena itu, dia memilih bersekolah di SMK. Saat masih menjadi siswa SMK, Adriansyah sempat setahun menjalani magang internship di salah satu bengkel Toyota.
”Saya memang suka dunia otomotif. Selama internship, kinerja saya pun dinilai bagus. Maka, waktu magang diperpanjang dari enam bulan menjadi 12 bulan. Akan tetapi, setelah selesai magang dan lulus SMK, mata saya malah tidak bekerja normal sehingga susah mendapat bekerja di perusahaan formal otomotif,” ujar Adriansyah.
Dia sempat menganggur beberapa bulan. Akhirnya, pihak sekolah mengontak dia untuk menawarkan ikut program pemagangan formal berkualitas (apprenticeship) di bidangperhotelan. Kejadian ini berlangsung awal 2018.
Adriansyah menyebut dirinya mengikuti apprenticeship selama enam bulan. Dia mempelajari segala macam keterampilan yang dibutuhkan industri perhotelan.
Tuntutan kebutuhan ekonomi membuat dia melamar pekerjaan di bidang yang dipelajari saat apprenticeship. Dia pun melupakan impiannya bekerja di perusahaan formal otomotif.
”Ilmu teknik otomotif tetap melekat dalam diri saya. Beberapa tetangga rumah pernah memakai jasa saya untuk memperbaiki kendaraan mereka. Saya kerjakan sepulang bekerja di hotel,” kata Adriansyah.
Pilihan orangtua
M Ridho Alviora Jaya, lulusan tahun 2017 SMK Mitra Industri MM2100 Bekasi, mengatakan, dirinya sebenarnya belajar teknik permesinan selama di SMK. Jurusan ini dipilih bukan berdasarkan hasrat pribadinya, melainkan atas dasar anjuran orangtua.
”Bapak bilang, seluruh industri pasti memerlukan tenaga permesinan. Kala itu saya mengiyakan saja karena memang tidak memiliki bayangan apa pun tentang dunia kerja. Secara kebetulan juga jarak rumah ke SMK itu dekat,” katanya.
Di SMK tersebut dia akui ditawarkan atmosfer belajar menyerupai dunia industri nyata. Tetapi, masalah datang ketika dia harus mengikuti mata pelajaran wajib internship. Ridho kesulitan menemukan perusahaan yang mau menerima keterampilan sesuai jurusannya.
Singkat cerita, dia akhirnya internship selama empat bulan sebagai tenaga di bagian sumber daya manusia di PT Jotun Indonesia. Setelah lulus, dia sempat ikut program apprenticeship sebagai tenaga di bagian control high safety di PT Sugity Creatives.
Setelah lulus SMK, dia malah mendapat pekerjaan sebagai tenaga produksi di perusahaan swasta di kawasan industri Cibitung, Bekasi. ”Belum genap setahun bekerja, saya menerima tawaran pindah ke bagian purchasing. Saya memang tidak memiliki ekspektasi apa pun ketika bekerja. Mengalir saja,” katanya.
Berganti-ganti
Dessy Permalasari (29), lulusan SMK PGRI 31 Jakarta, mempunyai pengalaman lima tahun bekerja di sebuah hotel di Jakarta sebagai tenaga pembantu urusan dapur. Bidang yang dia kerjakan menyimpang jauh dari keterampilan dan pengetahuan akuntansi yang dia pelajari selama di SMK.
”Saya tidak tahu passion saya apa. Ketika masuk periode penjurusan di SMK, guru-guru menyarankan ambil jurusan akuntansi. Dengan kata lain, setengah ada keterpaksaan mempelajari ilmu itu,” kata Dessy.
Setahun terakhir, dia mengikuti program apprenticeship teknik otomotif yang diselenggarakan Organisasi Buruh Internasional (ILO) bekerja sama dengan Yayasan Dharma Bakti Astra. Program ini sengaja diperuntukkan bagi perempuan.
Dessy mengaku mendapat informasi program itu dari media sosial. Dia pun tertarik mengikuti karena program mengutamakan perempuan. Dia pun diterima dan magang selama April-September 2018.
”Perempuan di industri otomotif sangat jarang. Saya pun merasa sektor industri itu menggugah hasrat. Kalau punya ilmu otomotif, saya dapat membuka usaha sendiri,” kata Dessy.
Permasalahan pendidikan
Di luar masih banyak orang mempunyai pengalaman seperti Adriansyah, Ridho, dan Dessy. Ketiganya beruntung masih terserap oleh industri. Namun, banyak pula lulusan sekolah menengah menganggur.
Sebagai gambaran, menurut data Badan Pusat Statistik, Agustus 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai tujuh juta orang atau 5,34 persen dari 131,01 juta orang angkatan kerja. Jumlah itu naik sekitar 130.000 dibandingkan dengan posisi Februari 2018 sebesar 6,87 juta orang atau 5,13 persen dari total angkatan kerja.
Pada Agustus 2018, TPT tertinggi terjadi di kalangan angkatan kerja berpendidikan menengah. TPT lulusan SMK sebesar 11,24 persen, naik dibandingkan dengan Februari 2018 sebesar 8,92 persen. TPT pada lulusan 7,95 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan Februari 2018 sebesar 7,19 persen. Dua kondisi tersebut menunjukkan ada penawaran tenaga kerja yang tidak terserap, terutama pada tingkat pendidikan SMK dan SMA.
Employment Specialist ILO Country Office for Indonesia and Timor Leste Kazutoshi Chatani berpendapat, sistem pendidikan ataupun pengembangan keterampilan yang ada saat ini tidak membantu anak-anak Indonesia mendapatkan pekerjaan layak. ILO menilai kelayakan kerja dari pengetahuan dan keterampilan sesuai bidang pekerjaan seseorang. Jika dibiarkan, permasalahan ini menyulitkan Indonesia menghadapi pasar tenaga kerja di tengah gempuran digital.
Sistem pendidikan ataupun pengembangan keterampilan yang ada saat ini tidak membantu anak-anak Indonesia mendapatkan pekerjaan layak.
”Sekitar 56 persen pekerjaan di Indonesia berisiko tinggi terkena otomatisasi. Sekitar 65 persen anak-anak yang masuk sekolah dasar sekarang akan mengambil jenis pekerjaan yang belum ada pada masa depan,” katanya.
Dengan situasi yang ada sekarang, Kazutoshi mengatakan, Pemerintah Indonesia sudah tepat menginisiasi program pemagangan formal berkualitas atau biasa disebut apprenticeship dengan menggandeng swasta. Secara global, para pemimpin negara yang tergabung di G-20 pun memiliki kepedulian terhadap perlunya apprenticeship. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin G-20 di Hangzhou, September 2016, mereka berkomitmen melakukan sepuluh tindakan mempromosikan pemagangan berkualitas.
Dua poin penting ada dalam komitmen tersebut. Pertama menetapkan tujuan atau target nasional untuk mengembangkan, memperluas, dan meningkatkan program pemagangan, termasuk bagi tingkat pendidikan tinggi.
Kedua, negara meningkatkan kualitas pemagangan, mulai dari desain, pelaksanaan, sampai memastikan komponen pelatihan berbasis kerja. Untuk poin kedua, G-20 memberikan contoh sistem pelatihan ganda, bimbingan karier efektif, serta integrasi dengan sekolah formal dan pengakuan ketrampilan.
”Kami menyebutnya pemagangan berbasis industri. Artinya, mempersiapkan peserta magang untuk jabatan kerja tertentu,” katanya.
Peneliti senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Hendri Saparini, mengkhawatirkan adanya kasus sejumlah tenaga kerja terdidik dan berpendidikan tinggi, tetapi mereka menganggur. Dia juga membenarkan bahwa suplai dan permintaan tenaga kerja di Indonesia belum berkesinambungan.
Menurut dia, pemerintah semestinya mempunyai pemetaan keterampilan kerja yang dibutuhkan industri. Pelatihan vokasional melalui balai-balai latihan kerja ataupun pemagangan seharusnya rutin dievaluasi sehingga bisa menemukan sejauh mana link and match suplai dan permintaan pasar tenaga kerja.
Pemerintah semestinya mempunyai pemetaan keterampilan kerja yang dibutuhkan industri. Pelatihan vokasional melalui balai-balai latihan kerja ataupun pemagangan seharusnya rutin dievaluasi sehingga bisa menemukan sejauh mana link and match suplai dan permintaan pasar tenaga kerja.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menyoroti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 7 dan 8. Kedua pasal itu membahas tentang perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan, tetapi tidak menyertakan arahan keikutsertaan industri dalam merancang pengembangannya.
Pasal 9 sampai 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyoal pelatihan kerja, termasuk soal pemagangan. Lagi-lagi Timboel menemukan belum ada substansi tajam tentang peran pemerintah, seperti teknis dan anggaran pelatihan.
”Sepertinya, proses pelatihan kerja dan magang masih dikondisikan menjadi kebutuhan pengusaha semata,” kritik dia.
Peta jalan
Asisten Deputi untuk Ketenagakerjaan Kementerian Koordinator Perekonomian Yulius menyebut sudah adanya Peta Jalan Pendidikan dan Pelatihan Vokasi 2017- 2025. Peta jalan ini menyinergikan tanggung jawab kementerian dan lembaga untuk pengembangan kompetensi pekerja.
Dia mengakui permasalahan utama ketenagakerjaan di Indonesia adalah tidak ada kesinambungan antara suplai dan permintaan tenaga kerja. Kompetensi lulusan institusi pendidikan ataupun pelatihan kerap kali tidak sesuai kebutuhan industri.
”Kementerian dan lembaga sudah satu suara untuk memajukan vokasional. Sayangnya, masing-masing kementerian ataupun lembaga punya program dan kebijakan masih berbeda-beda. Maka, kami desain peta jalan itu agar semuanya satu koordinasi,” tegas Yulius.
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Bambang Satrio Lelono menuturkan, sampai akhir 2017, penyelenggara magang mencapai 1.051 perusahaan dengan total peserta 60.491 orang. Penyelenggara magang tersebut tercatat dalam program pemagangan nasional yang diselenggarakan Kemnaker bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri serta Asosiasi Pengusaha Indonesia.
Dari jumlah tenaga kerja peserta, baru 6.726 orang di antaranya ikut sertifikasi di lembaga sertifikasi profesi. Hasilnya, hanya 6.424 orang lulus sebagai tenaga kompeten. Bambang mengklaim persentase pekerja bersertifikat yang akhirnya terserap industri berkisar 60-70 persen.