KTP-el Palsu Mengancam Demokrasi
JAKARTA, KOMPAS - Beredarnya blangko KTP-el di pasaran dapat menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi pada Pemilu 2019. Apalagi penyelenggara Pemilu belum menggunakan sistem atau alat memadai untuk memeriksa keaslian KTP-el, selain mengandalkan pengamatan kasat mata. Hingga saat ini saja masih ditemukan KTP-el mencurigakan yang digunakan untuk Pemilu.
Liputan investigasi Kompas selama Oktober-November 2018 menemukan, blangko Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) beredar di pasaran, salah satunya Pasar Pramuka Pojok, Jakarta Pusat. Selain itu peredaran blangko ini juga ditemukan di pasar dalam jaringan, Tokopedia. Di Pasar Pramuka Pojok, blangko itu digunakan sebagai bahan utama pembuatan KTP-el palsu.
Sementara selama 2017-2018, setidaknya ada dua permasalahan pemilu yang menyangkut penggunaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el), yakni KTP-el tercetak dobel dan KTP-el yang dicurigai palsu. Kedua permasalahan itu telah ditangani Bawaslu, tetapi penanganannya baru sebatas administratif.
Peredaran KTP-el tercetak dobel itu ditemukan di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pada pertengahan 2018 lalu, saat di daerah itu berlangsung Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bandung Barat. Pengakuan dua remaja di Kabupaten Bandung Barat yang ditemui Kompas sempat mengungkapkan, bagaimana mereka bisa mendapatkan dua KTP-el yang diduga dimanfaatkan untuk mencurangi pemilihan kepala daerah.
Salah satu remaja warga Bandung Barat, Advent (18) mengaku, kartu KTP-el yang kedua kalinya itu dia peroleh dari sekelompok orang. Saat menyerahkan kartu identitas itu, sekelompok orang tersebut meminta Advent untuk memilih calon bupati nomor urut tertentu.
Karena khawatir data kependudukannya telah disalahgunakan untuk kepentingan politik, Advent melaporkan penerimaan KTP-el untuk kedua kalinya itu kepada kepolisian setempat. “Saya khawatir identitas saya disalahgunakan,” ucapnya.
Riyani Sulistiyasari (17), warga Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, ini juga mengalami hal serupa. Dia juga memperoleh KTP-el untuk kedua kalinya yang diserahkan oleh sekelompok orang, dengan diikuti pesan agar memilih calon bupati nomor urut tertentu. Padahal, dua minggu sebelumnya, ia baru saja mengambil KTP-el miliknya di kantor Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten Bandung Barat.
Sebelumnya, Ombudsman RI juga memperoleh laporan dugaan penggunaan KTP-el diduga palsu yang dilampirkan sebagai bukti dukungan salah satu partai politik agar dapat lolos sebagai peserta Pemilu. Bukti dukungan itu diajukan di Komisi Pemilihan Umum Daerah Jombang, Jawa Timur, pada akhir 2017 lalu.
Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy menyampaikan, pada mulanya KPUD Jombang memperoleh bukti dukungan KTP-el itu berupa fotokopi hitam putih. Karena dianggap kurang jelas, sehingga bukti dukungan itu ditolak, dan parpol terkait diminta untuk memperbaikinya.
Baca juga : Jebol, Sistem Pengamanan KTP Elektronik
Saat kembali mengajukan perbaikan, lanjut Suaedy, parpol tersebut menyerahkan bukti fisik KTP-el dengan identitas penduduk serupa yang dimuat dalam fotokopi KTP-el yang telah diajukan sebelumnya. Namun KTP-el yang diajukan itu dicurigai palsu, salah satunya karena tampilan fisik KTP-el yang diajukan itu agak berbeda dengan fotokopi KTP-el yang diajukan sebelumnya.
Suaedy menyampaikan, dengan ditemukannya peredaran blangko KTP-el di Pasar Pramuka Pojok seperti yang ditemukan Kompas, itu dapat memperkuat dugaan bahwa KTP-el palsu itu memang benar ada. “Nah perbaikannya (dukungan untuk parpol sebagai peserta Pemilu di KPUD Jombang), itu kan justru menggunakan KTP-el yang diduga palsu. Jadi memang berarti (KTP-el) bisa dipalsukan,” jelasnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan Misbah menyampaikan, selama ini Bawaslu masih mengandalkan pengamatan kasat mata untuk memeriksa keaslian KTP-el. Pihaknya pun menganggap bahwa KTP-el itu merupakan tanda bukti yang valid dan legal terkait identitas dan domisili warga. Namun dengan adanya peredaran blangko KTP-el di pasar gelap, Abhan pun menilai dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat.
“Artinya gini, selama ini kan kita mendewa-dewakan KTP elektronik ini. KTP-el ini adalah tanda bukti yang valid bahwa dia penduduk di situ. Tapi dengan kasus ini (blangko KTP-el beredar di pasaran), ini jadi pertanyaan,” jelasnya.
Untuk memverifikasi keaslian KTP-el, Bawaslu masih melakukan pemeriksaan secara fisik. Pemeriksaan terhadap sejumlah KTP-el yang diajukan sebagai bukti dukungan untuk salah satu parpol dilakukan sebatas pemeriksaan fisik
Menurut Abhan, untuk memverifikasi keaslian KTP-el, Bawaslu masih melakukan pemeriksaan secara fisik. Pemeriksaan terhadap sejumlah KTP-el yang diajukan sebagai bukti dukungan untuk salah satu parpol sebagai peserta Pemilu di KPUD Jombang, contohnya, itu dilakukan sebatas pemeriksaan fisik, tak menggunakan card reader KTP-el. Padahal, sebelumnya telah dilaporkan bahwa KTP-el itu diduga palsu, dan dugaan itu juga telah dilaporkan ke Ombudsman.
Abhan pun mengaku belum pernah memeriksa KTP-el yang diajukan sebagai persyaratan Pemilu itu dengan menggunakan card reader KTP-el dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri. “Kembali tadi, kami hanya periksa secara fisik. (Kalau) Nama kan bisa mirip,” ucapnya.
Terhadap KTP-el tercetak dobel seperti ditemui di Pilkada Kabupaten Bandung Barat, Abhan mengatakan, hal itu perlu memperhatikan aspek materil dan formal. Dari aspek materil, pemilik KTP-el tercetak dobel itu tetap memiliki hak pilih. Hanya persoalannya, KTP-el tercetak dobel yang dimilikinya itu diperoleh melalui proses yang tak benar. Secara formal, orang tersebut bisa menunjukkan KTP-el sebagai syarat pemilih. Selama KTP-el yang tercetak dobel itu tak digunakan untuk menggunakan hak pilih hingga dua kali, itu tetap sah.
“Selama tidak dapat dibuktikan bahwa dia (KTP-el) tidak ganda (identitasnya dua), menurut saya itu tetap sah,” jelasnya.
Namun permasalahannya, lanjut Abhan, jika diperoleh bukti ada peredaran KTP-el ganda yang data kependuduk atau nomor seri NIK di masing-masing KTP-el itu berbeda, tetapi foto atau namanya sama, maka itu perlu diwaspadai. Hal itu dapat dicurigai ada upaya mobilisasi dengan menggunakan KTP-el ganda maupun palsu.
Demikian pula jika ditemukan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang menggunakan KTP-el di satu jam terakhir pemungutan suara pada Pemilu itu mencapai 10 persen dari daftar pemilih tetap (DPT), maka itu patut dicurigai terjadi mobilisasi.
Bawaslu akan lebih meningkatkan pengawasan pada pelaksanaan Pemilu 2019. Pertama, memastikan petugas KPPS memeriksa betul identitas warga yang mendaftar sebagai pemilih dengan menggunakan KTP-el di satu jam terakhir pemungutan suara
Yang problem lagi, lanjut Abhan, jika KTP-el palsu itu digunakan untuk memobilisasi remaja usia di bawah 17 tahun menjadi pemilih, maka Bawaslu pun akan kesulitan untuk memantaunya. “Ini yang sulit,” ucapnya.
Dengan adanya peredaran blangko KTP-el di pasaran, Abhan menyampaikan, Bawaslu akan lebih meningkatkan pengawasan pada pelaksanaan Pemilu 2019 nanti. Pertama, memastikan bahwa petugas KPPS memeriksa betul identitas warga yang mendaftar sebagai pemilih dengan menggunakan KTP-el di satu jam terakhir pemungutan suara. Kedua, Bawaslu juga akan memastikan tinta yang digunakan sebagai bukti warga telah menggunakan hak suaranya itu tak mudah dihapus dengan cairan kimia apa pun.
Baca juga : Lika-liku "Pasar Gelap" Dokumen Negara
Abhan menambahkan, potensi KTP el aspal ini memang kecil digunakan untuk Pemilihan Presiden, karena jumlah pemilih dalam Pilpres sangat besar, seluruh warga negara yang sudah berusia 17 tahun.
Namun, lanjutnya, KTP-el aspal itu akan rawan jika digunakan di pemilihan legislatif karena pemungutan suara akan dibagi per daerah pemilihan, sehingga jumlah peserta pemilihnya tak sebesar Pilpres. Dengan jumlah peserta pemilih yang tak terlampau besar, masih ada kemungkinan KTP-el aspal itu dimobilisasi untuk mendukung salah satu calon legislatif, baik itu untuk DPR, DPRD, maupun DPD.
Secara terpisah, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis menjelaskan, ia belum tahu seberapa masif nantinya KTP el aspal ini digunakan dalam pemilihan presiden. Namun, menurut Viryan, KPU selama ini selalu menekankan bahwa satu suara sangat berarti dalam tiap proses pemilu.
“Baik petahana maupun oposisi tidak ada yang diuntungkan dalam kondisi kali ini. Peredaran KTP-el aspal ini harus segera diselesaikan untuk mencegah ketidakpercayaan publik terhadap hasil pemilu,” ucapnya.
Baca juga : Peredaran Blangko KTP-el Dorong Kejahatan
Viryan mengatakan, jika ada peredaran seperti ini, hasil pemilu menjadi rawan digugat bagi calon yang kalah. Ia juga tidak memungkiri, penggunaan KTP-el palsu bisa disalahgunakan untuk mendaftar sebagai pemilih tambahan dalam DPK di satu jam terakhir pemungutan suara.
“Warga yang memiliki KTP el palsu bisa saja mengaku sebagai warga di wilayah TPS tertentu dan ikut dalam pemungutan suara. Hal ini rawan terjadi di wilayah perkotaan karena masyarakatnya lebih bersikap individual dan tidak saling mengenal satu sama lain,” ucapnya.
Peredaran KTP-el aspal ini harus segera diselesaikan untuk mencegah ketidakpercayaan publik terhadap hasil pemilu
Viryan pun menduga, blangko KTP-el yang beredar di pasar gelap itu tidak terlepas dari adanya permintaan untuk motif politik di lapangan. “Jadi menurut saya, hal ini tidak perlu ditutup-tutupi, masih ada waktu beberapa bulan jelang Pemilu 2019. Mafia KTP el harus ditangkap dan dipidana," ujarnya.
Menurut Viryan, sebaiknya Ditjen Dukcapil menciptakan sistem atau aplikasi agar warga bisa mengecek NIK mereka telah terdaftar atau belum di dalam sistem data kependudukan di Ditjen Dukcapil. Dengan demikian, pada saat pemungutan suara, petugas KPPS dan warga bisa sama-sama saling mengawasi KTP-el yang digunakan untuk menggunakan hak suara itu palsu atau tidak. “Publik perlu diberikan akses untuk mengecek KTP masing-masing apakah data mereka betul-betul terekam atau tidak,” katanya.
Sejauh ini, Viryan mengungkapkan, KPU telah mendapatkan akses dari Ditjen Dukcapil untuk memperoleh data kependudukan, untuk memastikan NIK setiap warga negara telah terdaftar dalam Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4). Dari hasil pemeriksaan KPU sementara ini, masih ditemukan ketidaksesuaian data antara NIK dan DP4.
“Jadi, ada orang yang telah memiliki NIK tapi tidak terdaftar dalam DP4, kemudian ada juga yang ketika kami input NIK-nya, tetapi malah muncul nama lain di dalam sistem. Ini juga masih butuh pembenahan,” katanya.
Untuk mencegah penggunaan KTP-el aspal, Viryan mengatakan, KPU akan memaksimalkan petugas yang dari pintu ke pintu mendata warga agar terdaftar dalam DPT. Petugas ini nantinya akan dijadikan sebagai petugas KPPS karena ia setidaknya telah mengingat wajah pemilih yang telah didata.
“Kami juga akan menyiapkan semacam fitur pelaporan dalam sistem informasi data pemilih (sidalih), agar warga bisa saling melihat DPT di wilayahnya. Kami mengajak agar warga partisipatif untuk mengawasi jika ada nama atau orang yang mencurigakan datang ke TPS tersebut,” tuturnya.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh menyampaikan, sebagai penyelenggara negara pihaknya juga perlu menjaga kerahasiaan data kependudukan setiap warga negara. Lewat akses data kependudukan yang diberikan kepada lembaga yang telah menjalin kerjasama dengan Ditjen Dukcapil, maka lalu lintas pencarian informasi terkait data kependudukan itu dapat diawasi.
“Lewat akses data kependudukan itu, kami juga dapat mengawasi lembaga apa yang sedang mencari informasi NIK tertentu. Dari situ kan kelihatan kalau ternyata ada lembaga yang iseng mencari beberapa NIK secara acak, itu kan artinya main-main. Atau ada lembaga yang beberapa kali memeriksa NIK kepala pemerintahan, itu juga patut dicurigai,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurut Zudan, sebaiknya penyelenggara Pemilu dapat memanfaatkan akses data kependudukan semaksimal mungkin yang disediakan Ditjen Dukcapil. “Jika ada pemilih menggunakan hak suara di satu jam terakhir dengan menggunakan KTP-el mencurigakan, maka anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dapat memotret NIK KTP-el tersebut, dan dikirimkan ke KPU. Nanti kan KPU bisa memeriksa NIK itu benar atau tidak,” jelasnya.