Kisah Perempuan Penyortir Biji Kopi Banaran
Sekitar 50 perempuan separuh baya duduk di kursi kayu kecil berderet rapi di ruang masson pabrik kopi Banaran, Selasa (4/12/2018). Mereka dikelilingi keranjang berisi kopi jenis robusta. Jari-jari tangan para perempuan itu lincah menyortir biji kopi kering diiringi lagu-lagu gambus dari Nissa ”Sabyan”.
Ruang tempat mereka bekerja merupakan gudang besar. Biji kopi yang hitam diambil dari timbunan ratusan biji di nampan bambu atau tampah di pangkuan mereka. Di tangan salah satu pekerja, Mudyah (48), biji-biji yang rusak atau biji hitam di antara tumpukan kopi dipisah. Biji itu diangkat dengan jepitan kedua ujung jari, terus bergulir ke telapak tangan, lalu diletakkan di nampan lain.
Jika diperhatikan, gerakan-gerakan tangan pekerja perempuan itu sangat terampil. Keterampilan yang telah terasah berpuluh-puluh tahun. Mudyah mengatakan sudah bekerja sebagai tukang sortir biji kopi sekitar 25 tahun. Dia termasuk generasi kedua dari ratusan tukang sortir di pabrik kopi. Banyak di antara mereka adalah penduduk di sekitar Desa Banaran, Asinan, ataupun Jambu yang tidak jauh dari lokasi pabrik.
Satu tampah dapat menampung 2-3 kilogram biji kopi. Apabila lebih dari itu, dikhawatirkan proses sortir tidak optimal sehingga hasilnya dinilai buruk oleh pengawas. Setiap menyelesaikan tugas sortir untuk tahapan awal hingga akhir, para pengawas kemudian menentukan kualitas hasil kerja mereka.
Mundrikah menuturkan, ketika panen raya, mereka biasa bekerja 8-9 jam sehari. Mereka mulai datang ke pabrik pukul 08.00 dan baru pulang pukul 16.00. Jika panen raya, bahkan hari Minggu pun mereka bisa masuk lebih pagi, sekitar pukul 06.00, supaya dapat mempercepat proses penyortiran.
Dalam rantai produksi kopi di pabrik kopi Banaran, tugas sortir merupakan tahapan keempat dari semua tahapan pengolahan biji kopi menjadi biji kering siap giling. Sebelumnya, biji kopi harus melewati proses sortir dengan mesin basah, proses pecah kulit, pengeringan, dan pemisahan kulit tanduk dengan kulit ari biji kopi lewat mesin pengupas (huller).
Menentukan mutu
Saat panen raya, kebun kopi di Getas dan Ngobo milik PT Perkebunan Nusantara IX bisa menghasilkan sekitar 250.000 ton biji kopi. Di tangan ibu-ibu setengah baya itulah, proses sortir kering secara manual dilakukan. Hasilnya, biji kopi akan dikelompokkan dalam sejumlah kelas mutu. Biji kopi kering akan disortasi menjadi empat kelas mutu.
Keempat mutu tersebut adalah mutu 1, mutu 4, mutu lokal, dan mutu DP (dry process). Mutu lokal merupakan campuran biji kopi yang sudah dipisahkan dari biji kopi kualitas mutu 1 dan mutu 4. Kopi mutu lokal lebih banyak memenuhi permintaan pasar sekitar pabrik.
”Untuk mutu 1 terbagi ukuran small dan large, semua untuk pasar ekspor, dominan ke Italia, Kanada, dan Jepang,” kata Saryanto, asisten teknik pabrik kopi Banaran PTPN IX di Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang.
Turun-temurun
Sejumlah pekerja perempuan itu menyebutkan, keluarga mereka bekerja di pabrik kopi Banaran secara turun-temurun. Meski berstatus pekerja borongan, mereka senang bisa bekerja di pabrik kopi. Beberapa ibu juga mahir membuat bubuk kopi di rumah sebagai usaha sampingan dengan mengolah hasil panen kopi dari kebun kopi rakyat milik petani setempat.
”Kalau ada keluarganya dulu bekerja tukang sortir, biasanya mereka sudah bisa memilih kopi meski belum mahir. Rata-rata pekerja perempuan saat ini telah bekerja lebih dari 15-20 tahun. Mereka masuk kerja ketika usia rata-rata sekitar 15 tahun. Kebanyakan hanya berpendidikan setingkat sekolah menengah pertama,” ujar Mundrikah.
Dengan bekerja tekun, setiap pekerja dapat menyortir biji kopi sekitar 20 kilogram per hari. Pada saat panen raya, bukan tidak mungkin satu pekerja bisa menyelesaikan penyortiran biji kopi sampai 30 kilogram. Dengan hasil sebanyak itu, setiap pekerja bisa memperoleh penghasilan antara Rp 25.000 dan Rp 35.000. Adapun rentang waktu sortir kopi berkisar 15-25 hari. Artinya, pendapatan mereka bisa sampai Rp 875.000.
Mengingat masa panen kopi yang singkat, tentu saja perempuan pekerja itu juga punya waktu lama menganggur. Panen kopi biasanya hanya berlangsung 3-5 bulan dalam semusim. Apabila tidak panen, banyak dari perempuan pekerja itu menganggur di rumah masing-masing hingga beberapa bulan.
Proses regenerasi tenaga sortir berjalan alami. Dari ibu turun ke anak perempuannya atau anak tetangga atau saudara terdekat. Terlebih, dulu, sekitar 20 tahun lalu, sudah lazim apabila para ibu bekerja ke pabrik mengajak anak perempuannya yang masih balita atau remaja.
Anak-anak itu jadi terbiasa menyaksikan proses sortir biji kopi sehingga lambat laun dapat menggantikan orangtuanya bekerja di pabrik. Namun, menurut Mudyah, saat ini, banyak anak muda lebih memilih bekerja di pabrik ketimbang menjadi tukang sortir kopi.
Salah satu petugas pengawas sortasi kopi, Ruwati (50), menjelaskan, hanya pekerja berpendidikan yang bisa menjadi pengawas kualitas kopi hasil sortasi pekerja.
”Saya sudah bekerja selama 20 tahun. Tugas saya menilai hasil biji kopi sortasi dari pekerja. Kadang, ya, membersihkan kembali beberapa biji kopi rusak yang masih ada dalam satu tampah. Bila sudah lolos, kopi dimasukkan ke keranjang besar sesuai mutunya guna memudahkan masuk ke karung,” tutur Ruwati.
Saryanto mengatakan, proses sortasi kering biji kopi itu sangat penting. Hampir 70 persen proses sortasi hasil panen kopi dalam skala tahapan produksi dilakukan secara manual.
Sekitar 10 tahun lalu, jumlah tenaga sortir berkisar 100-120 orang. Namun, kini, jumlahnya paling banyak sekitar 70 orang. Penurunan ini bisa dimaklumi. Selain banyak pekerja yang sudah sepuh, kebanyakan anak perempuan enggan bekerja sebagai tukang sortir.
”Namun, kami tetap yakin, tenaga sortasi akan selalu ada meski jumlahnya terus menurun seiring keberlangsungan pabrik kopi Banaran,” lanjut Saryanto.
Sejarah Banaran
Pabrik kopi Banaran tak dapat dilepaskan dari NV Semadmij, orang Belanda yang menanam kopi di perkebunan Banaran dan Asinnan sejak 1906. Kopi ditanam di sela-sela tanaman kakao yang telah lebih dulu dirintis FA Th Crone, pengusaha perkebunan yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda, sejak 1898.
Sesuai masa tumbuh biji kopi selama lima tahun, pada 1911, NV Semadmij mendirikan pabrik kopi untuk mengolah hasil tanaman kopinya yang mulai bisa panen.
Hingga kini, bangunan pabrik kopi itu masih berdiri kokoh. Bangunan pabrik kopi masih utuh, tidak banyak dirombak, sehingga menjadi lokasi wisata sejarah pabrik kopi di Jawa Tengah.
Boleh jadi, saat mulai menanam kopi di perkebunan Banaran dan Assinan (wilayah Jambu sekarang) pada 1906, NV Semadmij tak menyangka pabrik kopi di bawah pengelolaan CO Kopi Banaran/Assinan mampu bertahan hingga era modern kini. Pada 1957, perkebunan kopi swasta itu mengalami nasionalisasi sampai kini jadi salah satu kebun andalan PT Perkebunan Nusantara IX Jateng.