Kampung Asap yang Bertransformasi Menjadi Destinasi Wisata di Sidoarjo
Desa Penatarsewu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dijuluki sebagai Kampung Asap. Desa Penatarsewu adalah sentra produksi ikan asap segar. Dengan kemampuan produksi 15 ton ikan per hari, dalam sehari minimal uang yang berputar mencapai Rp 1 miliar. Sebuah nilai yang cukup besar bagi sentra ekonomi rakyat.
Di sisi lain, hadirnya usaha produksi ikan asap itu berdampak terhadap kelestarian lingkungan termasuk manusia yang tinggal di dalamnya. Lingkungan terlihat kurang terawat karena kegiatan produksi menyebar di sembarang ruang, tanpa tertata. Polusi udaranya juga tinggi karena kepulan asap yang menyelimuti sepanjang hari.
Hari beranjak siang ketika Nainul (40) berjibaku di depan tungku pengasapan di rumahnya di Desa Penatarsewu, Kecamatan Tanggulangin, Minggu (2/12/2018). Tanggannya bergerak cekatan menata ‘sate ikan’ tusuk demi tusuk di atas panggangan tungku pembakaran. Membalik ikan saat terlihat mulai berwarna kecoklatan dan mengangkatnya ketika dirasa sudah matang.
Di belakang Nainul, duduk seorang lelaki bernama Muhammad Anwar dengan posisi beradu punggung. Lelaki yang tidak lain suami Nainul itu tengah berjibaku dengan ikan-ikan segar. Dialah penata ‘sate ikan’, yang bertugas menyusun ikan-ikan segar pada sebuah tusuk besar terbuat dari besi.
Nainul dan Muhammad Anwar merupakan pasangan suami yang menggeluti usaha pengasapan ikan segar. Dalam sehari, mereka mampu mengasap ikan sebanyak 80 kilogram hingga 1 kuintal. Jenis ikan yang diasap bisa beragam sesuai pesanan pembeli. Namun mayoritas ikan mujair dan bandeng karena banyak dihasilkan oleh petambak di Sidoarjo.
Kira-kira sepelemparan batu dari rumah Nainul, terlihat Hanifa (38) juga tengah sibuk mengasapi ikan. Dalam sehari dia mengaku mampu memanggang ikan segar sebanyak 1,2 - 1,5 kuintal. Seperti halnya Nainul, dalam bekerja Hanifa pun berbagi peran dengan suaminya Misnan (45).
Pelaku usaha ikan asap membeli ikan mujair segar dengan harga Rp 30.000 per kg. Setelah diolah ikan asap siap santap dijual Rp 60.000 hingga Rp 65.000 per kg. Selisih harga tinggi karena 1 kg mujair segar setelah diolah menjadi ikan asap tinggal 6 ons. Kotoran dalam perutnya banyak dan kadar airnya tinggi.
Kepala Desa Penatarsewu Nurul Huda mengatakan total terdapat 165 keluarga yang menggeluti usaha pengasapan ikan. Dengan asumsi satu keluarga terdiri dari empat orang, total ada sekitar 660 jiwa yang menggantungkan asap dapurnya pada usaha pengasapan ikan segar ini.
Kendati yang menggeluti usaha pengasapan ikan segar hanya 165 keluarga akan tetapi mereka yang bekerja pada rantai usaha ini cukup banyak. Sebab usaha penopang pengasapan ikan ini sangat beragam. Misalnya menjadi petambak yang membudidaya ikan, penjual ikan segar atau pemasok.
“Ada juga yang bekerja khusus membersihkan ikan segara agar siap diasap. Ikan segar ini harus dibersihkan dengan cara dibuang isi perutnya,” ujar Nurul.
Usaha lain yang juga menopang pengasapan ikan adalah pedagang ikan asap atau pengepul yang mendistribusikan ke pedagang di pasar-pasar tradisional baik di Sidoarjo, Surabaya, Mojokerto, dan Pasuruan. Itu belum usaha yang tidak bersinggungan langsung misalnya pembuatan petis ikan, varian lain dari produk olahan ikan segar.
“Hampir 80 persen dari total penduduk Desa Penatarsewu yang berjumlah 860 keluarga atau 3.440 jiwa, bekerja pada bidang usaha budidaya dan pengolahan ikan,” kata Nurul.
Polusi Tinggi
Nurul menambahkan usaha pengasapan ikan segar telah berlangsung sejak lama. Dia tidak tahu persis siapa yang memulai dan bagaimana dulu mereka mendapatkan ilmu atau pengetahuan tentang proses pengasapan ikan.
Para pelaku usaha pengasapan ikan segar yang eksis saat ini mendapat pengetahuan dan ketrampilan secara otodidak dari orangtua mereka. Ada juga yang pernah bekerja di usaha pengasapan ikan kemudian keluar dan memilih berusaha secara mandiri.
Nainul bercerita, untuk mengasap ikan segar dia mengandalkan tempurung kelapa sebagai bahan bakar. Alasannya sederhana, hal itulah yang diajarkan oleh orangtuanya. Berdasarkan pengalamannya mengasap ikan, tempurung kelapa mampu menghasilkan bara yang stabil. Karena yang diperlukan untuk memanggang bukan api melainkan asap dari arang yang membara.
Bertahun silam, hingga 2015 lalu saat Kompas meliput ke Desa Penatarsewu, asap putih kadang hitam kerap menyelimuti desa. Asap-asap itu mengepul dari tungku-tungku pemanggangan sepanjang periode kerja pukul 09.00-17.00. Semakin dekat dengan rumah pengasap ikan, semakin pekat asap yang menyelimuti.
Para pemanggang ikan pun kerap tak kelihatan. Eksistensi mereka ditandai dari suara batuk dan keluhan sesak nafas akibat menghirup asap. Apalagi ruang pengasapan rerata sempit karena terbatasnya lahan rumah warga. Tempat pengasapan yang menyatu dengan rumah tinggal itu juga pengap, tanpa ventilasi, serta ada yang berlantai tanah.
Lingkungan permukiman juga tampak tidak terawat bahkan kumuh karena usaha pembersihan perut ikan dilakukan di sembarang tempat, tanpa tertata. Bahkan di dalam tempat produksi bisa berserakan beragam barang seperti bahan bakar, ikan segar, ikan asap siap makan.
Ramah asap dan bersih
Kini, kondisi kampung asap berubah drastis. Pengasap mengenakan masker saat bekerja. Mereka tak lagi terselimuti asap pekat sehingga terlihat dengan jelas. Selain itu tidak ada lagi asap yang menyelimuti rumah-rumah bahkan jalan desa. Asap dari tungku pemanggangan langsung disalurkan melalui cerobong yang menjulang tinggi ke langit.
Jika dulu kampung asap ditandai dengan asap tebal yang menyelimuti desa, kini ditandai oleh cerobong tinggi di tiap-tiap rumah pengasap ikan. Jumlah cerobong itu saat ini mencapai 88 unit karena belum semua pelaku usaha menggunakannya. Biaya menjadi kendala sebab pembangunan satu unit cerobong dengan bentuk yang paling sederhana menghabiskan Rp 5 juta.
Perubahan lain adalah tempat kerja yang bersih, berlantai keramik bahkan dindingnya pun berkeramik. Ada tempat khusus untuk menyimpan ikan agar tetap segar. Ada tempat seperti para-para berbahan bambu untuk menempatkan ikan asap siap saji agar terjaga cita rasa namun tetap higienis.
Perubahan yang terjadi di kampung asap itu salah satunya merupakan sumbangsih dari PT Pertamina Gas (Pertagas). Melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) Pertagas berkomitmen memberdayakan masyarakat, tidak saja agar mereka mampu meningkatkan kesejahteraan, melainkan juga mendorong peningkatan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.
Direktur Utama PT Pertagas Wiko Migantoro mengatakan tujuan utama dari program CSR adalah berkontribusi terhadap masyarakat dan bertumbuh bersama. Pihaknya melihat Desa Penatarsewu memiliki potensi sumber daya yang melimpah baik alam maupun manusianya. Namun mereka memiliki keterbatasan akses permodalan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia serta jaringan pemasaran.
“Disitulah PT Pertagas masuk. Harapannya setelah masyarakat menjadi berdaya akan muncul pahlawan-pahlawan lokal yang memiliki inovasi lebih besar untuk memajukan kampung asap,” ujar Wiko.
Program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh Pertagas antaralain mengedukasi pelaku usaha mulai dari proses pemilihan bahan baku, proses pengolahan bahan baku hingga proses pengasapan. Pelaku usaha memang mengandalkan teknik tradisional namun mereka bisa memberikan sentuhan pengetahuan sehingga produk yang dihasilkan tidak saja bercitarasa tinggi akan tetapi juga higienis dan menyehatkan.
Bantuan juga diberikan dalam bentuk boks penyimpanan ikan agar tetap segar, para-para untuk menampung ikan siap santap, pembangunan cerobong asap untuk menekan polusi udara, hingga pembangunan tempat pemanggangan sehingga berlantai bersih tidak tanah bahkan berdinding keramik agar mudah dibersihkan.
Disektor pemasaran, PT Pertagas juga memberikan sumbangsih dengan memperluas jaringan pasar ikan asap. Pelaku usaha berharap produknya bisa lebih tahan lama dengan teknik pengemasan modern yang dilengkapi teknologi kedap udara. Selama ini ikan asap hanya bertahan 24 jam sehingga jangkauan pasarnya terbatas.
“Saat ini tengah dirampungkan pembangunan restoran apung sebagai etalase untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat sekaligus mengembangkan destinasi wisata baru di Sidoarjo,” ucap Wiko.
Kepala Desa Penatarsewu Nurul Huda mengatakan desanya tengah membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMD) untuk mengembangkan usaha kreatif masyarakat termasuk mengelola resto apung serta destinasi wisata. Dia optimistis usaha masyarakat akan berkembang pesat tidak hanya ikan asap melainkan varian produk lainnya seperti petis ikan, kerupuk ikan, bahkan mungkin ikan asap dengan bumbu bervariasi.
Sebagai destinasi wisata, pihaknya akan mengembangkan wisata edukasi dan budaya dengan membuka lebar pintu rumah pelaku usaha pengasapan ikan untuk menerima kunjungan wisatawan. Pengunjung bisa melihat langsung proses pengolahan hingga pengasapan ikan sehingga akhirnya tertarik berbelanja. Untuk memberikan kesan yang hebat kepada pengunjung, pelaku usaha harus mendapat pelatihan melayani tamu, selain meningkatkan ketrampilan dibidang produksi dan pemasaran.
Selain BUMN, perhatian juga diberikan oleh Pemkab Sidoarjo melalui bantuan pinjaman berbunga lunak hanya 6 persen per tahun. Namun program ini belum banyak yang mengakses karena terbatasnya informasi dan mungkin jauhnya lokasi. Sebab kampung asap berada di wilayah paling ujung yang berjarak lebih dari 20 km dari pusat Kabupaten Sidoarjo.
Ikan asap merupakan salah satu makanan khas Sidoarjo yang menjadi ikon. Produk ini menjadi oleh-oleh khas bagi pengunjung termasuk wisatawan. Melalui transformasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha ikan asap, produk ini bisa dikenal lebih luas bahkan diekspor ke mancanegara seperti kerupuk udang Sidoarjo yang sudah lama mendunia.