Tergilas Swasta, Tertimbun Gula Impor
Sejumlah pabrik gula badan usaha milik negara di Jawa Barat terancam bangkrut. Mesin lawas mereka dipaksa bersaing dengan mesin masa kini milik swasta yang bakal menjamur dengan tingkat efisiensi yang jauh lebih tinggi. Petani mitra pun menghadapi ancaman impor gula yang dinilai berlebihan.
Produksi gula di Jabar naik turun bak wahana permainan memicu adrenalin. Jaya dan ambruk pernah terjadi di masa lalu. Kini, nasibnya serupa tergambar dari petualangan kerja Nurwahid, ahli listrik mesin gula.
“Saya sudah empat tahun bekerja di Perusahaan Gula (PG) Sindang Laut ini. Sebelumnya, saya bekerja di PG Karang Suwung tahun 2001 – 2013 dan PG Kadipaten tahun 1993 – 2000. PG Kadipaten ditutup tahun 1999, sedang PG Karang Suwung ditutup tahun 2014. Tahun lalu, PG Sindang Laut juga terancam ditutup,” tutur Nurwahid yang kini menjabat Kepala Bagian Instalasi Listrik PG Sindang Laut di Lemah Abang, Kabupaten Cirebon, Selasa (27/11/2018).
Ambil contoh sepak terjang PG Kadipaten, yang dulu bernama Suikerfabriek Kadhipaten di Jalan Majalengka-Kadipaten, Liangjulang, Kadipaten, Majalengka. Berdiri tahun 1876 dan pernah diperluas tahun 1911.
Baca: Oei Tiong Ham, Konglomerat Gula dari Jawa
Kehadirannya mewarnai kejayaan gula di Jabar. Pabrik ini dilengkapi perumahan dinas para petinggi dan karyawan. Jalur lori pun dibangun, meliputi Sukawera di Utara, Panyingkiran di Selatan, Balida di Timur dan Ujungjaya di Barat.
Untuk menuju kawasan utara dibangun jembatan lori diatas sungai Cimanuk di kawasan Pakubeureum. Sebelum dibangun jalur kereta api Cirebon-Kadipaten, gula diangkut lewat Sungai Cimanuk ke Pelabuhan Karangsambung.
Akan tetapi, ketatnya persaingan membuat PG ini kesulitan bernafas dan tutup tahun 1999. Di tahun yang sama, PG Jatiwangi di Majalengka yang didirikan R Twiss tahun 1848, juga gulung tikar.
PG lain yang didirikan R Twiss di tahun yang sama, PG Parungjaya di Desa Parungjaya, Leuwimunding, Majalengka, juga nasibnya serupa bahkan lebih tragis. PG Parungjaya tutup terimbas resesi ekonomi dunia tahun 1930-an.
Berumur lebih lama, PG Karang Suwung di Desa Karang Sembung, Sindang Laut, Cirebon, juga harus menyerah digilas jaman. Perusahaan yang diresmikan 1896 dan tutup 118 tahun kemudian itu didirikan perusahaan swasta Belanda, NV Maatchappij tot Expoitatie der Suiker Onderneming Karangsoewoeng (Perusahaan pengelolaan perusahaan gula Karang Suwung). Namanya pernah mentereng sebagai produsen gula ternama tempo dulu.
Lesu
Kini jadi sedikit monumen kejayaan gula Jabar yang tersisa, PG Sindang Laut tak luput dari kejaran lonceng senja. PG Sindang Laut berdiri tahun 1896 dengan nama Singdanglaoet oleh NV. Mij Tot Exploitatie der Suiker fabriek Sindanglaoet, nasibnya di ujung tanduk.
Menurut Dadi Elsa Barani, staf budidaya dan perawatan tanaman di PG Sindang Laut, lima tahun terakhir, produksi gula terus turun. Alasannya, harga gula yang dibanderol Bulog hanya Rp 9.700 per kilogram. Jumlah itu di bawah harga pokok produksi sekitar Rp 9.000 per kg.
“Tahun 2012, harga gula mencapai harga tertinggi, Rp 14.000 per Kg. Namun, periode selanjutnya, harganya anjlok Rp 8.150 per Kg. Petani pesimis dengan masa depannya. Apalagi mereka dihantam impor gula dan isu berdirinya pabrik gula modern. Imbasnya, petani beralih menanam bawang merah, jagung, dan jenis palawija lainnya,” ujar Dadi.
Setali tiga uang, PG Tersana Baru juga terancam jadi masa lalu. PG ini didirikan tahun 1937 di Desa dan Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon dengan luas areal 4.800 – 5.500 Hektar.
Pada tahun 2008, PG Tersana Baru pernah menggiling tebu dari lahan seluas 5.400 Ha. Tetapi jumlahnya terus menurun dan sulit mengejar kejayaan 20008. Pada tahun 2015 hanya 3.677 Ha, 4.226 Ha (2016) dan 4.070 Ha (2017).
“Sekarang tinggal 1.700 Ha yang tahun depan bakal kami giling. Sebagian petani memilih menanam lahannya dengan bawang merah dan jagung,” ucap Ragil, Kepala Bagian Fabrikasi PG Tersana Baru. Menurut dia, kapasitas maksimal penggilingan di PG Tersana Baru saat ini, 3.300 ton cane per day (TCD) dengan tingkat gilingan ideal 3.000 TCD.
Kusut
Kepala Bagian Legal PT Rajawali II, Karpo Budiman Nursi mengakui, jumlah PG di bawah PT Rajawali II terus berkurang. Tahun 1996, PT Rajawali II masih memiliki PG Karangsuwung, PG Kadipaten, PG Subang, PG Tersana Baru, PG Sindang Laut, PG Jatiwangi, PG Gempol, plus PG Jatitujuh.
Kini, kata Karpo, jumlah PG yang dimiliki PT Rajawali II tinggal tiga yang masih beroperasi, yaitu PG Tersana Baru, PG Sindang Laut, dan PG Jatitujuh. Awal 2018 lalu, PG Subang di Blok Cidangdeur, Desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Subang menjadi yang terakhir ditutup.
Di kawasan PG Subang seluas sekitar 4.000 hektar akan dibangun kawasan industri dengan nilai investasi Rp 3 triliun. Proyek akan dikerjakan tahun depan. Alasannya, seperti disampaikan Direktur Utama PT RNI, Didik Prasetyo, areal PG Subang kini terbelah jalan tol.
“Kalau mengangkut tebu ke pabrik terpaksa harus lewat tol. Ini kan biaya lagi. Belum lagi ada rencana pembangunan Pelabuhan Patimban dan hadirnya Bandara Kertajati,” tuturnya.
Kebijakan ini menyusul nasib PG Gempol yang bakal beralih ke industri peternakan ayam terintegrasi dengan investasi Rp 500 miliar dan direncanakan berlangsung tahun depan. Direktur Utama PT Rajawali II, Audry Harris Jolly Lapian, mengatakan, gula akan diganti industri peternakan ayam. Tahap pertama, sasaran produksi ayam pedaging sebesar 450 ribu ekor per bulan, dan telur 12-14 ton, per bulan. Selanjutnya, akan dibangun juga tempat pemotongan ayam otomatis berkapasitas 2.000 ekor ayam per jam.
Sekretaris Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Jabar Haris Sukmawan berpendapat, dari sisa tiga pabrik tersebut bisa jadi tahun depan tinggal satu. Menurut dia, beberapa tahun belakangan, kebijakan pemerintah justru membuat petani tebu di sekitar PG milik negara semakin terpuruk.
“Dari mulai dihapusnya kredit ketahanan pangan dan energi yang sangat dibutuhkan petani tahun 2015, janji revitalisasi pabrik gula yang tidak pernah ditepati, dibukanya keran impor raw sugar di saat petani tebu sedang panen dan rendahnya penetapan harga pokok pembelian,” ujarnya.
Saat ini, dari lahan tebu di Jabar yang semula 22.000 Ha, tinggal 10.000-11.000 Ha. Dari jumlah tersebut, lahan tebu rakyat tinggal sekitar 3.000 Ha. Selebihnya berupa hak guna usaha.
“Padahal saat tujuh PG di Jabar masih beroperasi, Indonesia masih bisa mengekspor gula,” paparnya.
Kehilangan Semuanya
Ditanya nasib PG BUMN yang terjepit menghadapi melimpahnya gula impor dan bakal menjamurnya PG swasta, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Agus Pakpahan mengatakan, PG BUMN dan PG swasta sebaiknya bersinergi, bergandeng tangan, saling belajar, tanpa menghilangkan semangat persaingan sehat. Para pemangku kepentingan PG BUMN pun sudah selayaknya melakukan peremajaan pabrik dan lahan kebun tebu.
“PG swasta yang sudah teruji, baru Sugar Groups dan Gunung Madu Plantation di Lampung. Kedua PG ini tidak menggantungkan pada raw sugar impor tetapi dari hasil tebu kebun sendiri. Mereka sanggup meningkatkan produktivitas kebun tebu dari 50 ton per Ha di awal berdiri sampai menjadi 80 ton per Ha saat ini. Saya kira PG BUMN harus belajar dari mereka,” tuturnya.
Menurut dia, sebaik apapun mesin PG, jika tidak dipenuhi bahan baku yang cukup dan baik, tidak akan maksimal berproduksi. “Memang sebaiknya ada peremajaan mesin pabrik di lingkungan PG BUMN sehingga tidak tertinggal produktivitasnya. Namun, sebelumnya buktikan dulu mampu memelihara stabilitas ketersediaan tebu yang berkualitas, baik dari dari petani maupun dari kebun sendiri,” papar Agus.
Ia mengkritik kinerja sebagian PG BUMN yang masih rendah. Agus membandingkan PG Kebon Agung milik swasta dengan PTPN X dan XI di Jawa Timur. Mereka sama-sama punya mesin tuanya, pasokan tebu pun dari petani, dan ketersediaan pasokan serupa.
“PG Kebon Agung mampu mengelola terutama tenaga kerjanya, tidak serumit PG BUMN sehingga bisa meningkatkan penghematan energi dan tenaga kerjanya lebih besar dibandingkan PTPN X dan PTPN XI,” jelas Agus.
Agus juga berharap pemerintah melangkah tepat membawa kembali kejayaan gula nasional. Produksi gula Indonesia tahun 1999-2008 misalnya pernah naik dari 1,49 juta ton menjadi 2,6 juta ton. Hal itu terjadi karena terjadi pertambahan areal sekitar 89.000 Ha dan petani tertarik berusaha tani tebu karena insentifnya tinggi. Hal itu tidak terjadi kali ini karena langkah pemerintah cenderung berubah.
“Kalau potensi produksi di dalam negri ditingkatkan, maka kita akan mendapatkan bonus kesempatan kerja yang besar, serta menghemat devisa sekaligus. Sekarang kita kehilangan semuanya termasuk menjadi negara importir gula terbesar dunia,” sesal Agus.