OHI, KOMPAS—Meski jadi korban bom atom dan mengalami pahitnya kecelakaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, Jepang tetap menjadikan nuklir sebagai sumber energi utama. Pilihan itu menuntut adanya standar keselamatan tinggi dan pengelolaan yang ekstra hati-hati. Penerimaan masyarakat Jepang jadi kunci agar nuklir bisa dikembangkan.
Pascakecelakaan PLTN Fukushima Daiichi yang menyebabkan lebih 160.000 penduduk mengungsi, kelompok antinuklir Jepang sering menyuarakan penghentian penggunaan nuklir. Meski tidak ada korban meninggal langsung akibat paparan radiasi yang menyebar ke lingkungan, bencana itu tetap menimbulkan kekahwatiran masyarakat.
"Sebagai orang Jepang yang bekerja di PLTN, kami tidak akan lari dari tempat kerja saat terjadi kecelakaan. Kami akan berusaha menyelamatkannya sampai titik darah penghabisan," kata Taku Sato, Deputi Manajer Keselamatan Nuklir PLTN Ohi di Prefektur Fukui, 500 kilometer barat Tokyo, Jepang, Kamis (29/11/2018).
Sebagai orang Jepang yang bekerja di PLTN, kami tidak akan lari dari tempat kerja saat terjadi kecelakaan. Kami akan berusaha menyelamatkannya sampai titik darah penghabisan.
Sikap yang ditunjukkan pekerja PLTN itu membuat pengoperasian kembali PLTN Ohi pada Maret dan Juni 2018 bisa diterima masyarakat sekitar. Pascakecelakaan di PLTN Fukushima Daiichi akibat tsunami yang melanda Maret 2011, semua PLTN Jepang dimatikan. Pemerintah pun menerapkan aturan standar keselamatan yang baru.
Tanpa penerimaan masyarakat, PLTN akan sulit beroperasi kembali. Hingga kini, dua reaktor di PLTN Ohi jadi bagian dari 9 reaktor di seluruh Jepang yang sudah beroperasi lagi. Selain itu, 54 persen pegawai PLTN Ohi tinggal di Prefektur Fukui hingga warga bisa menilai jika terjadi hal tak diinginkan, pekerja PLTN, dan keluarganya juga terdampak.
Selain penerimaan warga, keselamatan PLTN jadi kunci utama. Standar keselamatan baru PLTN yang dibuat pemerintah membuat Kansai Electric Power Company (Kepco) selaku pengelola tiga PLTN di Jepang menginvestasikan 10 miliar dollar AS atau sekitar Rp 145 triliun untuk meningkatkan keselamatan PLTN yang dikelola perusahaan itu.
Investasi keselamatan nuklir yang besar itu dipergunakan untuk banyak hal guna mencegah dampak berbagai bencana terhadap PLTN, mulai dari gempa, tsunami tinggi, tornado, terorisme, hingga kemungkinan ditabrak pesawat terbang.
Semua itu tidak murah dan menambah sedikit harga listrik. Namun, harga listrik PLTN tetap jauh lebih murah dibanding pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau energi baru, sepert air, angin atau matahari.
Peran operator
Namun, Sato mengingatkan, keselamatan PLTN bukan terletak pada seberapa besar investasi dan standar keselamatan yang sudah dilakukan. "Keselamatan PLTN tetap bertumpu pada operator yang selalu meningkatkan standar keselamatan PLTN-nya meski sudah memenuhi standar yang ditetapkan regulator," katanya.
Saat sosialisasi rencana menghidupkan kembali PLTN, pemerintah sebagai regulator juga ikut. Sikap tegas pemerintah yang menerapkan standar keselamatan lebih tinggi dianggap mampu menjamin keselamatan masyarakat saat bencana nuklir terjadi.
Kepala PLTN Ohi Kazushige Bunno mengatakan, sebelumnya PLTN Ohi mengelola empat reaktor yang berumur lebih dari 40 tahun. Namun dengan aturan keselamatan baru, pengelola memutuskan untuk mengoperasikan dua reaktor dan mematikan dua reaktor lain.
Semua informasi keselamatan nuklir itu disampaikan secara detail dengan cara yang mudah ke masyarakat. Bahkan, PLTN Ohi membangun pusat informasi di luar lokasi PLTN yang dilengkapi museum hingga melihat pusat pelatihan pengendalian ruang kontrol PLTN. Pusat informasi itu bebas diakses masyarakat segala umur hingga masyarakat ikut merasa memiliki PLTN.
Melihat pengalaman Jepang mengelola keselamatan PLTN dan membangun kepercayaan masyarakat, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Marsudi Syuhud Sahudi mengatakan pemahaman masyarakat tentang PLTN di Indonesia perlu terus didorong pemerintah dan parapihak. Edukasi dan sosialisasi itu harus terus dilakukan hingga masyarakat bisa menerimanya.
Masyarakat NU di sekitar calon lokasi PLTN Muria, Jawa Tengah dari sejumlah kabupaten pernah menolak pembangunan PLTN. Namun penolakan itu diyakini karena tidak ada informasi utuh yang diterima masyarakat. "Semua hal ada risikonya, termasuk makan atau telepon seluler. Yang penting, masyarakat tahu risikonya dan mampu memitigasi risikonya," katanya.
Pengalaman masyarakat Jepang menunjukkan itu. Meski kondisi geologis Jepang rentan bencana seperti Indonesia, namun dengan pengetahuan dan tekad kuat, mereka mampu mengatasi berbagai persoalan yang terjadi hingga menjadikan Jepang salah satu negara dengan tingkat keselamatan nuklir tinggi di dunia.