Pengguna Harus Dimudahkan
JAKARTA, KOMPAS - Studi integrasi antara angkutan umum moda raya terpadu (MRT) dengan bus transjakarta yang tengah dilakukan Pemprov DKI harus memunculkan desain perjalanan warga yang lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah.
Studi integrasi yang dilakukan PT MRT Jakarta dan PT Transportasi Jakarta selaku operator kedua moda itu, akan berlangsung 2-3 bulan untuk mendapatkan rancangan integrasi yang saling melengkapi. Nota kesepahaman studi sudah ditandatangani Jumat lalu. Studi juga dilakukan di bawah pengawasan Pemprov DKI Jakarta.
Menurut rencana, MRT rute Lebak Bulus-Bundaran HI akan beroperasi Maret 2019. Rute ini berimpitan di sejumlah rute bus transjakarta, terutama Koridor 1 rute Blok M-Kota.
Yoga Adiwinarto, Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Minggu (25/11/2018), menjelaskan, integrasi penting supaya bisa memberikan fleksibilitas dan pilihan rute perjalanan bagi penumpang. Namun, integrasi itu, tidak boleh saling mematikan.
Ia menyontohkan, saat hujan deras dan jalan antara Monas-Blok M tidak lancar akibat banyaknya kendaraan pribadi di jalur transjakarta, penumpang dari Monas yang terburu-buru bisa turun di Halte Bundaran Hotel Indonesia atau Halte Tosari dan melanjutkan perjalanan dengan MRT hingga ke Blok M.
Namun, Yoga menggarisbawahi, penumpang yang ingin memakai bus transjakarta saja dari Kota ke Blok M juga harus tetap terwadahi. Artinya, tidak ada upaya mematikan koridor atau bahkan memodifikasi koridor.
Selain itu, penumpang tidak boleh dibuat susah. Yoga menyarankan harus ada integrasi fisik yang menghubungkan stasiun MRT dengan halte transjakarta.
Stasiun Bundaran Senayan, contohnya, bisa diintegrasikan dengan Halte Bundaran Senayan. Stasiun Istora bisa diintegrasikan dengan Halte GBK dan Halte Polda. Stasiun Bendungan Hilir dan Halte Bendungan Hilir; serta Stasiun Setiabudi dan Halte Setiabudi juga bisa terintegrasi. Stasiun Dukuh Atas dengan Halte Tosari; serta Stasiun Bundaran Hotel Indonesia dengan halte Bundaran Hotel Indonesia pun bisa.
Melihat konstruksi saat ini, penumpang dari stasiun MRT tidak dapat langsung masuk ke halte transjakarta. Penumpang harus berjalan kaki jauh lewat trotoar dan jembatan penyeberangan. Kalau demikian yang terjadi, ujar Yoga, penumpang berpotensi enggan berpindah dari MRT ke transjakarta atau sebaliknya, serta memilih memakai ojek daring.
ITDP menyarankan ada terowongan dari lantai loket stasiun MRT ke halte transjakarta di bagian median jalan.
Jefri (30), pengguna transjakarta, mengatakan, wacana memodifikasi Koridor 1 dengan menjadikan bus transjakarta di rute itu sebagai bus pengumpan, akan menyulitkan pengguna. Rute yang seharusnya bisa ditempuh dengan sekali naik bus, dengan adanya kebijakan ini, malah mengharuskan penumpang untuk transit.
“Itu akan merepotkan pengguna karena harus berpindah angkutan. Lagipula kalau pindah, berarti tarifnya dibayar dua kali? Apalagi kabarnya tarif MRT lebih mahal daripada transjakarta,” kata Jefri, Minggu di Halte Monas, Jakarta Pusat.
Menurut Jefri, meskipun terdapat kesamaan rute di beberapa titik, bus transjakarta dan MRT semestinya bisa tetap beroperasi di jalur masing-masing secara bersamaan. Dengan demikian, pengguna punya alternatif moda transportasi sesuai kebutuhan.
“Jika ingin menempuh jarak jauh dengan lebih cepat, penumpang bisa memilih MRT. Namun, jika kebutuhannya hanya antarhalte atau ingin praktis, penumpang bisa naik transjakarta,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Antonius Reynold, pengguna transjakarta yang tinggal di Glodok, Jakarta Barat. Menurut Antonius, rute pada Koridor 1 sejauh ini memudahkan mobilitasnya dalam urusan kerja dan kuliah.
Tiga kali dalam seminggu, Antonius menggunakan transjakarta untuk kepentingan kerja dan kuliah. Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Atmajaya Jakarta ini mengakses bus transjakarta dari Halte Glodok ke Halte Bendungan Hilir.
Menurut Antonius, wacana modifikasi Koridor 1 akan merepotkan bagi pengguna. Meskipun waktu tempuh diperkirakan lebih cepat, keharusan transit dari transjakarta ke MRT dianggap tidak praktis. Selain itu, faktor harga juga menjadi pertimbangan.
“Kalau saya ingin yang lebih praktis dan ekonomis saja, dengan menggunakan transjakarta pada Koridor 1 yang sekarang cuma sekali jalan dan harga murah,” ujarnya.
Integrasi pembayaran
Integrasi juga harus diikuti dengan kemudahan sistem pembayaran dan tarif terjangkau. Apabila penumpang memanfaatkan dua moda itu sekaligus dalam perjalanannya, maka ia cukup membayar tarif terjangkau, bukan masing-masing moda memiliki tarif sendiri.
Integrasi sistem pembayaran itu, lanjut Yoga, harus memudahkan penumpang. Ia menyontohkan kartu untuk MRT harus juga bisa dipakai di halte transjakarta, demikian sebaliknya.
Sigit Wijatmoko, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Jumat, mengatakan, integrasi MRT yang berbasis rel dan bus transjakarta yang berbasis jalan tidak boleh saling mematikan namun saling melengkapi.
Untuk sistem pembayaran dan tarif ini, menurut Sigit, Pemprov DKI masih mematangkan besaran tarif dan sistem. Akhir November 2018 ditargetkan besaran tarif dan sistem bisa diumumkan.
Integrasi kelembagaan
Integrasi lain yang menurut Yoga juga penting adalah integrasi kelembagaan. Lembaga itu akan mengatur target jumlah penumpang yang mesti bisa dilayani oleh setiap moda angkutan, serta mengatur sistem pembayaran.
"Jadi studi integrasi itu tidak boleh memunculkan desain atau skema yang mematikan. Namun memunculkan desain perjalanan yang lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah," jelas Yoga.
(Yola Sastra)