JAKARTA, KOMPAS - Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III yang ditutup pada Minggu (25/11/2018) meyakini, Pancasila sebagai sari pati dari nilai luhur bangsa Indonesia. Pancasila juga menjadi pemersatu serta dasar hidup berbangsa dan bernegara.
Kini, yang dibutuhkan adalah melakukan pemaknaan Pancasila yang tidak bersifat indoktrinasi sehingga bisa membuat Pancasila jadi ideologi lintas generasi bagi bangsa Indonesia.
Berlangsung di Jakarta sejak 23 November, Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia (MBI) III 2018 dihadiri tokoh dari beberapa daerah dengan latar belakang beragam, seperti akademisi, budayawan, sastrawan, dan tokoh agama. Mereka yang hadir antara lain Meutia Hatta, Putu Wijaya, Jean Couteau, Acil Bimbo, dan Sri-Edi Swasono.
Dalam acara ini, para peserta beradu gagasan dalam lima komisi, yakni kebudayaan, kebangsaan, ideologi, konstitusi, dan kenegaraan. Hasil dari komisi-komisi itu lalu dirumuskan oleh delapan tokoh menjadi rekomendasi yang dinamakan Deklarasi Pecenongan, mengambil nama daerah di Jakarta yang menjadi lokasi pertemuan.
Lima bidang yang dibahas itu diyakini saling terhubung. Ini karena MBI meyakini tidak ada kebangsaan tanpa kebudayaan, tidak ada ideologi tanpa bangsa, serta tidak ada konstitusi tanpa kebudayaan, kebangsaan, dan ideologi. Sementara itu, sistem dan tata kelola kenegaraan menjadi implementasi dari empat bidang yang disebut sebelumnya.
”Setelah ini akan dibentuk komisi strategis untuk merancang taktik dan strategi agar rekomendasi ini bisa didiseminasikan dan diinternalisasikan dengan baik ke semua kalangan, lalu bisa diimplementasikan,” kata budayawan Radhar Panca Dahana yang menjadi pemrakarsa MBI, kemarin, di Jakarta.
Selain perlu disebarkan, kata Radhar, rekomendasi yang menjadi semacam titik pijak bersama dan berisi nilai-nilai bangsa Indonesia itu juga perlu ”dioperasionalisasikan”. Oleh karena itu, para penggiat MBI perlu menjalin komunikasi dengan penyelenggara negara, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, komunitas kebudayaan, juga komunitas akademik.
”Caranya dengan memberdayakan teman-teman (MBI). Mereka antara lain agamawan dan akademisi yang suaranya didengar. Para artis juga terlibat di sini. Nanti mereka akan bicara dengan caranya sendiri, bagaimana membahasakan rekomendasi ini. Generasi milenial juga akan diikutsertakan,” kata Radhar.
Identitas
Terkait kebudayaan, MBI III merekomendasikan perlunya pranata baru yang melahirkan kembali identitas budaya Indonesia yang berbasis pada kebudayaan bahari. Kebudayaan Indonesia juga harus menjadi kebudayaan yang terus belajar. Dari aspek kebangsaan, disepakati bahwa yang menjadi identitas bangsa Indonesia ialah menghargai keberagaman, bergotong royong, dan inklusif. MBI III juga menilai perlu ada upaya bersama untuk merumuskan kembali nilai-nilai utama kebangsaan yang bersifat nondiskriminatif, punya sensitivitas jender, berorientasi kemajuan, serta adil bagi semua generasi.
Dari aspek ideologi, Pancasila diyakini sebagai sari pati dari nilai luhur bangsa Indonesia yang sudah ”selesai” sebagai ideologi formal. Namun, diperlukan pemaknaan Pancasila yang tidak bersifat indoktrinasi sehingga bisa membuat Pancasila menjadi ideologi lintas generasi bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, terkait konstitusi, MBI III merekomendasikan perubahan UUD 1945 dengan berdasarkan pada nilai demokrasi, pluralisme, kearifan lokal, serta mewadahi kemajuan ilmu dan teknologi. Namun, Pancasila tetap harus menjadi dasar hidup bernegara dan berbangsa.
MBI III juga mendorong sistem politik dan hukum dikembalikan pada jalur yang benar, sesuai dengan nilai yang ada dalam suasana kebatinan para pendiri bangsa. Dalam konteks itu, Pancasila harus dijadikan sebagai sumber tertinggi dan ukuran moralitas berbangsa. ”Pancasila jadi pengintegrasi pemikiran-pemikiran dan menyatukan satu dengan yang lain. Sebagai fungsi ideologis, semua tetap harus bersumber dari nilai Pancasila,” kata Marko Mahin, Ketua Komisi Ideologi MBI III.