Kemajuan Guru Tak Lepas dari Kebijakan Politik Pemerintah
Pendidikan yang berkualitas belum terwujud. Tanggung jawab ini seringkali dilimpahkan ke guru. Padahal, guru bergantung pada kebijakan pemerintah sejak perekrutan hingga pengembangan profesi.
JAKARTA, KOMPAS – Berbagai indikator pendidikan yang mencerminkan pencapaian hasil belajar siswa Indonesia di bidang akademik dan nonakademik hingga saat ini masih rendah. Kegagalan mewujudkan pendidikan berkualitas ini pun seringkali dengan mudahnya dilimpahkan pada guru yang memang berinteraksi langsung dengan siswa. Padahal, kiprah guru pun tak lepas dari dinamika politik negara yang juga berimbas pada kebijakan pendidikan.
Di bidang akademik, kompetensi kemampuan dasar siswa Indonesia di pendidikan dasar yang masuk wajib belajar 9 tahun, seperti tergambar di kemampuan membaca da matematika saat ini masih rendah. Jika mengacu pada penyusunan peta jalan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 tentang Pendidikan Berkualitas yang disiapkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pendidikan belum mampu mengantarkan anak muda bangsa yang berdaya saing.
Proporsi siswa kelas 4 SD yang mencapai standar kemampuan minimum dalam membaca di tahun 2016 berkisar 53,2 persen, sedangkan untuk siswa kelas 3 SMP di tahun 2015 baru 45 persen. Adapun proporsi kemampuan matematika di kelas 4 SD yang mencapai standar minimum hanya 22,9 persen, sedangkan di kelas 3 SMP berkisar 32 persen.
Di bidang nonakademik, pendidikan karakter masih jadi persoalan serius. Kondisi ini terlihat dari indeks integritas Ujian Nasional yang memotret integritas dalam pelaksanaan UN di sekolah menemukan, masih ada praktik curang dalam UN. Demikian pula, sikap intoleran siswa dan guru yang kental. Padahal, Indonesia dalam sejarahnya berdiri dari keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan.
Hasil survei Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah pada Oktober 2018 misalnya, menunjukkan kecenderungan guru berpikir intoleran. Padahal seharusnya guru sebagai jembatan perbedaan dan menghargai kemajemukan.
Sebanyak 2.237 guru dari 34 provinsi yang disurvei, mengajar berbagai mata pelajaran di sekolah umum dan madrasah dari jenjang TK- SMA/SMK, dan dari Raudhatul Athfal hingga Madrasah Aliyah. Sekitar 53,06 persen guru berpikiran intoleran, terlihat antara lain dari pendapat yang menolak jika ada tetangga berbeda agama mengadakan kegiatan rohani di lingkungan sekitar; tidak setuju pendirian sekolah dan rumah ibadah berbasis agama lain; serta memiliki atasan seperti kepala sekolah atau pengawas yang berbeda agama. Guru yang memiliki pemikiran toleran berkisar 32,99 persen dan sangat toleran sekitar 3,93 persen. (Kompas, 17/211/2018).
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi di Jakarta, Minggu (25/11/2018), mengatakan, paling mudah memang “menembak” guru sebagai penyebab berbagai kegagalan dalam pencapaian pendidikan. Padahal, guru pun sebagai obyek dari kebijakan pendidikan pemerintah yang tidak jelas dan strategis.
Paling mudah memang “menembak” guru sebagai penyebab berbagai kegagalan dalam pencapaian pendidikan. Padahal, guru pun sebagai obyek dari kebijakan pendidikan pemerintah yang tidak jelas dan strategis.
“Guru benar-benar bergantung pada kebijakan dari pemerintah. Mulai dari perekrutan guru baru hingga sampai pengembangan profesi, semuanya hasil kebijakan pemerintah. Karena guru selama ini lebih dijadikan sebagai birokrasi pemerintah, ya guru pun tak punya kemerdekaan dan kemandirian. Apapun tudingan pada guru, ini tetap jadi bahan refleksi bagi guru untuk memperbaiki diri. Kebijakan pemerintah pun harus mengacu pada pengembangan guru yang profesional, yang memerdekakan dan memartabatkan guru,” kata Unifah.
Pengawas SMA di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Mikael Maran, menemukan ada guru-guru yang merasa puas di zona nyaman, sudah menjadi pegawai negeri sipil dan menerima tunjangan profesi guru. Dorongan untuk meningkatkan diri dan optimal dalam melayani siswa ala kadarnya.
Namun, ada pula guru-guru yang sepenuh hati mendedikasikan dir bagi siswa di tengah keterbatasan. "Para guru perlu terus diajak untuk mendidik dengan hati. Karena itu, guru bukan hanya dibebani dengan kurikulum yang harus diselesaikan, namun dimampukan untuk terus beradaptasi dengan kekinian," ujar Mikael.
Pengembangan profesionalisme
Menurut Unifah, organisasi guru seperti PGRI menyadari masih belum kuatnya dalam pengembangan profesionalisme guru. Apalagi pendidikan kini juga tak lepas dari disrupsi revolusi industri 4.0. Peran guru pun perlu disesuaikan untuk menguasai pedagogi siber dengan berkembangnya pemanfaatan teknologi digital dalam pendidikan.
Unifah mengatakan, pembentukan smart learning and character center PGRI beberapa tahun ini, menjadi momentum untuk mendukung peningkatan kualitas guru. Kesenjangan kualitas guru perlu dipercepat dengan memanfaatkan teknologi digital dalam pembelajaran sehingga menjangkau guru hingga pelosok daerah.
“Guru punya keinginan yang kuat untuk belajar dan berubah. Hal ini terbukti dari pendaftaran guru yang selalu melebihi kuota jika ada pelatihan di daerah. Praktik baik dalam pembelajaran yang sudah ada, termasuk yang dikembangkan guru, bisa dibagikan dan disebarkan melalui teknologi sehingga lebih cepat dikuasai guru,” kata Unifah.
Guru punya keinginan yang kuat untuk belajar dan berubah. Hal ini terbukti dari pendaftaran guru yang selalu melebihi kuota jika ada pelatihan di daerah.
Pendirian asosiasi profesi dan keahlian sejenis juga diwadahi PGRI. Guru-guru mata pelajaran diwadahi dalam suatu ikatan guru agar bisa saling belajar dan berbagi untuk menjadikan guru yang adaptif terhadap tantangan pendidikan 4.0.
Perwujudan guru merdeka digagas Kampus Guru Cikal dalam wadah Komunitas Guru Belajar (KGB) yang berkembang di ratusan daerah. Sebab, guru diyakini mampu menggerakkan perubahan pendidikan karena guru sejatinya merupakan sosok berdaya.
Tiap KGB membuat kelompok diskusi berbasis media sosial seperti WhatApps (WA). Di sinilah mereka bisa berbagi dan menggali pengetahuan dan pengalaman di antara sesama guru untuk mengatasi masalah pembelajaran yang mereka hadapi. Ada kesempatan pula untuk mengundang narasumber di bidang pendidikan dalam diskusi di WA sehingga guru di mana pun punya kesempatan yang sama mendapatkan wawasan baru untuk membantu peran mereka sebagai pendidik.
Pendiri Kampus Guru Cikal Najelaa Shihab mengatakan, banyak guru yang sesungguhnya memiliki praktik baik dalam pembelajaran. Dengan mendorong sesama guru lintas jenjang, mata pelajaran, dan daerah, tergabung dalam KGB di daerah, terbukti para guru bisa saling berbagi dan mendukung.
“Guru tak hanya butuh disentuh kompetensinya. Justru, dengan mendorong guru untuk tahu dan punya tujuan dalam pendidikan, mereka mampu menjadi sosok inspiratif yang menggerakkan perubahan, mulai dalam kelas masing-masing. Karena itu, kita dorong guru merdeka belajar yang dimulai dari guru yang punya tujuan tidak sekadar menuntaskan kurikulum, namun yang memiliki kemampuan untuk melihat potensi anak dan membantu tiap anak berkembang,” kata Najelaa.
Dengan mendorong guru untuk tahu dan punya tujuan dalam pendidikan, mereka mampu menjadi sosok inspiratif yang menggerakkan perubahan, mulai dalam kelas masing-masing.
Tiap tahun selama lima tahun terakhir, ribuan guru menghadiri Temu Pendidik Nusantara. Ajang ini sebagai puncak untuk merayakan pencapaian guru dalam KGB, agar mereka bisa saling berbagi. Para guru mendapatkan pula inspirasi dari berbagai tokoh pemimpin dan pengusaha agar mereka semakin terpacu berkarya menjadi guru yang terbaik bagi negeri ini.
Guru SD Kristen Citra Bangsa Kupang, NTT, Cici Mada, mengatakan guru tidak boleh berhenti untuk meningkatkan diri. Sebab, untuk menjadi pendidik yang baik dibutuhkan adanya panggilan jiwa sekaligus kompetensi yang baik.
"Pengembangan diri guru memang utamanya bergantung dari diri guru. Namun, guru juga butuh diberikan dukungan dan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan. Informasi adanya pelatihan dari pemerintah dirasa masih minim," ujar Cici.