Perempuan dalam Pusaran Pilpres
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2F20181119_JOKOWI_E_web_1542619171.jpg)
Peserta berebut berfoto bersama dengan Presiden Joko Widodo seusai pembukaan Muktamar XXI Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Senin (19/11/2018). Salah satu perempuan peserta muktamar mengajak Presiden untuk berswafoto. (Ilustrasi)
Pemilih perempuan yang mencapai lebih dari separuh total jumlah pemilih pada Pemilihan Umum 2019 menjadi basis elektoral yang strategis bagi kedua calon presiden-wakil presiden. Namun, janji pemberdayaan dan jaminan perlindungan hak perempuan masih sebatas retorika. Komitmen kedua pasangan calon dinanti lewat program dan rencana kebijakan konkret yang secara langsung menyasar perempuan.
Masa kampanye Pemilihan Umum 2019 sudah berlangsung selama hampir satu bulan. Selama itu pula, retorika dan janji-janji kampanye kerap mengatasnamakan perempuan, melalui istilah ”emak-emak” oleh Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan ”ibu bangsa” oleh Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Upaya tim kampanye kedua pasangan calon untuk menarik perhatian kaum perempuan ini beralasan. Sebab, berdasarkan data daftar pemilih tetap hasil perubahan kedua (DPTHP II) oleh Komisi Pemilihan Umum, pemilih perempuan jumlahnya mencapai lebih dari separuh total data daftar pemilih dari 28 provinsi yang terkumpul, yakni 70.825.549 orang dari total 141.412.533 pemilih.
Tim kampanye dari kedua pasangan capres-cawapres mengakui kelompok pemilih perempuan memang dijadikan fokus utama. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sampai membentuk direktorat khusus untuk menangani isu-isu dan pemilih perempuan. Kendati demikian, kampanye dari kedua calon belum menyentuh program konkret pemberdayaan dan perlindungan hak-hak perempuan secara langsung.
Ketua Cakra Wikara Indonesia Anna Margret di Jakarta, Minggu (18/11/2018), mengatakan, kampanye yang menyasar perempuan sejauh ini lebih banyak menyangkut hal-hal praktis, seperti isu harga kebutuhan bahan pokok dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Hal ini, misalnya, tampak dari narasi yang dibangun dan disampaikan oleh pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Anna mengatakan, tidak ada yang salah dengan pengangkatan isu tersebut. ”Hal itu juga penting untuk perempuan, bahkan masyarakat umum. Namun, isu itu lebih untuk memenuhi kepentingan praktis, tidak mengandung muatan upaya mengoreksi ketimpangan relasi perempuan dan laki-laki dan menjamin hak-hak perempuan dalam jangka panjang,” kata Anna.
Dalam naskah visi-misi dan program kerja Prabowo-Sandi, isu perempuan dibahas dalam kaitannya dengan isu kesehatan, yaitu kesehatan reproduksi dan angka kematian ibu (Kompas, 18/10/2018). Sementara itu, dalam dokumen visi-misinya, Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencantumkan janji terkait dengan pemberdayaan perempuan, menciptakan kesetaraan jender, membuka akses dan keterlibatan perempuan.
"Dokumen visi dan misi masih abstrak. Belum ada program aksi yang menunjukkan komitmen jelas untuk menjamin perlindungan hak-hak perempuan," kata Anna.
Sementara itu, berbagai kasus kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan terus terjadi. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2017, sekitar 76 persen kekerasan perempuan berkaitan dengan kekerasan seksual. Tiga perkara yang paling banyak dilaporkan adalah pencabulan (911 kasus), pelecehan seksual (704 kasus), dan pemerkosaan (699 kasus). Pelecehan seksual itu beragam bentuknya, baik verbal maupun nonverbal.
Kasus terakhir, pelecehan seksual terhadap Baiq Nuril Makmun, yang berbalik menjadikannya sebagai pihak bersalah, menunjukkan sistem penegakan hukum dan kerangka berpikir aparatur hukum di Indonesia belum mampu memberikan keadilan bagi korban pelecehan seksual.

Terpidana kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Baiq Nuril Maknun (kedua dari kiri) menandatangani surat perlindungan saksi disaksikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo (kiri) dan anggota MPR Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka (ketiga dari kiri) seusai menjadi narasumber pada diskusi empat pilar MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/11/2018). Diskusi itu membahas tema ”Perlindungan Perempuan dari Ancaman Kekerasan Seksual”.
Baiq, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, menjadi korban pelecehan seksual oleh kepala sekolah tempat dirinya bekerja. Baiq kerap menerima telepon yang bernada melecehkan dari kepala sekolah itu. Hingga akhirnya Baiq memutuskan untuk merekam salah satu isi percakapan teleponnya.
Tak lama berselang, rekaman tersebut disampaikan oleh rekan Baiq ke Dinas Pendidikan Kota Mataram yang berujung kepala sekolah tersebut dipindahkan. Akibat hal itu, Baiq justru dilaporkan ke polisi atas dugaan melanggar Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pada 26 September 2018, Baiq diputus tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram dan lepas dari tuduhan. Akan tetapi, Mahkamah Agung membatalkan putusan itu dan menjatuhkan hukuman penjara 6 bulan karena Baiq dinilai terbukti sengaja menyebarkan rekaman yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Bestha Inatsan Ashila, menilai, hakim di tingkat kasasi tidak cermat. Hakim tidak mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dalam peraturan itu, hakim diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan fakta persidangan terkait dengan adanya ketidaksetaraan status sosial di masyarakat yang mengakibatkan adanya ketimpangan jender. ”Hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan adanya relasi kuasa antara para pihak yang beperkara yang mengakibatkan perempuan tidak berdaya,” tutur Bestha.
RUU PKS
Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu berharap, DPR dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Melalui regulasi yang tepat, diharapkan ada penanganan yang sesuai untuk menjawab kebutuhan para korban kekerasan dan pelecehan seksual serta mencegah tindakan itu berulang.
RUU PKS sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional sejak 2016, tetapi sampai sekarang belum rampung dibahas oleh Panitia Kerja Komisi VIII DPR dan pemerintah. RUU itu terus diperpanjang masa pembahasannya hingga melebihi lima kali masa sidang.
Jaminan kelanjutan pembahasan RUU PKS ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam dokumen visi-misi kedua pasangan calon. Namun, pasangan Jokowi-Ma’ruf mencantumkan janji untuk meninjau, merevisi, dan menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan terhadap anak dan perempuan.
Saat ditanyakan di sela acara deklarasi kelompok sukarelawan Perempuan Tangguh Pilih Jokowi-Ma’ruf (Pertiwi), Sabtu, Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Erick Tohir tidak banyak menjabarkan program-program terkait dengan pemberdayaan dan perlindungan hak perempuan.
Ia mengatakan, secara detail, program kerja secara keseluruhan baru akan disampaikan di forum debat antar-capres-cawapres, mulai Januari 2019. Program kerja itu, menurut dia, adalah strategi yang tidak bisa dibuka sebelum waktunya.
”Kalau dibuka sekarang, bukan strategi pemenangan namanya. Apa yang dilakukan selama pemerintahan ini sudah bisa terlihat, tetapi nanti, di Nawacita II, itu akan dibedah dan lebih tampak saat debat, dan debat itu masih lama,” kata Erick.
Dalam visi dan misinya, Jokowi-Ma’ruf mencantumkan sejumlah program aksi lain untuk perlindungan hak perempuan. Beberapa di antaranya memperkuat perlindungan pada perempuan serta memperkuat koordinasi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Erick mengatakan, Jokowi-Ma’ruf ingin mengembangkan ekonomi rumah tangga, yang semakin ditopang oleh kehadiran perempuan. ”Kalau kita lihat di pasar-pasar, banyak ibu yang berjualan, industri kreatif juga banyak didominasi ibu-ibu. Ini yang harus dikembangkan, bagaimana beban dari para perempuan harus didukung,” katanya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2F20181011jum-sandiaga-ke-banjarmasin-1_1541857219.jpg)
Calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Salahuddin Uno, menyalami pedagang di Pasar Terapung, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (10/11/2018).
Sementara itu, Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, semua segmen akan didekati, termasuk pemilih perempuan. Penggunaan kata ”emak-emak” oleh Prabowo, Sandi, dan tim merupakan bagian dari strategi pendekatan tersebut. Tak hanya itu, penggunaan kata tersebut juga simbol dari keberpihakan Prabowo-Sandi kepada perempuan.
Lebih lanjut, untuk meyakinkan pemilih perempuan memilih Prabowo-Sandi, sejumlah program pun telah disiapkan. ”Program-program kami dipersiapkan untuk memuliakan ’Rahim Perempuan’,” kata Dahnil.
Ia menjelaskan, program yang ditawarkan sifatnya jangka panjang. Misalnya, Gerakan Emas (emak dan anak minum susu) untuk mencegah meluasnya stunting growth (gangguan pertumbuhan) yang saat ini dialami lebih dari 35 persen anak Indonesia.
”Kita bisa kehilangan potensi anak-anak cerdas di masa depan. Maka, kami mulai dari akar masalahnya, yakni pendidikan dan kesadaran kesehatan mulai dari ibu atau emak dan sejak dini,” ujarnya.
Selain itu, mendorong program ekonomi melalui OK-OCE yang dimodifikasi melalui integrasi KUD (koperasi unit desa) dan usaha kreatif yang bisa meningkatkan nilai tambah pertanian di desa, yang sasaran utamanya adalah perempuan.