Disrupsi Digital Pangkas Tenaga Kerja Industri Besar
JAKARTA, KOMPAS - Transformasi teknologi digital yang dilakukan industri besar sektor manufaktur masih tidak sejalan dengan peningkatan kompetensi tenaga kerja. Sebagai akibat, pekerja dengan kompetensi yang tidak sesuai secara perlahan terpangkas. Kondisi itu membuat para pekerja yang telah keluar beralih ke sektor informal.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan penelitian kualitatif terkait kesempatan kerja dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) di era digital pada 2018. Salah satu objek studi kasus adalah sebuah perusahaan garmen dan tekstil di Bandung, Jawa Barat.
Peneliti Pusat Penelitian (P2) Kependudukan LIPI Devi Asiati dalam seminar hasil penelitian di Jakarta, Jumat (23/11/2018), mengatakan, perusahaan tidak memberikan pelatihan kepada pekerja karena membutuhkan biaya besar. “Kesempatan pekerja semakin kecil karena tidak semua bisa masuk ke teknologi digital” tuturnya.
Data yang diperoleh LIPI dari Serikat Pekerja perusahaan garment itu menyebutkan, kebutuhan pekerja terus menyusut sejak teknologi digital diterapkan dalam perusahaan. Perusahaan biasanya membutuhkan 300 pekerja per giliran (shift). Otomatisasi membuat jumlah pekerja yang dibutuhkan hanya setengahnya, yakni 150 pekerja per giliran.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyebutkan, sepanjang 2017, sebanyak 9.822 tenaga kerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK terbanyak berasal dari sektor industri manufaktur dan kimia dasar sebesar 5.107 orang serta perdagangan, jasa, dan investasi sebesar 1.082 orang.
Devi melanjutkan, studi juga menemukan sejumlah strategi perusahaan untuk mengurangi tenaga kerja. Salah satunya adalah perusahaan merotasi pekerja pada divisi yang bukan menjadi keahliannya tanpa pelatihan. Pekerja tertekan secara psikologis sehingga mengundurkan diri.
Beralih
Studi tersebut juga menemukan, pekerja yang mengalami PHK beralih ke sektor informal. Beberapa diketahui masuk ke sektor jasa informal seperti berdagang aksesoris dan gantungan kunci serta menjadi tukang ojek.
Kepala Pusat Perencanaan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemnaker, Agus Triyanto mengatakan, pemerintah melalui Balai Latihan Kerja (BLK) memiliki program 3R, yaitu reorientasi, revitalisasi, dan rebranding agar keterampilan pekerja sesuai dengan kebutuhan industri saat ini.
Hanya saja, tuturnya, BLK daerah masih sulit untuk beradaptasi dengan program pemerintah pusat akibat terbentur otonomi daerah. BLK daerah pun masih kesulitan untuk menerapkan 3R dari segi ketersediaan SDM, fasilitas, dan anggaran.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, kesesuaian keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri masih menjadi masalah pada pekerja di bawah level manajer.
“Untuk industri makanan dan minuman, terdapat lebih dari empat juta pekerja. Itu bagaimana pelatihannya,” kata Adhi. Pemerintah sebelumnya menjanjikan insentif kepada pengusaha yang memberikan pelatihan untuk menyambut revolusi industri 4.0. Tetapi, masih belum diketahui jenis insentif apa yang akan diberikan.
Pengusaha makanan dan minuman telah menggandeng perusahaan teknologi seperti Siemens dan Schneider untuk memberikan pelatihan. Namun, pelatihan baru diberikan kepada pekerja level manajer.
Proyeksi
Agus Triyanto mengatakan, Kemenaker telah membuat proyeksi kebutuhan pasar kerja selama 2017-2030 pada 2017. Proyeksi tersebut membagi perubahan jenis pekerjaan selama tiga periode. Periode tersebut hanya digolongkan berdasarkan waktu, bukan jenis pekerjaan, karena jenis pekerjaan yang berubah sangat bervariasi.
Pada periode 2017-2020, pemerintah memproyeksikan kebutuhan pekerja, seperti perawat, manajer keuangan, pengacara, agen penjualan, analis, terapis fisiologis, penasihat keuangan, dan programer akan bertumbuh. Profesi seperti manajer administrasi, mekanik, pengantar surat, petugas ekspedisi, pekerja pabrik, dan operator mesin akan terus turun.
Pekerjaan seperti analis data, manajer sistem informasi, konselor vokasi, dan analis dampak lingkungan akan semakin dibutuhkan pada periode 2021-2025. Sedangkan pada 2026-2030, pekerja yang akan semakin dicari adalah programer kecerdasan buatan, perancang dan pengendali mesin otomasi, perancang perangkat lunak, serta perancang gim daring.
Berisiko tergerus
Pada Juli 2016, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah merilis laporan riset ASEAN In Transformation: The Future of Jobs at Risk of Automation. Kantor Regional ILO di Asia dan Pasifik meneliti tren teknologi di kawasan ASEAN dan bagaimana pengaruhnya ke perusahaan dan pekerja di otomotif dan suku cadang mobil, listrik dan elektronik, proses bisnis alih daya, tekstil, pakaian dan alas kaki, serta ritel. Bersamaan dengan studi sektoral yang mendalam ini, ILO mengumpulkan 4.076 responden dari perusahaan-perusahaan ASEAN sektor manufaktur dan jasa.
ILO juga meminta tanggapan dari 2.747 universitas dan siswa pendidikan kejuruan teknis dan pelatihan. Terakhir, ILO mewawancara 50 orang pemangku kepentingan di enam negara utama ASEAN, antara lain Indonesia, Vietnam, dan Thailand.
Mengutip laporan itu, National Program Officer ILO Jakarta, Lusiani Julia yang dihubungi Kompas, Jumat (23/11/2018), di Jakarta, menjelaskan 56 persen bidang pekerjaan memiliki risiko tinggi terkikis oleh hadirnya otomatisasi. Pekerja Indonesia berketerampilan rendah dan menengah akan rentan tergerus di era revolusi industri 4.0.
Sejumlah pekerjaan memiliki probabilitas komputerisasi yang tinggi. Di Kamboja, hampir setengah juta operator mesin jahit diperkirakan menghadapi risiko otomasi sebesar 89 persen. Di Indonesia, pekerjaan tukang kebun, penjual toko, dan penjahit diprediksi terkena otomatisasi.
Di Filipina, yang memiliki pangsa pekerjaan pertanian dan manufaktur terendah di antara ASEAN-5, buruh perikanan, pelayan, tukang kayu, pembersih kantor, menghadapi potensi otomatisasi yang tinggi. . Di Thailand, risiko otomasi sangat akut untuk asisten penjualan toko, petugas layanan makanan, juru masak, dan pegawai kantor gabungan dan rekan profesional akuntansi.
Selain dari sisi pekerja, laporan itu juga menyorot dampak era revolusi industri 4.0 kepada perusahaan. Dia mengungkapkan, otomatisasi mendorong pemakaian listrik lebih besar. Sementara di Indonesia sendiri, tarif listrik untuk industri belum murah.
"Ketika perusahaan memutuskan bertransformasi digital, mereka membutuhkan belanja modal besar. Bagi perusahaan skala besar, akses ataupun kecukupan modal tidak menjadi persoalan. Akan tetapi, bagi perusahaan skala kecil menengah akan kesulitan," ujarnya.
Perebutan talenta
ILO menyarankan Indonesia untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja. Strategi jangka panjang diperlukan, baik menyangkut perbaikan kurikulum pendidikan, skema pelatihan, maupun pemagangan. Terkait kurikulum pendidikan, laporan riset ILO menemukan bidang keilmuan, seperti teknologi, matematika, dan sains, belum jamak di Indonesia. Bidang-bidang inipun banyak digeluti lelaki, bukan perempuan.
Antonio Mazza, Manager for Tech Sector Roles, Robert Walters Indonesia (agen konsultan dan perekrutan tenaga kerja profesional), tren teknologi digital di Indonesia menyebabkan aktivitas perekrutan lebih menyasar ke kategori senior level tech talent dan tenaga pemasaran yang memiliki pengalaman ataupun keahlian di bidang digital. Namun, tingginya permintaan dua bidang ini tidak diimbangi dengan suplai pasar.
Sebagai gambaran, ada sepuluh tawaran pekerjaan untuk kandidat di sektor teknologi, tetapi hanya tiga atau empat kandidat tersedia. Situasi ini bisa dimaklumi karena teknologi digital adalah hal baru bagi Indonesia.
"Potensi tenaga kerja Indonesia di luar negeri dapat membantu mengatasi kesenjangan ini. Kini mereka menjadi incaran karena ketrampilan mereka sudah terasah, kecakapan berbahasa asing, punya pengetahuan, serta mampu terhubung dengan kultur budaya Indonesia," tutur dia.
Dari sisi gaji, Antonio mengemukakan, Indonesia belum mempunyai standar kisaran remunerasi untuk bidang pekerjaan tertentu. Ini memperburuk kondisi kesenjangan talenta bidang teknologi digital.
"Perebutan talenta terjadi. Salah satunya menggunakan senjata \'remunerasi\' lebih tinggi dari tempat lain. Di sepanjang tahun 2018, kenaikan gaji talenta di sektor teknologi jika seseorang berpindah perusahaan hingga 30 persen. Persentase kenaikan seperti ini kami nilai tertinggi," tambah Antonio.
Kualitas pengembangan persoalan tenaga kerja secara nasional belum maksimal. Hal itu terlihat dari Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan pada 2018 sebesar 60,81. Kendati naik dari 2017 yang sebesar 56,07, nilai itu masih termasuk dalam menengah bawah.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Khairul Anwar menjelaskan, tren digital melahirkan banyak kesempatan kerja, tetapi kebanyakan bersifat informal dan belum berbadan hukum resmi. Kesejahteraan pekerja yang diukur dari nilai upah memang turut naik,” katanya. Namun, kehadiran teknologi digital memunculkan bentuk hubungan industrial baru, seperti kemitraan, yang belum terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Indra Munaswar berpendapat, kecemasan yang dihadapi pekerja sekarang adalah revolusi industri keempat mengubah industri padat karya menjadi padat modal. Kecemasan ini tampaknya kurang menjadi perhatian pemerintah.
Hubungan industrial baru bermunculan. Sebagai contoh, kemitraan. Menurut dia, pemerintah semestinya berani membongkar praktik kemitraan yang sejatinya tidak ada kesetaraan hak dan kewajiban.
"Kunci konsep kemitraan adalah kesetaraan. Pada kenyataannya, seperti hubungan pengemudi ojek aplikasi dengan pemilik platform, tidak begitu. Tidak ada keseimbangan hubungan industrial," tutur dia.