JAKARTA, KOMPAS — Jabatan fungsional kurang diminati oleh aparatur sipil negara atau ASN karena memerlukan spesifikasi keterampilan dan keahlian serta latar belakang pendidikan tertentu. Hal itu berpengaruh pada kesenjangan persebaran ASN sehingga pelayanan publik menjangkau daerah tertinggal, terdepan, dan terluar terkendala.
Per Maret 2017, komposisi ASN (non-guru dan kesehatan) menunjukkan sebanyak 38 persen (1,6 juta) menjadi pelaksana administrasi umum dan 9,9 persen (434.000) menduduki jabatan struktural, sedangkan jabatan fungsional sebesar 8,57 persen (372.000).
Kepala Pusat Kajian Reformasi Administrasi Lembaga Administrasi Negara (LAN) Haris Faozan, Rabu (21/11/2018), di Jakarta, mengatakan, jabatan fungsional tersebar merata dan jumlahnya banyak. Namun, minat ASN masih rendah sehingga lebih banyak yang mengisi posisi administrasi ataupun struktural. Hal tersebut berdampak pada sulitnya layanan masyarakat di pelosok.
”Sebagian besar memilih mengerjakan administrasi meskipun ada kekurangan jumlah fungsional dalam pelayanan. Daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) kesulitan memenuhi jumlah ASN, sedangkan perkotaan kelebihan, bahkan menumpuk,” tutur Haris dalam Seminar Nasional Kebijakan Redistribusi Aparatur Sipil Negara: Isu dan Resolusi Strategi.
Haris menjelaskan, rendahnya minat ASN pada jabatan fungsional disebabkan beberapa hal, yaitu minimnya informasi tentang jabatan, tunjangan yang tidak menarik (kecil), latar belakang pendidikan yang tidak sesuai, serta spesifikasi keterampilan dan keahlian yang kurang memadai.
Rendahnya minat ASN pada jabatan fungsional disebabkan beberapa hal, yaitu minimnya informasi tentang jabatan, tunjangan yang tidak menarik (kecil), latar belakang pendidikan yang tidak sesuai, serta spesifikasi keterampilan dan keahlian yang kurang memadai.
Selain itu, minat melanjutkan pendidikan relatif rendah, ketidaksesuaian penempatan dengan formasi yang dibutuhkan, keterbatasan anggaran untuk pendidikan dan pelatihan, serta setiap daerah yang memiliki karakteristik berbeda.
”Cara yang dapat dilakukan tentunya dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM). Akan tetapi, perlu juga sosialisasi jabatan, pemberian insentif yang mendorong minat, rotasi area kerja dan tugas yang sesuai dengan latar belakang ataupun keterampilan dan keahlian,” katanya.
Penyaluran ASN
Per Maret 2017, dari total 4,35 juta ASN yang dimiliki, sebanyak 1,3 juta berada di Pulau Jawa. Berdasarkan kajian LAN di 18 provinsi, ditemukan penumpukan ASN pada daerah perkotaan, seperti Bima di NTB dan Tomohon di Sulawesi Utara, sedangkan daerah Musi Rawas Utara di Sumatera Selatan dan Nduga di Papua sangat kekurangan.
Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, untuk penyaluran ASN, perlu memangkas birokrasi dengan menyesuaikan karakteristik atau potensi daerah. Selain itu, juga memperhitungkan rencana strategis (renstra) satuan kerja perangkat daerah.
”Mengurangi jabatan yang tidak diperlukan untuk perampingan dan efisiensi organisasi. Tentunya jumlah fungsional akan bertambah. Staf dan kepala bidang yang tidak diperlukan dipangkas. Fokus pada renstra dan potensi daerah,” ucapnya.
Setiawan menjelaskan, pembangunan daerah harus diimbangi pula dengan pembangunan SDM. Penyaluran ASN antarwilayah, instansi, dan lembaga akan mempertimbangkan kebutuhan dan insentif yang sesuai.
Rekomendasi LAN berdasarkan kajian tersebut, penyaluran ASN akan dibuat berdasarkan zona sesuai dengan potensi daerah. Zona dibuat berdasarkan indeks potensi daerah, seperti ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan serta infrastruktur ekonomi dan hiburan. Juga akan memaksimalkan potensi daerah sehingga tidak terjadi penumpukan karena tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
”Perlu kesetaraan dalam kesejahteraan dengan mempertimbangkan zona tersebut, beban kerja, kelas jabatan, ataupun evaluasi jabatan,” ujarnya. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)