BANDUNG, KOMPAS — Buruh dari sejumlah serikat pekerja akan menggugat Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jabar Tahun 2019. Kenaikan upah dinilai terlalu rendah dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hanya upah minimum kabupaten/kota (UMK) Pangandaran yang naik sebesar 10 persen menjadi Rp 1,7 juta. Sementara kenaikan UMK di 26 kabupaten/kota lainnya sebesar 8,03 persen sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan.
”Penetapan UMK 2019 sangat mengecewakan buruh. Kami akan ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada awal Desember mendatang,” ujar Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jabar Roy Jinto di Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (21/11/2018).
Penetapan UMK 2019 sangat mengecewakan buruh. Kami akan ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada awal Desember mendatang.
Selain gugatan, buruh juga akan terus berdemonstrasi agar Pemprov Jabar menunda pemberlakuan penetapan upah 2019 tersebut. Mereka meminta pemerintah secara obyektif menghitung kebutuhan hidup layak buruh sebagai pertimbangan menentukan kenaikan upah sesuai UU No 13/2003.
Sebelum UMK 2019 ditetapkan, ribuan buruh berdemonstrasi di Gedung Sate menuntut Pemprov Jabar mengabaikan PP No 78/2015 dalam menentukan kenaikan upah, Senin (19/11). Saat itu, sejumlah perwakilan buruh menyampaikan langsung aspirasi mereka kepada Gubernur Jabar Ridwan Kamil.
Buruh menuntut kenaikan upah 20 persen. Mereka juga meminta Kamil mengikuti langkah Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang menaikkan UMK di 22 kabupaten/kota di atas 8,03 persen. Bahkan, ada yang mencapai 24 persen.
Saat itu, Kamil berjanji akan mengkaji aspirasi buruh tersebut. ”Keputusan gubernur dalam menetapkan upah tidak sesuai harapan. Padahal, sebelumnya dia berjanji akan melihat apa yang ditetapkan di Jatim,” ujarnya.
Pada SK penetapan UMK di Jabar 2019, terdapat tiga kabupaten/kota dengan UMK di atas Rp 4 juta. Daerah tersebut adalah Kabupaten Karawang sebesar Rp 4,23 juta, Kota Bekasi Rp 4,22 juta, dan Kabupaten Bekasi sebesar Rp 4,14 juta.
Sementara itu, UMK di enam kabupaten/kota masih di bawah Rp 2 juta. Keenam daerah itu adalah Kabupaten Garut dengan UMK Rp 1,8 juta, Kabupaten Majalengka Rp 1,79 juta, Kabupaten Kuningan Rp 1,73 juta, Kabupaten Ciamis Rp 1,73 juta, Kabupaten Pangandaran Rp 1,71 juta, dan Kota Banjar Rp 1,68 juta.
Menurut Roy, disparitas UMK tertinggi dan terendah di Jabar cukup besar karena lebih dari dua kali lipat. Hal itu dianggap dapat memicu kesenjangan ekonomi di antara buruh.
Koordinator Aliansi Buruh Jabar Ajat Sudarajat mengatakan, kenaikan UMK 2019 sebesar 8,03 persen tidak sesuai dengan tingginya biaya kebutuhan hidup karena harga kebutuhan pokok dan keperluan lain yang terus melambung. Dia berharap Pemprov Jabar mengkaji ulang keputusan tersebut dan melihat langsung kehidupan buruh yang semakin susah.
”Kami akan menggalang kekuatan lebih besar untuk menentang penetapan upah ini. Buruh butuh kenaikan upah lebih besar agar bisa hidup sejahtera,” ujarnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Ferry Sofwan mengatakan, UMK 2019 ditetapkan berdasarkan PP No 78/2015 dengan kenaikan 8,03 persen. Pihaknya juga mempertimbangkan rekomendasi Dewan Pengupahan yang di dalamnya terdapat unsur serikat pekerja dan pengusaha.
Ferry mengatakan, pengecualian UMK Pangandaran yang naik 10 persen berdasarkan diskresi Gubernur Jabar Ridwan Kamil. ”Pangandaran akan menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Jadi, harus mempunyai daya tarik, termasuk dalam hal upah,” ujarnya.
Sebelumnya, Kamil mengatakan, pihaknya harus mempertimbangkan banyak aspek dalam menentukan kenaikan upah. Salah satunya keberlangsungan investasi di provinsi tersebut.
”Sudah banyak perusahaan di Jabar pindah ke Jawa Tengah karena faktor upah di sana lebih rendah. Kalau nanti pengangguran semakin tinggi, siapa yang tanggung jawab? Jadi, Jabar juga sedang ’lampu kuning’ terkait pengupahan,” ujarnya.