SANA’A, SELASA — Berbalut kulit dan tulang, Ghazi Saleh (10) tergeletak di tempat tidur rumah sakit di Taez, Yaman barat daya. Ia nyaris tidak bernapas. Beratnya hanya 8 kilogram. Karena kelaparan dan terlalu lemah untuk bergerak atau bahkan menangis, Ghazi hanya bisa melihat ke bawah, ke tubuhnya yang kurus. Ia berjuang untuk menjaga matanya tetap terbuka.
Itulah kondisi yang umum ditemui di Yaman saat-saat ini. Sekitar 14 juta warga Yaman berisiko menderita kelaparan dalam kurun waktu lebih dari empat tahun di negara mereka yang karut-marut akibat perang. Lembaga amal Save the Children mengatakan, 85.000 anak-anak di bawah usia lima tahun mungkin telah meninggal karena kekurangan gizi akut sejak perang saudara di Yaman dimulai.
Di Rumah Sakit Al-Mudhafar tempat Ghazi dirawat, petugas medis pergi dari satu tempat tidur ke tempat tidur lain untuk memeriksa anak-anak yang kekurangan gizi, termasuk bayi-bayi. Eman Ali, seorang perawat di rumah sakit, mengatakan bahwa Ghazi menderita kekurangan gizi akut.
”Dia tidak makan dengan benar selama beberapa waktu dan dia akhirnya mencapai situasi ini,” kata Ali.
Kasus-kasus anak-anak yang kekurangan gizi telah menjadi cerminan dari sistem kesehatan di Yaman. Anak-anak di negara itu menanggung beban perang antara pasukan pemerintah yang didukung Arab Saudi dan pemberontak Houthi yang beraliansi dengan Iran. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berharap pembicaraan perdamaian akan berlangsung di Swedia pada akhir tahun ini, situasi di lapangan tetap mengerikan dengan jutaan anak-anak menderita kelaparan.
”Kami menerima kasus seperti itu setiap hari dan beberapa di antaranya sangat mengerikan,” kata Sona Othman, Kepala Nutrisi di Rumah Sakit Al-Mudhafar. ”Kasus Ghazi sangat buruk dan ini mencerminkan situasi kesehatan negara yang memburuk.”
Perang telah menyebabkan sekitar 10.000 orang tewas sejak 2015 dan memicu apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Menurut badan anak-anak PBB, UNICEF, lebih dari setengah dari 14 juta orang yang mengalami kelaparan adalah anak-anak. Fatima Salman, yang bayinya mengalami kondisi kurang gizi, mengatakan bahwa dirinya merasa semakin putus asa di tengah lamanya konflik yang berkecamuk.
”Suami saya punya pekerjaan sebelum perang dan dia mendapat cukup uang untuk memberi kami makan, tetapi sekarang tidak ada apa-apa,” katanya kepada kantor berita AFP. ”Kami ingin perang ini berakhir, tetapi kami hanya melihatnya semakin memburuk.”
Lebih dari 22 juta orang—tiga perempat dari populasi—di Yaman sekarang bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Yaman yang berjuang untuk bertahan hidup dengan kondisi seperti itu juga dihadapkan pada ekonomi yang ambruk, menyebabkan para pegawai pemerintah dan guru tanpa bayaran selama berbulan-bulan.
UNICEF memperkirakan bahwa sekitar 4,5 juta anak di Yaman berisiko kehilangan akses ke sekolah-sekolah negeri karena gaji para guru belum dibayar dalam kurun waktu hampir dua tahun. Lebih dari 2.500 sekolah telah rusak atau hancur, sementara sekolah-sekolah yang lain sekarang digunakan sebagai tempat penampungan bagi orang-orang yang telantar atau sebagai markas yang dikelola oleh kelompok-kelompok milisi bersenjata.
Perang telah menyebabkan sekitar 10.000 orang tewas sejak 2015 dan memicu apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Namun, kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlah korban tewas yang sebenarnya mungkin lima kali lebih tinggi.
Perang Yaman juga telah menempatkan anak-anak di negara itu pada aneka risiko tertentu. Menurut UNICEF, lebih dari 40 persen anak perempuan Yaman menikah sebelum usia 15 tahun dan sepertiga lainnya menikah pada umur 18 tahun. Sementara anak laki-laki berisiko ditarik langsung ke dalam konflik untuk bertempur sebagai tentara anak-anak.