Perlu Proses Panjang Menjadi Juara
MAGELANG, KOMPAS – Menjadi juara dalam perlombaan lari tidak didapat lewat keberuntungan. Untuk menjadi yang terbaik, atlet harus menempuh proses panjang yang melelahkan.
Hal itu terlihat dalam gelaran Borobudur Marathon 2018 powered by Bank Jateng di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Minggu (18/11/2018). Semua pelari yang menjadi juara melakukan persiapan secara matang. Mereka berlatih keras untuk menjadi pelari pertama yang mencapai garis finis.
Juara maraton (42,195 kilometer) putra Geoffrey Birgen (33), misalnya. Pelari asal Kenya itu juara pada kesempatan kedua mengikuti Borobudur Marathon. Tahun lalu, ia hanya berada di urutan kelima dengan catatan waktu 2 jam 28 menit 28 detik. Ia mengaku saat itu sangat kecewa.
Birgen pun berlatih keras setahun terakhir. Ia mengaku berlatih setiap hari bersama saudara laki-laki dan pelatihnya. Latihan dilakukan dua kali, sekitar 80-90 menit pada pagi hari dan 10 km pada sore hari. ”Latihan saya berjalan baik karena mengikuti program yang diberikan pelatih,” ungkap Birgen yang memiliki waktu terbaik 2 jam 10 menit.
Lewat persiapan matang itu, Birgen memnuhi targetrnya menjadi juara pada Borobudur Marathon 2018 dengan waktu 2 jam 20 menit 10 detik. ”Saya sangat senang karena ini pertama kali saya menang di Borobudur Marathon. Saya akan kembali tahun depan dengan catatan waktu yang lebih baik, mungkin 2 jam 15 menit,” ujarnya.
Birgen tidak banyak ikut lomba. Ia hanya memilih lomba yang berpotensi membuatnya juara. ”Saya hanya ikut dua sampai lima lomba setahun. Saya tidak berkompetisi terlalu banyak karena saya ikut lomba dengan target tertentu,” katanya.
Latihan keras juga dijalani juara 10K putra kategori tertutup, Atjong Tio Purwanto (27). Sebelum menjadi juara di Borobudur Marathon 2018, ia memecahkan rekor nasional lari halang rintang 3.000 meter dengan waktu 8 menit 54,32 detik pada Asian Games 2018.
Ia memecahkan rekor lama milik Muhammad Qurosi dengan 8 menit 55,91 detik pada SEA Games 2011. Atjong juga meraih emas lari halang rintang 3.000 meter SEA Games 2017 dengan waktu 9 menit 3,94 detik.
Menurut pelari kelahiran Malang, 17 Oktober 1991 itu, prestasinya tak datang begitu saja. Ia menjalani latihan panjang selama 10 tahun terakhir. Selain berlatih, dirinya pun menerapkan pola hidup sehat, antara lain asupan nutrisi yang baik dan istirahat yang cukup.
”Atletik ini olahraga terukur. Untuk bisa juara di suatu ajang, atlet harus rajin berlatih dengan tepat. Sebelum ikut 10K Borobudur Marathon 2018 ini, saya telah mempersiapkan diri 2-3 bulan sebelumnya,” tuturnya.
Fisioterapis yang juga turun di kategori maraton, Matias Ibo (39) menuturkan, cabang atletik memang menutut atlet berlatih rutin secara bertahap. Mereka tidak bisa langsung latihan keras untuk mencapai hasil terbaik secara instan. Mereka perlu berlatih secara bertahap mulai ringan, sedang, hingga berat untuk mencapai puncak.
Proses itu bisa memakan waktu bertahun-tahun. ”Untuk itu, kalau persiapan kurang, sulit bagi atlet bisa berprestasi. Prestasi di atletik hanya diraih oleh atlet yang bersiap matang dan lama,” ujar mantan fisioterapis timnas sepak bola Indonesia itu.
Masih tertinggal
Namun, pembinaan atletik Indonesia nomor jarak jauh belum optimal. Pada sejumlah lomba maraton di Tanah Air, hampir semua kelas terbuka dimenangi atlet asing, terutama dari Kenya dan Etiophia. Hal itu juga terlihat di Borobudur Marathon 2018. Dari 6 kelas terbuka dari 14 kategori yang dipertandingkan, tak ada satupun atlet Indonesia bisa masuk tiga besar. Semuanya dikuasai atlet-atlet asal Benua Afrika itu.
Juara full marathon kategori tertutup putra Hamdan Sayuti (29) mengatakan, salah satu penyebab atlet atletik Indonesia masih kalah dibandingkan dengan atlet luar negeri adalah karena pembinaan Indonesia yang hanya merekrut segelintir atlet potensial, seperti hanya 2-3 orang atlet terbaik saja. Harusnya, pelatnas memiliki lebih banyak atlet sebagai rekan bertanding saat latihan.
”Saya berharap, pelatnas merekrut lebih banyak atlet. Tidak apa gajinya kecil, yang penting atlet di pelatnas bisa lebih banyak. Dengan lebih banyak atlet, persaingan lebih ketat. Atlet-atlet pun ada rekan bertanding saat latihan,” kata mantan atlet lari nasional kelahiran Jambi tersebut.
Juara half marathon kategori tertutup putri Borobudur Marathon 2018 Odekta Elvina Naibaho (27) menuturkan, salah satu faktor utama atlet atletik Indonesia sulit bersaing karena memang regenerasi tidak optimal. Saat ini, fasilitas stadion atletik yang memadai hanya di kota-kota besar saja. Itu pun jumlahnya terbatas dan berbayar mahal jika dipakai oleh warga atau komunitas untuk latihan.
Adapun di daerah, tak banyak tempat latihan yang memadai. Calon atlet kebanyakan berlatih di tempat tak ideal. Mereka pun tidak tumbuh dengan baik sedari dini. ”Indonesia perlu lebih banyak stadion atletik yang memadai. Dari sana akan banyak lahir bibit-bibit atlet baru,” tutur atlet nasional itu.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto yang hadir pada pembukaan Borobudur Marathon 2018 berharap, dari ajang lari seperti Borobudur Marathon, lahir bibit-bibit baru atlet muda harapan bangsa. Menurut dia, banyak bibit atlet muncul di daerah dan tak jarang mencuat lewat ajang lomba lari seperti Borobudur Marathon.
Untuk itu pihaknya berkomitmen mendukung penyelenggaraan lomba lari di daerah, termasuk Borobudur Marathon yang kelasnya sudah bergengsi. Selain lewat ajang lomba, Kemenpora juga terus meningkatkan pembinaan menuju prestasi. ”Harapan saya, lahir atlet-atlet nasional yang bisa ikut bersaing di SEA Games, Asian Games, atau bahkan Olimpiade,” jelasnya. (GRE/HRS)