MAGELANG, KOMPAS - Olahraga lari membutuhkan teknik sekaligus kemampuan mengatur kecepatan sesuai kemampuan tubuh. Namun, pelari pemula biasanya kesulitan mengatur kecepatan untuk memenuhi target waktu. Atas dasar itu, di setiap lomba lari, terutama jarak jauh, tersedia pemandu kecepatan yang dikenal dengan pacer.
Keberadaan pacer sangat membantu pelari untuk bisa mencapai finis dengan batas waktu tertentu, terutama para pelari pemula. Dengan adanya pacer, pelari tidak perlu susah payah berpikir keras kapan dirinya harus berlari lambat ataupun kencang demi mencapai batas waktu yang diinginkan.
”Walau terlihat sepele, sebenarnya mengatur kecepatan lari itu cukup menguras energi. Bahkan, karena itu, pelari bisa kehilangan konsentrasi yang membuat teknik larinya kacau hingga melupakan saat penting, seperti menambah asupan air ataupun makanan setiba di water station,” ujar Koordinator Pacer Borobudur Marathon 2018 Riefa Istamar dalam sesi tanya-jawab mengenai Borobudur Marathon 2018 di Magelang, Jawa Tengah, Jumat (16/11/2018).
Saat penyelenggaraan Borobudur Marathon 2018, Minggu (18/11), panitia lomba sangat memperhatikan keberadaan pacer. Bahkan, jumlah pacer ditambah dari sebelumnya 19 orang menjadi 27 orang.
Tahun lalu, pacer hanya ada di rute 10K dan setengah maraton. Tahun ini, pacer ada di semua rute. Pada kategori 10K, ada pacer 60 menit, 70 menit, dan 80 menit. Di setengah maraton ada pacer 2 jam, 2 jam 30 menit, dan 2 jam 40 menit. Di maraton ada pacer 5 jam, 5 jam 30 menit, dan 6 jam.
Pacer berfungsi sebagai patokan pelari yang tidak ingin pusing-pusing menentukan kecepatan berlarinya hingga finis. ”Nantinya, pacer akan diberi pakaian dan penanda khusus agar mudah dicari pelari. Selain itu, mereka dilengkapi jam tangan khusus agar kecepatannya sesuai target,” kata Riefa.
Sebagai patokan pelari untuk mencapai finis, pacer bukan pelari sembarangan. Mereka yang direkrut adalah para pelari aktif yang terseleksi, antara lain berasal dari Jakarta, Bandung, hingga Makassar.
Sebelum menjadi pacer, Riefa mengatakan, para pelari itu dilatih lagi sekitar 3-4 bulan agar lebih prima dan paham dengan kondisi jalur Borobudur Marathon 2018. ”Tak hanya memandu, mereka juga akan jadi pemotivasi pelari. Terutama, jika ada pelari yang berpotensi berlari lebih cepat, mereka tak segan untuk mengarahkan pelari untuk itu,” tuturnya.
Direktur Perlombaan Borobudur Marathon 2018 Andreas Kansil menuturkan, penggunaan pacer pada Borobudur Marathon mengacu pada perlombaan lari internasional. Bahkan, seri maraton dunia di Amerika Serikat (Boston, Chicago, dan New York), Inggris (London), Jerman (Berlin), dan Jepang (Tokyo), masih menggunakan pacer, meskipun pesertanya para pelari elite dunia yang punya kemampuan berlari lebih cepat dari pacer.
”Selain untuk kenyamanan pelari, terutama pelari pemula, penggunaan pacer itu juga untuk meningkatkan kualitas lomba Borobudur Marathon. Apalagi kami punya harapan Borobudur Marathon bisa menjadi salah satu lomba lari kelas internasional, terutama yang berbasis pariwisata,” ujar Andreas.
Peserta lari 10K asal Surabaya, Jawa Timur Silvana Trisnayuliani (34) mengutarakan, dirinya hanya punya target finis lebih cepat dari waktu terbaiknya di 10K, yakni 1 jam 47 menit. ”Kalau ada pacer, itu lebih baik. Saya bisa ada patokan untuk berlari lebih cepat. Lagipula, pacer bisa jadi teman selama lari karena lari sendiri enggak enak,” katanya.
Persiapan peserta
Peserta lari Borobudur Marathon 2018 sudah mulai berdatangan. Hingga Jumat petang, sekitar 50 persen dari total 10.000 peserta sudah mengambil nomor dada untuk hari perlombaan. Para peserta tampak sudah sangat siap untuk menghadapi lomba, baik peserta yang baru pertama kali mencoba maupun yang telah berulang kali.
Para peserta sudah melakukan latihan yang cukup dan sudah menyiapkan sejumlah perlengkapan yang selalu dibawa ketika mengikuti lomba lari. Pelari memang memiliki kebiasaan unik, terutama dalam membawa perlengkapan tambahan. Ada yang mesti berlari dengan sepatu tertentu, membawa ponsel guna mendengarkan musik penyemangat, hingga membawa obat-obatan.
Peserta 10K asal Jakarta Kus Hartini (50), misalnya, karena punya riwayat penyakit asma, setiap lari, dirinya selalu membawa obat semprot inhaler. Obat itu untuk jaga-jaga bila ia sesak nafas ketika lari. Adapun Kus sudah menderita asma 12 tahun terakhir.
Namun, sejak rutin olahraga pada 2011, kesehatannya terus membaik. Pada November 2017, dirinya sudah bisa lari. ”Alhamdulillah, setahun ini, asma saya tidak pernah kambuh lagi. Tapi, untuk jaga-jaga, saya tetap membawa dua botol obat semprot inhaler,” tuturnya.
Peserta 10K di Borobudur Marathon 2018 asal Magelang Irwan (24) selalu membawa ponsel dan earphone ketika lari. Dua gawai itu dipakai untuk mendengarkan musik saat lari. ”Saat lomba, kita kan lari sendiri-sendiri. Kalau ga dengar musik, rasanya bosan. Jadi, bawa ponsel sambil dengarin musik itu wajib,” ujar Irwan.