Politik Identitas Jadi Pilihan akibat Kurangnya Gagasan Substantif
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jargon tanpa substansi yang mendominasi berjalannya masa kampanye jelang Pemilihan Presiden 2019 merupakan akibat dari sedikitnya gagasan baru yang dapat ditawarkan setiap pasangan calon. Pendekatan emosional, termasuk penggunaan identitas primordial, menjadi jalan pintas untuk merebut suara masyarakat.
Sejak masa kampanye resmi dimulai sekitar dua bulan lalu, kampanye setiap pasangan calon belum ditandai dengan tawaran-tawaran program kerja yang konkret. Perdebatan antar-juru bicara tim kampanye pun masih mengenai celetukan-celetukan sensasional, dari ”tempe setipis kartu ATM” sampai dengan ”politik genderuwo” dan polemik ”tampang Boyolali”.
Di sisi lain, isu-isu tuduhan PKI dan anti-Islam pun tidak kunjung surut. Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk pada Kamis (15/11/2018) sore mengatakan, sebuah kampanye yang miskin ide gagasan baru dan program konkret akan bermuara pada serangan-serangan yang ”tidak terhormat” dan tidak konstruktif.
Hamdi mengatakan, apabila petahana dapat berkampanye menggunakan cerita sukses selama masa pemerintahannya, pihak penantang sebaiknya menawarkan program alternatif yang dinilai dapat melebihi pencapaian yang sudah dilakukan oleh lawannya tersebut.
”Seharusnya penantang yang putar otak, mencari cara kreatif untuk menyentak publik dengan gagasan yang baru. Mungkin ini kegagalan oposisi untuk memunculkan gagasan baru sehingga harus lari menggunakan political delegitimation terhadap karakter (petahana),” kata Hamdi dalam diskusi yang diselenggarakan lembaga studi politik dan survei Populi Center di Jakarta.
Koalisi yang terjadi secara pragmatis dan tanpa platform ideologis dinilai Hamdi menjadi salah satu akar penyebab kemiripan visi-misi yang diajukan oleh kedua pasangan. ”Yang diserang nanti sifat-sifat personal lagi,” lanjutnya.
Hamdi mengatakan, penggunaan hoaks, fitnah, dan penyebaran ketakutan ini bukan pendidikan politik yang baik. ”Saya ingin politik yang lebih bermartabat di masa depan,” ujarnya.
Namun, Hamdi mengatakan, tidak dapat dimungkiri bahwa pendekatan emosional, terlebih lagi yang menggunakan sentimen agama dan suku, sangat efektif untuk meraih dukungan dari masyarakat Indonesia. Pemilih yang menggunakan logika (rational voters) di Indonesia mungkin hanya 10-20 persen.
”Perilaku manusia itu lebih besar dipengaruhi oleh faktor emosi. Orang lebih mudah digerakkan dengan pendekatan emosional dibandingkan nalar atau yang logis,” kata Hamdi.
Dosen pengajar Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, menyatakan pendapat yang senada. Konsekuensi akibat terpinggirkannya tawaran program yang konkret adalah menguatnya narasi kegaduhan termasuk yang menggunakan isu primordialisme. ”Mobilisasi massa dengan kedekatan suku dan agama contohnya,” ucapnya.
Politisi PDI-P yang juga juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Budiman Sudjatmiko, membenarkan hal itu. Menurut dia, sebuah kampanye politik harus memiliki unsur yang menggugah perasaan dari masyarakat.
”Kampanye politik dari seorang calon presiden atau partai politik selain harus benar secara substantif, juga harus ’menyenangkan’. Kalau tidak menyenangkan, tidak akan dapat menciptakan dukungan politik,” kata Budiman.
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Gamal Albinsaid, pun mengajak seluruh pihak yang berkompetisi untuk mengeluarkan narasi kampanye yang santun dan berbasis data.
Dampak lain minimnya gagasan substantif dalam kampanye adalah kegagalan merebut simpati pemilih pemula atau yang belum menentukan pilihan (swing voter). Gun Gun mengatakan, pasangan calon harus mengeluarkan gagasan baru untuk dapat menarik suara baru.
”Tanpa ada gagasan baru, yang terjadi hanya reinforcement terhadap basis yang sudah menetapkan pilihan sejak lima tahun lalu. Ini yang menyebabkan elektabilitas kedua pasangan calon stagnan selama ini,” kata Gun Gun.