JAKARTA, KOMPAS - Keselamatan kerja di sektor konstruksi tidak hanya menjadi tanggung jawab penyedia jasa, tetapi juga pengguna jasa konstruksi. Untuk sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja atau SMK3 mesti diadopsi oleh kedua belah pihak.
Di dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi disebutkan, pengguna jasa dan penyedia jasa wajib menyelenggarakan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam sebuah proyek. Oleh karena itu, kedua belah pihak mesti menyepakati standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan, antara lain menyangkut mutu bahan, peralatan, keselamatan dan kesehatan kerja, hingga perlindungan sosial tenaga kerja.
“Kita tidak hanya melakukan reformasi di sisi penyedia jasa tapi juga pengguna jasa. Jadi dua pihak harus melakukan. Yang diperbaiki tidak hanya orangnya tetapi juga organisasinya,” kata Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin, di sela acara Penandatanganan Komitmen K3 Konstruksi dan Sertifikasi Ahli K3 Konstruksi, Selasa (13/11/2018), di Jakarta.
Syarif mengatakan, sesuai dengan UU Jasa Konstruksi, pemerintah sebagai pengguna jasa kini tengah berbenah untuk mendalami sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Salah satu bentuknya adalah pelatihan mengenai SMK3 untuk setiap pejabat struktural. Sampai saat ini pejabat eselon 2 telah mendapat sertifikat ahli K3. Ditargetkan 1.000 aparatur sipil negara disertifikasi sebagai tenaga ahli K3.
Proses lelang proyek infrastruktur milik pemerintah pun kini juga telah mensyaratkan agar biaya K3 yang biasanya dalam lelang proyek dimasukkan dalam biaya umum, kini harus dibuat sebagai biaya tersendiri. Klausul tersebut telah mulai dilaksanakan dalam lelang untuk proyek yang dilaksanakan 2019.
Di sisi lain, pemerintah meminta badan usaha penyedia jasa konstruksi khususnya badan usaha milik negara (BUMN) agar mengangkat direktur yang khusus untuk menangani K3. Sebelumnya, urusan K3 ditangani paling tinggi pejabat setingkat manajer. Selain itu, pejabat di level manajerial dan direksi juga mendapat pelatihan SMK3 sehingga mendapat sertifikat sebagai tenaga ahli K3.
Dengan upaya yang sistematis, Syarif berharap kecelakaan kerja dapat diminimalisasi sampai 0 persen atau tidak ada kecelakaan sama sekali. Apalagi, jenis konstruksi saat ini semakin besar dan berisiko tinggi, seperti membangun gedung tinggi, jembatan bentang panjang, sampai jalan layang. Sebaliknya, jika ditemukan ada kelalaian terkait pelaksanaan K3 di lapangan, sanksi dapat diberikan kepada penyedia jasa.
“Untuk sanksi ada tingkatannya mulai teguran lisan, teguran tertulis, sampai dengan pencabutan badan hukum. Tentu ada mekanismenya dan tergantung tingkat kesalahan yang dilakukan,” ujar Syarif.
Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) Bintang Perbowo mengatakan, dirinya juga mengikuti pelatihan dan sertifikasi sebagai tenaga ahli K3. Dengan demikian, perhatian kepada persoalan keselamatan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah.
“Baik pengguna jasa maupun penyedia jasa harus mempunya tenaga yang bersertifikat keselamatan kerja. Sampai direksi pun juga wajib punya, seperti di tempat kami untuk level jajaran direksi harus bersertifikat K3 semua,” kata Bintang.
Menurut Bintang, membiasakan untuk selalu sadar dengan keselamatan kerja perlu waktu. Namun demikian, dirinya tidak akan memberikan toleransi kepada siapapun jika prosedur keselamatan dan kesehatan kerja di lokasi proyek, semisal menggunakan perlengkapan K3, tidak ditaati.
Di dalam acara Penandatanganan Komitmen K3 Konstruksi dan Sertifikasi Ahli K3 Konstruksi tersebut, 13 orang selevel direksi dan 47 orang dari jajaran manajemen dari 11 BUMN dan beberapa badan usaha lain yang merupakan penyedia jasa konstruksi mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kapasitas menggenai SMK3. Mereka pun menandatangani komitmen pelaksanaan SMK3 di lingkungan kerjanya masing-masing.