SLEMAN, KOMPAS — Universitas Gadjah Mada didorong agar membawa kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswinya diselesaikan lewat jalur hukum. Jalan itu dinilai mampu menjelaskan persoalan secara gamblang. Kerahasiaan dan keamanan korban dalam proses peradilan harus dijamin sepenuhnya.
”Desakan masyarakat cukup besar untuk menyelesaikan persoalan ini secara hukum. Jadi, kami menyarankan kepada rektor untuk mendorong persoalan ini diselesaikan secara hukum. Tentu saja dengan mempertimbangkan kepentingan korban atau penyintas sebagai hal paling utama,” tutur Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo, di Gedung Pusat UGM, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (12/11/2018).
Kasus dugaan pelecehan seksual itu menimpa mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM sewaktu menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, pada 2017. Pelakunya diduga seorang mahasiswa Fakultas Teknik UGM yang juga menjadi peserta KKN bersama korban di Pulau Seram (Kompas, 10/11/2018).
Hasto mengungkapkan, apabila persoalan itu tidak diselesaikan secara hukum, publik dapat menilai UGM tidak berpihak kepada korban karena persoalan hukum hanya diselesaikan secara internal oleh pihak universitas.
Senin itu, Hasto menemui Rektor UGM Panut Mulyono dan Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto untuk mencari tahu lebih dalam tentang dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi UGM itu. Ia menyatakan, membawa persoalan itu untuk diselesaikan lewat jalur hukum penting guna menjadi pelajaran bagi masyarakat demi mencegah tindak serupa kelak.
”Ini bisa menjadi sarana pembelajaran kepada masyarakat. Bahwa persoalan hukum harus diselesaikan secara hukum,” kata Hasto.
Erwan menyepakati pernyataan Hasto. Menurut dia, jalur hukum dapat memberikan penyelesaian dari persoalan ini secara lebih jelas. Namun, hal yang penting untuk diperhatikan adalah kesiapan korban atau penyintas secara psikologis untuk menjalani proses hukum.
”Secara prinsip, kami sepakat dengan apa yang disampaikan LPSK. Mestinya, kasus ini perlu dibawa ke ranah hukum agar bisa diselesaikan dengan gamblang dan jelas. Tetapi, kita perlu memperhatikan kondisi psikologis penyintas,” lanjut Erwan.
Erwan menyatakan, jika sudah dibawa ke ranah hukum, keamanan korban harus dijamin untuk menjalani setiap proses hukum yang ada. Jangan sampai korban merasa dirugikan dalam proses hukum tersebut.
Terkait hal itu, Hasto mengatakan memahami ketidaknyamanan korban untuk membawa persoalan yang dialaminya ke ranah hukum. ”Secara kultural, masyarakat kita ini masyarakat yang patriarkis. Ini menjadi keprihatinan kita semua. Biasanya kaum perempuan selalu dirugikan. Jadi, kami mencoba mem-back up kaum perempuan,” katanya.
Oleh karena itu, Hasto menyebutkan, pihaknya siap memberikan perlindungan kepada korban jika ia bersedia menyelesaikan persoalan itu secara hukum. Ia menjamin kerahasiaan identitas korban agar tak terintimidasi sehingga bisa memberikan kesaksian secara aman dan nyaman.
”Kami akan memastikan proses (hukum) berjalan sebagaimana mestinya dan korban mendapatkan haknya sesuai yang diatur undang-undang. Memang proses hukum harus terbuka. Tetapi, kerahasiaan identitas korban bisa dijaga dalam proses peradilan. Ini yang menjadi perhatian kami,” kata Hasto.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM Paripurna P Sugarda mengatakan, sebagai lembaga pendidikan, UGM akan menyelesaikan persoalan itu secara etik terlebih dahulu.
”Di lain pihak, tidak tertutup kemungkinan, (persoalan ini) akan masuk di ranah hukum. Tetapi, pertimbangan UGM sebagai lembaga pendidikan, tentu yang harus diselesaikan adalah ranah etika dulu,” ujarnya.
Paripurna mengungkapkan, UGM akan segera membentuk tim etik untuk menyelesaikan terkait masalah etika dalam kasus dugaan pelecehan seksual tersebut. Tim itu bertugas menindaklanjuti temuan dari tim investigasi sebelumnya yang telah menemukan fakta-fakta terkait kasus itu. Kemudian, tim akan membuat rekomendasi kepada pemimpin universitas terkait pelanggaran yang dilakukan akademisi UGM.
”Kami tidak bisa menentukan (waktunya). Tetapi, secepat mungkin (kami bentuk),” kata Paripurna.
Rektor UGM Panut Mulyono menuturkan, orang-orang yang dipilih sebagai anggota tim etik nanti tentu dilihat kredibilitasnya dalam menyelesaikan persoalan itu. Ia juga menyatakan akan melibatkan perwakilan mahasiswa dalam tim tersebut agar rekomendasi yang dihasilkan bisa adil dan melihat persoalan ini dari berbagai perspektif. ”Kami sepenuhnya berpihak kepada korban,” ucapnya.