Dari Senapan Mesin sampai Gim Simulasi Perang
Kemajuan teknologi bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Hal yang sama terjadi pada teknologi persenjataan dan pertahanan negara. Inovasi dan kreasi alat utama sistem pertahanan dalam negeri menjadi penting. Adaptasi teknologi menjadi penting untuk meningkatkan kemandirian Indonesia dalam menjaga kedaulatan negara.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam sambutannya saat membuka pameran industri pertahanan Indo Defence 2018 di Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (7/11/2018), mengajak militer Indonesia untuk terus mengembangkan teknologi pertahanan dan keamanan.
Semangat pengembangan teknologi ini telah ditunjukkan Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Darat (Dislitbangad). Badan ini bertugas melakukan perancangan alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang dapat meningkatkan daya saing kekuatan Angkatan Darat. Inovasi-inovasi alutsista ini sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap teknologi dari negara lain.
Salah satu hasil rancang bangun Dislitbangad adalah senapan mesin dengan kode ”SO” dengan kaliber 5,56 milimeter. Letnan Kolonel Edi Sujarwoko, Kepala Bagian Pengkajian Dislitbangad, mengatakan, senapan SO ini dirancang untuk menjadi senapan mesin ringan standar bagi setiap regu di Angkatan Darat, sekaligus meningkatkan efisiensi perawatan.
Saat ini, sudah ada empat senapan produk luar negeri yang menjadi standar TNI AD, yakni K3 asal Korea Selatan, Ultimax 100 dari Singapura, serta FN Minimi dan FN MAG GPMG (general purpose machine gun) yang berasal dari pabrikan FN Herstal asal Belgia.
”Kalau ada empat senapan berbeda seperti ini, menjadi tidak efisien perawatannya, termasuk untuk pengadaan suku cadangnya. Dengan kemandirian alutsista yang sesuai dengan standar yang telah TNI tentukan sendiri, kita akan dapat mengatasi permasalahan itu,” tutur Edi.
Senapan SO yang berkaliber 5,56 milimeter standar NATO ini memiliki jarak tembak efektif 600 meter dengan kemampuan sembur peluru (rate of fire) sebanyak 898 butir per menit. Senapan yang berbobot 6 kilogram ini pun lebih ringan dibandingkan FN Minimi dan K3. SO diharapkan dapat menjadi senjata yang lebih mumpuni dari ketiga pendahulunya tersebut.
Edi menuturkan, dalam perancangan yang membutuhkan waktu sekitar satu tahun ini, berbagai elemen dalam Angkatan Darat dilibatkan untuk memberikan masukan desain senapan SO. Sebuah kelompok kerja dibentuk dari berbagai kesatuan, termasuk Kopassus dan Kostrad.
Senapan SO kini sudah masuk skema Pengembangan Industri Teknologi Pertahanan (Bangintekhan) 2019. Dengan demikian, dapat diperkirakan sebuah ”master” acuan produksi massal untuk senapan SO akan rampung pada akhir tahun depan.
Edi menyebutkan, apabila berjalan sesuai rencana, PT Pindad akan memproduksi SO untuk kebutuhan TNI.
Selain senapan, Dislitbangad juga telah merancang dan membuat prototipe robot sonar (sonar remotely operated vehicle/sonar ROV). Sonar ROV ini bermanfaat untuk memetakan sebuah ruang tertutup dengan sonarnya dan mendeteksi bahan peledak. Edi mengatakan, peranti seukuran koper dan beroda empat ini akan menjadi robot sejenis pertama milik TNI AD.
”Sonar ROV ini dapat dikontrol secara nirkabel dari jauh. Gunanya, agar personel dapat memetakan ruangan yang berisiko tinggi, khususnya dari ancaman bom atau bahan peledak,” ucap Edi.
Dislitbangad juga menciptakan teknologi pendukung untuk peralatan yang sudah digunakan di lapangan, seperti Sistem Penembakan Mortir Berbasis Komputer. Dengan sistem ini, personel di lapangan dapat mengarahkan mortir dengan bantuan laser dan komputer yang mengalkulasi jarak dan sudut penembakan (azimuth). Dalam perancangannya, Dislitbangad bekerja sama dengan perusahaan PT Hariff Engineering.
Yulius Adrian dari Hariff Engineering mengatakan, dengan menggunakan sistem berbasis komputer tersebut, penembakan mortir dapat lebih akurat dan cepat. Proses pengaturan senjata artileri mortir yang dapat menjangkau target sejauh 6,5 kilometer dan dapat memakan waktu 30-45 menit untuk setiap penembakan bisa dipersingkat hingga menjadi satu menit.
”Begitu personel peninjau dibekali binokular khusus ini, informasi jarak dan sudut dapat langsung dihitung komputer dan tersalurkan ke pemimpin penembakan dan kemudian sampai ke operator mortir. Sistem ini melakukan by-pass terhadap proses-proses penentuan sudut penembakan secara manual, seperti penembakan pendahuluan,” tutur Adrian.
Dalam meningkatkan daya saing personel Angkatan Darat, Dislitbangad pun menciptakan peranti lunak gim simulasi tempur di medan perang bernama Palagan 3. Sekilas, Palagan 3 tampak seperti gim perang multiplayer tiga dimensi seperti yang banyak beredar saat ini, dengan setiap pemain dapat menggerakkan pasukan infanteri beserta tank dan mengatur posisi meriam-meriam artileri di medan perang.
”Simulator Palagan 3 memang difungsikan sebagai alat latihan komando dan koordinasi di tingkat Brigade. Melatih komandan dan stafnya,” ujar Edi. Brigade adalah satuan militer yang terbentuk dari dua hingga empat batalyon. Satu batalyon berisi sekitar seribu personel tentara.
Dalam simulator ini, komandan brigade dapat mengatur berbagai batalyon dari berbagai kesatuan sesuai dengan rencana latihan dalam simulator tersebut. Medan latihan yang ada pada Palagan 3 saat ini antara lain Pusat Latihan Pertempuran Asem Bagus, Situbondo; Pulau Morotai, Maluku Utara; Natuna, Kepulauan Riau; dan Baturaja, Sumatera Selatan.